PELANGI RAMADAN DI DUA DUNIA
Oleh: Fina Toffee
"Sreeet.."
Perlahan, Hasna membuka kelambu jendela di ruang tamunya. "MasyaAllah, memutih lagi!"... Batin Hasna sambil memandangi gumpalan-gumpalan salju yang sebagian besar menutupi atap-atap rumah di pemukiman Velešići.
Kecamatan Velišići, merupakan pemandangan pertama kali yang dia lihat ketika bangun tidur. Karena letaknya tepat bersebrangan dengan balkon flat rumahnya.
Wajah Velešići, selalu menyuguhkan pemandangan yang berbeda di setiap musimnya. Seharusnya Velišići dipenuhi bunga-bunga sakura yang bermekaran, karena musim semi secara resmi dimulai sejak bulan lalu. Tetapi tidak hari ini, wajahnya berubah putih karena salju tebal yang memenuhi jalan dan atap-atap ratusan rumah di sana.
Bagi Hasna, sudah tidak mengherankan lagi, ketika salju bisa menyasar di pertengahan musim semi. Karena begitulah Sarajevo, seringkali mendatangkan kejutan-kejutan tak terduga, termasuk cuaca dan musimnya yang berubah secara drastis.
Ramadan sehari lagi, tidak ada persiapan khusus yang harus dia lakukan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada yang spesial yang harus dia lakukan menjelang Ramadan. Di sini, orang-orang bekerja seperti biasa, tidak ada lonjakan-lonjakan harga barang di pasar atau supermarket. Sekolah-sekolah juga masuk seperti normal. Hasna merasa, Ramadan di Sarajevo tidak segereget di Indonesia. Ada juga sih kegiatan-kegiatan di masjid selama bulan Ramadan, seperti Iftar bersama, Mukabela (menyimak dan khatam Al-Qur'an), salat tarawih berjemaah ataupun undangan-undangan iftar dari teman-teman suami dan KBRI.
Hasna termangu lama, memandangi gumpalan-gumpalan salju yang mulai berjatuhan dari ranting-ranting pohon. Jauh di lubuk hatinya, ada jutaan rindu yang membuncah, tentang suasana Ramadan di tanah airnya, INDONESIA. Ramadan yang biasa ia jalani puluhan tahun sebelumnya. Pikirannya, terseret jauh dengan arus waktu yang jauhnya ribuan bahkan jutaan mil dari tempatnya berpijak sekarang.
Hari ini, Hasna agak kesiangan pergi ke pasar Subuh. Neneknya, meminta dia membeli beberapa bahan persiapan megengan. Menjelang Ramadan, beberapa tempat di Indonesia, biasanya ada bermacam tradisi untuk menyambut bulan suci tersebut. "Megengan" merupakan salah satunya . Di kampung halamannya, tradisi 'megengan' biasanya diwarnai dengan bertukar masakan dengan jemaah masjid yang lain. Tradisi tersebut merupakan ungkapan rasa syukur dan bahagia, bisa bertemu Ramadan kembali.
Bukan hanya di kampung halamannya, tradisi menyambut bulan Ramadan, juga pernah dia temui ketika Hasna bekerja di tanah rencong, Aceh. Di sana dinamakan 'Meugang'. Biasanya orang-orang Aceh akan memasak berbagai masakan berbahan dasar daging sapi. Semuanya bertujuan sama, sebagai rasa syukur menyambut Ramadan. Hasna sudah tidak asing lagi menghadapi kehebohan-kehebohan menyambut bulan mulia bagi orang Islam tersebut.
Pasar Subuh, sudah mulai ramai dipenuhi pembeli. Dia melihat berbagai pernak-pernik Ramadan. Penjual ketupat kosong bermunculan. Beberapa bahan makanan persiapan megengan, pesanan neneknya sudah dia dapatkan, tetapi, sayang dia agak kecewa karena belum mendapatkan tempe gedebok pisang. Dia tahu sang nenek, tidak suka tempe yang berbungkus plastik, karena aromanya kurang sedap menurut neneknya.
"Wah Mbak , tempe gedebok pisangnya sudah habis, diborong sama ibu-ibu tadi. Baru saja, katanya buat megengan. Mbaknya sih kurang pagi, " seru pedagang tempe langganannya .
"Iyaa bu, tadi saya agak kesiangan bangun. Si mbah pasti ngomel nanti. " Nada Hasna sedikit kecut.
“Iya Mbak, saya tahu , mbah Muti tuh ndak suka kalau tempe bungkus plastik, karena menurutnya baunya agak sengak seperti plastik. “
"Nah itu dia buu, tapi hari ini kami butuh tempe buat megengan di langgar depan rumah lho.”
