Blog Perempuan Menulis

Cerpen: Jejak Ramadan di Mainhattan

Posting Komentar

 JEJAK RAMADAN DI MAINHATTAN

Oleh : Junge Dame

www.perempuanmenulis.com

   "Hmm..... suasananya benar-benar sempurna buat menghabiskan hari libur ini,“ gumamku lirih. 

       Kulangkahkan kaki menyusuri jalan setapak yang membentang sepanjang tepi sungai terbesar ke-5 di negeri Panzer ini.  Suara lonceng gereja terdengar bersahutan, dan  kuhitung dentangnya dalam hati.  "Dua belas kali..!, tengah hari tepat jam 12.00 siang.  Magrib masih sekitar delapan jam lagi, pikirku. Waktu berbuka puasa masih lumayan lama." Ramadan tahun ini jatuh di puncak musim semi yang indah. Pokok-pokok pohon digelayuti bunga yang bermekaran sampai ke ujung ranting-rantingnya.    

       Taman kota berubah menjadi parade bermacam jenis bunga dengan warni-warni indah yang tertata rapi, dan memanjakan mata siapapun yang melihat. Berpuasa jadi lebih nyaman dan membawa kegembiraan yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya karena waktu puasa yang lebih pendek, tetapi sinar matahari juga tak seganas dan sekering di musim panas. Meskipun waktu berpuasa tetap jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu di tanah air, tetapi dengan suhu yang sejuk dan pemandangan indah seperti ini, aku sama sekali tidak menemukan masalah.

       Sejenak aku menahan langkah, dan melempar pandangan ke deretan bangku-bangku putih yang menghadap langsung ke arah sungai. Menimbang-nimbang sebentar, sebelum akhirnya memutuskan  duduk di bangku yang agak jauh dari hiruk-pikuk pengunjung lain.  Aku perlu meluruskan kaki yang agak penat, sehabis berjalan sekitar dua kilometer dari hotel tempatku menginap. 

       Kudongakkan kepala, memandangi matahari yang hilang-timbul di balik berbagai macam bentuk awan yang berarak lamban, sinarnya hangat menyentuh kulit.  „Teletubbies!“  Entah mengapa film kartun itu yang melintas di kepalaku.  Film yang menemani masa awal aku tinggal di kota ini, ketika anak-anakku masih usia balita.  

       Angin berhembus lemah menebarkan wangi bunga Magnolia yang tumbuh tak jauh dari tempatku melepas lelah. Aku menghirup napas panjang, memenuhi paru-paruku sebanyak mungkin dengan aroma menyenangkan, dan menenangkan hati. Gelak-tawa anak-anak tengah bermain ayunan dan jungkat-jungkit di taman bermain, terdengar sayup dari taman bermain di kaki jembatan besar yang menghubungkan kedua sisi sungai. Aku menyukai musim semi lebih dari musim-musim yang lain. Aku selalu merindukan bau tanah dan rumput segar sehabis tersiram air hujan, suhu udara yang tidak membuat gelisah. Warna-warni bunga, dan kicau burung yang seakan terdengar lebih merdu setelah melewati kelabunya musim dingin yang lengang dan membuat depresi.

       Ah, tempat ini masih sama seperti dulu. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu, ketika aku kerap membawa anak-anakku ke sini. Menghabiskan akhir pekan, ketika penyiar radio menjanjikan cuaca hari tanpa hujan, salju atau angin ribut di ramalan cuacanya.  Mata mereka selalu berbinar, bila aku atau ayahnya mengiyakan ajakan mereka untuk datang ke sini.  Setelah bermain sepuasnya, mereka akan berlari riang ke dermaga kecil dekat jembatan khusus pejalan kaki, melemparkan cabikan-cabikan roti yang sengaja kami bawa dari rumah ke arah sekelompok itik yang berenang hilir-mudik. Sebelum akhirnya bersorak gembira, menikmati semangkuk es krim di gerai tengah kota.

       Aku menghela napas panjang..

       "Selamat siang, anak muda.  Cerah sekali hari ini, ya?.“ 

    Aku menoleh ke arah suara berat dan ramah itu.  Bertemu pandang dengan sesosok pria berumur. Entah sudah berapa lama ia duduk di bangku itu. Senyum lebar terukir di wajahnya.

