AIYA, NAMANYA
Oleh: Anita Dewi
Seketika semua mata terarah ke pintu yang dibuka oleh sosok wanita hitam manis, tinggi semampai yang bernama Aiya.
"Entschuldigung..ich bin zu spät..," terdengar Aiya minta maaf atas keterlambatannya. Terdengar pula suara napasnya yang berdegup kencang saat duduk di bangku sebelahku. Frau Monika, guru bahasa Jerman kami terdengar agak keras bicaranya, peringatan kalau sekali lagi datang terlambat, Aiya disuruh lapor ke sekretariat sebelum masuk kelas. Hari ini, kali kedua dalam minggu ini Aiya terlambat. Hal ini menumbuhkan rasa penasaranku, ingin tahu apa yang terjadi padanya?
Potret kehidupan di Jerman yang terkenal dengan kedisiplinannya. "Ah...nanti istirahat coba aku cari tahu ...," gelitik rasa penasaranku.
"Tet...tet...teettt ...."
Bel berbunyi pertanda pause datang. Hiruk pikuk mengakhiri keheningan kelas. Sebagian...peserta kursus mulai ada yang mengeluarkan bekal sarapan. Ada yang keluar mencari udara segar, dan ada yang sibuk dengan Handy nya.
Kusapa Aiya, "Wie geht es dir?"
"Alhamdulillah..mir geht es gut, danke," jawabnya dengan mata berbinar penuh arti.
Kemudian kami ngobrol tentang kursus, tentang kesiapannya menghadapi ujian bulan depan. Tiba - tiba tercetuslah jawaban pertanyaan, keingintahuanku tadi, "mengapa Aiya akhir-akhir ini sering terlambat? "
"Tidak tahu, aku lulus apa ngga nanti ujian. Seperti pagi ini aku terlambat, karena aku perlu uang, dan untuk itu aku mengambil job sampai malam. Efeknya aku bangun kesiangan," jawabnya mengalir deras bagai air di sungai.
"Padahal harusnya mulai persiapan ujian nih," desahnya sambil mengambil napas panjang. Pandangan wajahnya kosong, sesaat sebelum tersenyum tanda kepasrahannya.
Aiya, sesosok wanita Togo. Datang ke Jerman sekitar tiga tahun yang lalu untuk mengadu keberuntungan. Terpaksa berpisah dengan dua orang anaknya yang berusia 7 dan 5 tahun. Jauh di sini, ia mengais rejeki, meninggalkan benua Afrika tempatnya berasal. Disewanya satu Wohnung kecil, terletak jauh di pinggiran kota München. Untuk bertahan, apapun dia kerjakan. Mulai dari tukang bersih-bersih, sampai menjadi kurir koran, dari Wohnung ke Wohnung. Ibaratnya, menjadi buruh kasar pun akan dia jalani. Euro demi Euro, coba ia kumpulkan. Jika ada sisa di akhir bulan, ia kirimkan ke ibunya di Togo, di sanalah ibu, dan kedua anaknya tinggal.
"Tet...teettt...teeetttt..."
Bel tanda istirahat usai, telah mengagetkanku. Mengakhiri lamunan tentang sosok temanku, Aiya. Segera kurapikan sisa bekalku. Botol minum kumasukkan ke dalam tas. Kulihat Aiya masuk kelas setelah menerima telepon, mungkin dari salah satu pengguna jasanya.
Mulailah Frau Monika menjelaskan tentang kalimat Präteritum. Dijelaskannya bahwa Präteritum digunakan untuk bentuk kalimat lampau tertulis. Itulah seninya bahasa Jerman, rumit dan unik. Beda dengan bahasa Indonesia, simpel.
Kulirik jam di dinding.
"Tet...teettt...teeetttt..." Usai sudah kursus hari ini.
Segera setelah menandai halaman yang menjadi PR, kumasukkan buku ke dalam tas. Sambil mengangguk ke arah Aiya, aku cepat berdiri.
"Bis Morgen, Tschüss...," kataku pada Frau Monika.
Dengan jalan beriringan menuju Haltestelle Straßenbahn, aku dan Aiya berceloteh lagi. Tentang kampung halamannya.
"Oh...Straßenbahn 02 telah datang."
Dengan sedikit berlari kami menuju Straßenbahn 02 yang pintunya mulai menutup.
"Alhamdulillah, hampir aja ketinggalan," lonjak kami gembira. Kalau ketinggalan, bakalan harus menunggu Straßenbahn berikutnya tujuh menit lagi.
"Ada rencana pulang ke Togo ngga untuk menengok anak, dan Ibumu?" tanyaku spontan aja. Sambil menerawang jauh Aiya menjawab,
"Sebenarnya ingin, insyaAllah dua tahun lagi." Kerinduan yang dalam, tergambar dalam sorot matanya.
Hidup di negara asing tidaklah mudah bagi Aiya, terlebih di kota München yang segalanya serba mahal. Apalagi sendiri, dan jauh dari sanak saudara. Dengan pekerjaan kasar yang penghasilannya tidak menentu, tentu harus berhitung cermat, setiap akan mengeluarkan uang. Biar tujuannya mencari nafkah untuk Ibu, dan anaknya tercapai.
"Aiya..bagaimana caramu mengatasi kerinduan kepada ibu, dan anakmu?", tiba tiba tergelitik hatiku ingin tahu apa jawaban Aiya.
Sambil tertawa kecil Aiya menjawab ", Wenn du Gott hast, du hast alles..." Jawabnya dengan kata-kata yang mantap, dan tatapan yang tajam.
Kami berdua terdiam, seolah tersihir dengan kekuatan kata katanya. Tak terasa Straßenbahn 02 yang kami naiki sudah sampai tengah kota. Terdengar hiruk pikuk, dan lalu lalang anak anak pulang dari sekolah. Biasanya suara bising dan gaduh menimbulkan rasa tidak nyaman, tetapi entah kenapa, suasana yang ramai itu terdengar seperti alunan senandung yang menyejukkan hati...damai...
"Okay...bis Morgen...assalamu'alaikum...."
Aku tersadar dari lamunan, ketika Aiya bersiap hendak turun di Haltestelle berikutnya, berganti Straßenbahn 13 yang menuju Wohnung-nya, sambil tersenyum penuh arti.
"Bis Morgen Aiya, wa'alaikumussalam ..." jawabku sambil tersenyum lebar sembari melambaikan tangan. Hatiku membatin, "Benar kata katamu Aiya ..."
Catatan :
1. Entschuldigung, ich bin zu spät : maaf, saya terlambat.
2. Frau : nyonya.
3. Pause : istirahat.
4. Wie geht es dir : bagaimana kabarmu.
5. Mir geht es gut, danke : kabarku baik, terimakasih.
6. Wohnung : Apartment.
7. Bis Morgen, Tschüss : sampai jumpa besok, bye.
8. Haltestelle : pemberhentian.
9. Straßenbahn : trem
10. Wenn du Gott hast, du hast alles : ketika Tuhan ada di hatimu, kamu memiliki segalanya.
***
Bionarasi:
Zuniar Anita Dewi, seorang Ibu rumah tangga dari dua anak laki laki. Mempunyai profesi sebagai dokter Spesialis Saraf. Hijrah ke Jerman dalam rangka ikut suami. Membaca adalah salah satu hobbinya semenjak kecil. Sekarang mencoba dikembangkannya dengan menulis dan mengedit karangan.
#Buku Antologi Cerpen: Jejak Kenangan (Haura Publishing; November 2021)
Posting Komentar
Posting Komentar