"Yaa sudah, gini saja, itu tempe plastiknya saya korting harganya. Itung-itung buat sedekah Ramadan. Piye (bagaimana) ?".
Hasna sedikit lama memutuskan, tawaran pedagang langgannya itu, tetapi akhirnya dengan berat hati dia putuskan untuk membelinya, karena tempe merupakan salah satu bahan makanan yang dia butuhkan untuk menu masakan megengan nanti.
"Mommy..." Suara seorang gadis kecil di sebelahnya seakan menarik ruh Hasna kembali ke tubuhnya.
"Iyaa, Nak." Lamunannya buyar seraya menjawab suara putrinya, Almira.
"Wow, da li snijeg pada opet?." (Wow, apakah salju turun lagi?).
Hasna memandangi mata cokelat putrinya berbinar, saat melihat warna putih mendominasi lagi di luar rumah mereka. Hasna tahu betul, kalau Almira suka sekali bermain-main dengan salju. Tidak perduli, tangannya membeku karena dinginnya gumpalan-gumpalan es yang ia genggam. Namun, tidak bagi Hasna terkadang turun salju apalagi di musim semi, cukup melelah. Betapa tidak, dia harus mengeluarkan lagi sepatu boot dan jaket hangat yang sudah tersimpan rapi di dalam lemari. Dan satu hal yang paling dia rindukan, matahari . Hampir tujuh bulan lamanya matahari lebih sering bersembunyi di balik mendung dan salju.
"Can you help me (Bisakah engkau menolongku), untuk tempel-tempel gambar Ramadan na zid (di tembok)?, "karena besok Ramadan," pinta Almira kepadanya.
Dengan sedikit terbata mengeja kalimat dari tiga bahasa yang berbeda. Bibir mungilnya kadang berputar-putar mengeja kata dengan aksen sedikit unik dan gemas di telinga Hasna. Almira sedari kecil sudah terbiasa dengan percakapan multilingual dari kedua orangtuanya, jadi wajar kalau dia menyerapnya dengan caranya.
"Uredu (OK), mana gambar-gambarnya, yuk kita tempel bersama, “ jawabnya kepada puteri semata wayangnya itu.
Sejak setahun yang lalu, Hasna mengenalkan Ramadan melalui benda-benda visual yang menarik, menghiasi ruang tamu dengan pernak-pernik Ramadan, supaya putrinya tahu bahwa Ramadan adalah bulan spesial yang harus disambut suka cita.
Ramadan selalu memberi warna tersendiri di Sarajevo. Di awal-awal kedatangannya, mendung ataupun hujan lebih sering menyambutnya dibanding matahari. Cuacanya cenderung lebih adem, meskipun tiba di saat musim panas -- seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak terasa, ini merupakan tahun ke sembilan, Hasna menjalani puasa Ramadan di salah satu negara pecahan Yugoslavia itu.
Sarajevo, merupakan jantung kota Bosnia dan Herzegovina, yang terletak di benua Eropa, tepatnya Eropa Tenggara.
"Hmm... Bau wangi roti somun bertebaran di mana-mana, ini pertanda Ramadan telah tiba," batin Hasna saat melintas pekara (toko roti).
Roti somun atau lepina merupakan roti pipih bulat, yang atasnya ditaburi biji habbatussauda, dan dipanggang memakai arang. Biasanya orang- orang Bosnia akan mengantri di beberapa toko roti, terutama di daerah Basarcija (kota tua). Mereka akan rela mengantri demi mendapatkan roti somun, menjelang buka puasa. Keberadaan bulan suci Ramadan akan selalu diiringi adanya roti pipih bulat ini. Tradisi ini sudah biasa terjadi sejak ratusan tahun lalu, menurut teman-teman Hasna yang tinggal di sana. Beberapa restoran juga bersaing membuat menu khusus bulan Ramadan.
Televisi lokal biasanya juga menyiarkan program-program Ramadannya, dari menu masakan iftar dan sahur, pengajian, bacaan ayat suci Al-Qur'an dan azan Magrib. Masjid-masjid, juga memberikan jadwal yang berbeda untuk program khatam Qur'an. Saat waktu berbuka puasa, ada dentuman meriam yang dinyalakan saat waktu magrib tiba. Begitulah ada warna yang berbeda, yang selalu disuguhkan untuk menyambut bulan suci Ramadan di negeri ini.
Nama Bosnia, mulai dikenal sejak munculnya pembantaian etnis muslim Bosnia oleh etnis Serbia yang berkeyakinan Kristen Ortodoks.
Hasna mengenal Bosnia sejak dua puluh lima tahun yang lalu, saat itu keberadaannya muncul di TVRI , tentang genosida etnis muslim Bosnia secara besar-besaran.