       "Selamat siang.  Betul, hari yang cerah,“ jawabku pendek dan terbata-bata. Tersenyum tipis, lalu dengan cepat mengalihkan pandangan ke arah kapal penuh turis yang sedang melintas. Dua perahu kanu yang dikayuh oleh empat pria tegap dan gagah terlihat mengikuti di belakangnya. Aku berharap dia akan segera mengakhiri pembicaraan basa-basi ini, karena aku tidak pernah merasa nyaman berbicara dengan orang yang tidak aku kenal.  Aku ingin menjauh, pindah ke kursi lain, tetapi aku tak ingin dianggap tidak sopan.  

       "Ah, Indonesia...!“  serunya tiba-tiba, memutus usahaku memutar otak, mencari cara yang paling sopan untuk segera angkat kaki  dari tempat ini. 

       "Kamu dari Indonesia?.  Aku tau tas batik itu berasal dari Indonesia,“ tukasnya sambil menunjuk ransel batik yang tergelatak di sebelahku. 

       "Oohh...iya, aku dari Indonesia,“ kembali kujawab kagok dan pendek mencoba menghindari pembicaraan panjang dengannya.

       "Tapi itu kan motif batik Jawa..? Mengapa tulisannya I Love Bali, mengapa bukan I Love Yogya atau  I Love Solo?, “  lanjutnya lagi tanpa memedulikan betapa kaku dan dinginnya tanggapanku.

       "Karena aku beli tas ini di Bali,“ jawabku spontan. Kasihan melihat wajahnya yang memburatkan kebingungan.

       "Apa orang Jawa tidak keberatan dan protes? Itu sama saja bila ada yang jual gelas Bir ukuran satu liter dengan tulisan I Love Frankfurt, orang Bavaria pasti akan protes ke penjualnya.  Atau baju kaos bergambar Beruang dengan tulisan I Love Munich di bawahnya.  Tentu aku sebagai orang yang berasal dari Berlin akan sedikit terusik. "

       "Cerewet sekali bapak ini,“ pikirku. Tapi uraiannya mulai menarik perhatianku, suatu hal yang selama ini tidak pernah mampir ke nalarku.

       "Mungkin karena orang  Indonesia menganggap mereka semua bersaudara di mana pun berada.  Jadi tidak ada yang merasa perlu untuk meributkannya selama tidak ada yang dirugikan,” sahutku sekenanya. 

       "Beda lagi kalau ada tas atau kaos batik dengan tulisan I Love Malaysia, pasti orang Indonesia akan protes ke Malaysia, paling tidak akan terjadi perang komentar di internet.“

       Mendengar penjelasan asal bunyi itu, dia mengerenyitkan dahi. Mungkin ia berpikir, aku mulai mabuk kena angin sungai.  Tapi kemudian dia mengangguk-anggukan kepalanya dengan wajah serius.

       "Masuk akal juga  teorimu...,“  ujarnya dengan meletakkan jari telunjuk di pelipis seperti orang yang sedang berpikir keras. 

       "Atau bisa juga, orang yang punya pabrik tas di Jawa itu memiliki toko di Bali, dan ingin jualannya lebih laku dengan mencantumkan Bali. "

       "Naaah, dan mungkin di toko itulah aku membeli tas ini! “ seruku lagi. Pandangan kami bertemu sekian detik dan tanpa dikomando, tawa kami pecah berderai. 

       Kadung penasaran dengan wawasan bapak tua itu, aku tak sempat memikirkan,  mengapa aku yang  biasanya butuh pertemuan kedua, ketiga, atau bahkan lebih dengan orang yang sama, sebelum merasa nyaman bertukar cerita dan ngobrol akrab seperti ini.  Yang pasti, ia tampak terpelajar dan mempunyai ilmu komunikasi tingkat tinggi, hingga bisa memancing seorang introvert sepertiku bicara lebih banyak dari yang kuinginkan.

      "Bagaimana anda bisa tahu pasti kalau ini batik Jawa, bukan batik Bali atau daerah lainnya di Indonesia?” kejarku memuaskan rasa ingin tahu. 