"Aah, ternyata ada juga ya bule muslim?". Begitu pikiran polosnya muncul. Yang dia tahu, muslim itu yaa kebanyakan dari Arab, Pakistan, Malaysia, Indonesia atau Afrika. Kadang Hasna tersenyum geli, mengingat pikiran primitifnya itu.
Saat ini hampir setiap hari, dia sering bertemu perempuan-perempuan bule yang berhijab, bermata biru, hijau dan coklat melintas di depannya. Bahkan pria bule tinggi besar, berjenggot panjang yang sering pergi ke masjid.
"Tidak mudah menjadi muslim di negara ini. Kita harus kuat! Karena akan selalu ada pihak-pihak yang membuat, kita tidak boleh berkembang pesat di benua Eropa ini". Begitu Emir selalu menegaskan berkali-kali kepada Hasna. Emir Hasanovic, pria berkebangsaan Bosnia, yang menikahinya sejak sembilan tahun yang lalu, adalah veteran perang Bosnia yang berkecamuk ditahun 1992 -1995. Emir sebenarnya bukanlah tentara resmi, tetapi dia hanya rakyat sipil biasa yang harus berjuang untuk membela negaranya.
"Engkau tahu, kekuatan musuh dua kali lipat dari kami. Mereka dilengkapi senjata dan tank yang lebih canggih dari yang kita miliki. Alhamdullillah, kami berhasil mengalahkan mereka. Kami berhasil membunuh ribuan tentara musuh. Tapi mereka pengecut, hanya membantai rakyat sipil, anak-anak dan para perempuan." Cerita Emir yang masih menyimpan amarah di benaknya.
"Aku tidak ingin, Almira, anak yang lemah. Dia harus kuat!. Aku tidak ingin, Almira mengulangi kesalahan kami di masa lalu," seru Emir dengan nada serius.
"You know? (kamu tahu?), kesalahan kami adalah dulu terlalu baik dan mengalah, tapi pihak lawan malah memanfaatkannya dan mereka menyalahgunakan kebaikan kami."
Hasna masih menangkap luka yang terpendar dari wajah suaminya. Seperti luka-luka para ribuan muslim Bosnia lain, yang harus kehilangan keluarganya. Emir menjadi salah satu saksi sejarah, betapa bengisnya mereka membantai ribuan sipil terutama anak-anak dan pemuda di beberapa tempat di Bosnia dan Herzegovina.
"Tapi kami tidak menyerah!. Mereka tidak tahu, semakin mereka membenamkan kami ke dalam tanah, maka semakin kokoh dan kuat akar keimanan kami, tumbuh di dalamnya!," seru Emir menyudahi percakapannya.
"Buummm... “ Suara dentuman meriam memecah keheningan di beberapa tempat di Sarajevo. Dilanjutkan kumandang azan Maghrib, sebagai pertanda umat muslim di sana harus menyudahi puasa mereka.
Hari ini ada undangan iftar di masjid setempat. Iftar pertama yang dilaksanakan kembali, setelah vakum karena pandemi covid-19.
"Alhamdullillah..., sudah boleh buka puasa Nak. Yuuk berdoa dulu, " pinta Hasna kepada putrinya. Hari ini adalah hari pertama bagi Almira belajar berpuasa. Ada gurat bahagia di mata Hasna, karena hari ini, puterinya berhasil menyelesaikan puasanya dengan sempurna.
Hasna menyematkan rasa syukur di dalam hatinya , karena masih diberikan kesempatan bertemu dengan Ramadan Meskipun, tanpa adanya beberapa tradisi yang dia jalani selama di tanah air atau masakan bikinan nenek dan ibunya. Ramadannya tetaplah berwarna bagai pelangi yang mewarnai kehidupannya.
***
Bionarasi
Hanifatun Ni'mah, perempuan berasal dari Trenggalek, Jawa Timur dan ibu dari seorang putri. Fina Toffee merupakan nama penanya. Fina, kebalikan nama panggillan kesayangan dari neneknya, Anif. Toffee , diambil dari permen karamel kesukaannya. Menulis, pada awalnya merupakan tuntutan profesinya yang dulunya pernah bekerja sebagai guru bahasa Inggeris, penulis naskah serta penyiar radio di salah satu Radio di Malang dan pekerja organisasi kemanusiaan Internasional. Dia bertekad agar bisa membuat beberapa buku sebagai warisan buat anak dan cucunya nanti. Dan tentunya bisa bermanfaat bagi orang lain. Saat ini , dia tinggal di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina. Dia bisa dihubungi melalui e-mail: hanifa.nimah@gmail.com
Dari antologi cerpen KUKIS (Kumpulan Kisah) Ramadan (Komunitas Seni Digital Kolaboratif dan Perempuan Menulis- Komunitas Ceria; Haura Utama; Mei 2022)
Posting Komentar
Posting Komentar