       "Biasanya orang luar Indonesia hanya tau batik itu dari Bali, bahkan banyak yang tertukar dengan batik dari negeri jiran, Malaysia, Thailand atau bahkan India“. 

       "Aku dulu pernah lima tahun tinggal di Jakarta, dan bila ada waktu luang, kami suka perpetualang ke tempat-tempat baru. Yogya, Solo, dan Semarang adalah kota favorit kami, selain tentu saja Bali yang tiap tahun kami kunjungi.  Sudah lama sekali, waktu aku masih muda dan ganteng. Sekarang aku sudah pensiun,“  sambungnya sambil terbahak sampai bahunya ikut terguncang. Sesaat dia terdiam dengan  mata menerawang  memandang jauh menembus cakrawala seakan sedang menggali lagi kenangan masa mudanya dulu.

       Aku diam-diam memperhatikan penampilannya.  Dengan kemeja lengan pendek, celana panjang jeans dan sepatu kets merk lokal, dia terlihat santai dan nyaman.  Rambut abu-abunya tersisir rapi ke belakang.  Garis-garis usia terlihat jelas di wajahnya, tetapi masih tampak sehat dan enerjik.  Dia membuka tas kain yang dari tadi ada di pangkuannya, mengeluarkan dua buah apel dan sebotol air mineral.  

       "Istriku membekaliku dengan roti dan apel. Dia takut aku kelaparan selama menunggu. Dia belanja bersama seorang temannya di pusat kota. Tetapi aku kira terlalu banyak buat kumakan sendiri. Kamu mau satu?“.  Tangannya mengulurkan satu buah apel ke arahku dengan tetap tersenyum ramah.

       "Terima kasih, tapi kebetulan ini bulan Ramadan, aku sedang berpuasa,“  jelasku sambil menggelengkan kepala menolak tawarannya.

       "Oh ya? Respek!..,“ serunya.  "Dalam agama yang kuanut juga ada puasa yang kami lakukan empat puluh hari sebelum paskah, dan empat puluh hari sebelum Natal. Kami masih boleh makan satu kali sehari dengan porsi tiga perempat dari porsi normal,  berpantang makan makanan yang berasal dari hewani, tanpa gula, dan garam. Dan masih boleh minum air putih. Jadi, puasa kami tidak seberat puasa Ramadan di agama Islam.“ Dia berdecak kagum.  Memasukkan kembali kedua apel dan botol minuman ke dalam tasnya.

       "Apakah kamu tidak berat berpuasa di sini?.  Tidak makan dan minum dari matahari terbit sampai tenggelam di bulan ini. Sepertinya jauh lebih panjang waktunya dari pada di Indonesia.  Di sana waktu berbukanya hampir sama setiap hari, betul kan?“.

       "Sama-sekali tidak berat buatku yang sudah cukup lama tinggal di sini.  Tahun-tahun kemarin malah lebih panjang dan suhu udara lebih tinggi dari sekarang.  Aku lebih memilih tinggal di rumah daripada duduk-duduk di taman seperti ini.  Selain takut dehidrasi, aku juga tidak ingin kortisolku naik gara-gara melihat orang yang hilir-mudik dengan es krim, es boba, atau minuman dingin di tangannya,“ jelasku panjang lebar.  

       "Lagi pula, dulu waktu pertama kali pindah ke sini, Ramadan jatuh di musim dingin.  Siang hari jauh lebih pendek dari malam hari, jadi sekarang impas dengan puasa yang lebih panjang“.

       "Ah, kamu benar.  Aku lupa kalau tiap tahun Ramadan akan maju sekitar sepuluh hari. Jadi tahun-tahun mendatang akan lebih pendek lagi, sampai nanti suatu saat kita akan merayakan natal dan Eid Mubarak berdekatan atau bahkan bersamaan.“

    Aku makin terkesima dengan pengetahuan dan wawasannya yang luas. Kosa-kata yang dia pilih pun sangat mudah dimengerti,  tidak bikin susah aku yang bukan penutur asli bahasa lokal sini. Kami melanjutkan obrolan dengan tema yang berganti-ganti dengan cepat.  Waktu seakan cepat sekali berlalu.

       Seorang wanita berbalut cardigan ungu muda, rok panjang motif bunga dan tas tangan warna senada melangkah tergesa mendekati kami.  Aku tidak merasa kenal dengannya, tetapi sang pria segera berdiri dan dan melambai sambil berbisik,

       "Itu istriku,  tumben hari ini dia cepat sekali selesai dengan kegiatannya.“

       Dengan senyum semringah perempuan tua yang masih menyisakan kecantikan masa muda di wajahnya menyapa suaminya,

       "Nah,  pak guru,  pasti kamu menemukan korban baru yang tidak keberatan diajak ngobrol lama tentang berbagai tema kehidupan?. Pantas belum ada yang menelepon dan bertanya kapan aku selesai ?. Padahal hari ini aku agak lebih lama dari biasanya,“  tukasnya sambil menoleh tersenyum manis ke arahku. 

       "Aku Heidi, istrinya. Apakah pensiunan guru ini telah mengusikmu dengan cerita nostalgianya?“

       "Aku Habiba. Oh, ternyata beliau pensiunan guru. Pantas saja pengetahuan dan wawasan dia begitu luas. Pasti dulu suamimu menjadi idola murid.“ 

       "Oh namamu Habiba, nama yang bagus. Aku Peter.“ Dia mengulurkan tangan sambil menyeringai lucu.  Aku menyambut uluran tangannya dan ikut tertawa terbahak.

       "Ya ampun!  Jadi dua jam lebih kalian bicara panjang-lebar tanpa tahu nama masing-masing?“, kata Heidi sambil menggeleng-gelengkan kepala. 

       Aku melirik jam di layar telepon genggamku. Takjub sendiri ketika melihat angka yang tertera, 14:45!.  Tanpa terasa sudah hampir tiga jam kami mengobrol. Bagiku, ini benar-benar suatu mukjizat dan rekor terlama aku berinteraksi dengan orang yang baru aku kenal, sejak aku tamat Sekolah Menengah Atas.

       "Heidi, wanita muda ini berasal dari Indonesia, dan dia teman yang asyik sekali diajak diskusi tentang banyak hal.  Lihat motif tas batiknya, mirip sekali dengan salah satu kain batik koleksimu, bukan?,“  jelasnya dengan ekspresi wajah puas. 

       Setelah bertukar cerita beberapa saat, kami bertiga berpisah tanpa ada janji pasti buat bertemu kembali. Mungkin suatu saat takdir kami akan kembali saling berlintasan, di sini atau di belahan bumi mana pun.

       Aku kembali menjalani rutinitas keseharian dengan semangat dan sudut pandang yang berbeda.  Pengalaman di Mainhattan,  sebutan kota metropolitan Frankfurt yang dihiasi gedung-gedung pencakar langit di tepian sungai Main,  sangat membekas di sanubariku.  Ternyata tidaklah buruk buat sekali-sekali keluar dari zona nyaman. Mencoba hal baru, mengenal orang baru di lingkungan yang baru.  

"Terima kasih banyak pak guru Peter!." 

Frankfurt am Main,  April 2022. 

***

Bionarasi

Junge Dame atau wanita muda dalam bahasa Jerman.  Nama pena dari Elly Fatimah Schmidtke. Ibu dua anak remaja,  lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan bahasa dan sastra Inggeris, Universitas Sriwijaya. Menghabiskan masa kecil dan remaja di Palembang. Gemar bertualang dan mencoba hal-hal baru.  Tertarik untuk kembali menekuni dunia tulis-menulis setelah hibernasi lebih dari dua dekade.  Mengasah dan menggali kembali kemampuan menuangkan pikiran, pendapat dan angan-angan dalam bentuk tulisan. 

Setelah tinggal berpindah-pindah di beberapa negara, saat ini penulis menetap di Hoechstadt, kota kecil yang damai di selatan Jerman. Hubungi saya di: elly.schmidtke@gmx.de

Dari antologi cerpen KUKIS (Kumpulan Kisah) Ramadan  (Komunitas Seni Digital Kolaboratif dan Perempuan Menulis- Komunitas Ceria; Haura Utama; Mei 2022)



Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar