PERJALANAN
Oleh: Ina Nuris
Ting…Telepon genggang Maysa berkali kali berbunyi. Banyak pesan yang masuk di gawainya. Media sosial beberapa hari terakhir ramai dengan pesan-pesan ucapan menyambut bulan suci Ramadan yang akan tiba keesokan harinya.
“Alhamdulillah Ramadan tahun ini di musim semi, jadi nggak sepanas dan selama tahun-tahun sebelumnya,” batin Maysa sambil merapikan alat-alat dapur yang baru dipakainya. Direnggangkan badan dan kakinya yang penat berdiri seharian di dapur membuat berbagai makanan kecil, lauk dan bumbu- bumbu yang akan dimasukkan ke lemari beku, persiapan untuk Ramadan.
“Kalau di Indonesia, nggak perlu repot seperti ini. Kalau malas masak tinggal beli aja, ” batinnya lagi. Pikirannya melayang pada Bunda yang sudah tua di Indonesia. Terbayang dengan tongkatnya Bunda tertatih berjalan ke meja makan, untuk sahur. Meskipun sudah tua tetapi Bunda tetap berpuasa di bulan Ramadan. Amerika dan Indonesia ada perbedaan dua belas jam, sehingga saat sore di Texas, di Jakarta sudah waktunya untuk sahur.
“Maafkan kami Bun… kami nggak bisa pulang tahun ini,” bisiknya lirih. Tangan lentiknya mengambil selembar tisu dan mengusap matanya yang mulai terasa panas dan basah. Lebaran tahun ini tak bertepatan pada libur musim panas anak-anak, hingga tak memungkinkan untuk mudik ke Indonesia. Diliriknya jam di dinding. Jarumnya menunjukkan pukul lima sore. Sebentar lagi suaminya pulang kantor. Segera ia masukkan kotak-kotak plastik berisikan risoles, pastel dan lumpia yang sudah digoreng ke dalam freezer. Ayam, ikan dan bumbu yang sudah dibungkus rapi juga tertata rapi di freezer. Nanti kalau diperlukan, ia tinggal ambil beberapa buah dan dipanaskan di oven.
“Alhamdulillah selesai kerja hari ini. Persiapan makanan sudah siap. Bagaimana persiapan rohani menyambut bulan suci ini ya?” batin Maysa sambil menyeka mukanya dengan air wudu di kamar mandi, persiapan untuk salat Asar
Selesai salat ia merenung mengingat perjalan hidupnya sampai saat itu.
Maysa pindah ke negeri minoritas muslim ini sejak pengantin baru, mengikuti suaminya yang bekerja di perusahaan penerbangan di Texas. Saat itu Bunda keberatan dengan kepindahannya.
“Nyari rezeki kok jauh sekali? Kamu kan udah jadi dosen, Haris, suamimu juga kerjanya udah bagus, kenapa mesti pindah ke tempat yang nggak tau kayak apa kondisinya, Apalagi di sana orang Islamnya kan sedikit, nanti kamu gimana? ” kata Bunda keberatan saat itu.
“Mas Haris alhamdulillah dapat kerja di penerbangan Bun, kami ingin mencari pengalaman hidup di rantau. Maysa ingin melihat dunia luas seperti yang aku baca dibuku-buku. Dulu aku pernah minta untuk kuliah di luar negeri tapi Bunda nggak kasih kan? katanya nanti aja kalau udah menikah. Nah sekarang aku udah punya suami, boleh ya Bun,” katanya merayu. “Dan lagi dengan tiket pegawainya mas Haris, insyaAllah nanti kami bisa sering pulang Bun,” katanya meyakinkan Bunda. Walau dengan berat hati, Bunda mengikhlaskan mereka pergi. Saat di bandara, Bunda terlihat tegar, tetapi Maysa tahu hatinya pilu ditinggal anak bungsu.
“Maafkan aku Bunda,” ujarnya lirih sambil mencium hikmat tangan bundanya. Dan perjalanan hidup Maysa yang jauh dari tanah air pun di mulai saat itu.
Arlington, Texas dimana Maysa tinggal merupakan sebuah kota dengan warga yang cukup beragam etnik dan bahasanya. Betapa senangnnya Maysa saat suami menceritakan ada teman dari Malaysia yang satu kantor dengannya.
“Alhamdulillah, ada teman muslim di sini ya Mas,” kata Maysa kepada Haris, suaminya.
“Iya Alhamdulillah. Kita di undang ke rumah mereka Sabtu depan. Aku bilang insyaAllah kita akan datang,” ujarnya lagi. Maysa langsung membuka buku-buku resep dari Indonesia, ia merencanakan akan membawa kue buatannya pada undangan itu.
Waktu yang ditunggu segera tiba. Dengan membawa buah tangan kue lapis buatannya, mereka tiba di rumah Kak Noor, teman Malaysia yang mengundangnya. Mereka dipersilahkan masuk dan diperkenalkan dengan tamu-tamu lain yang sudah hadir di sana. Maysa menjadi kikuk, saat menyadari semua tamu wanita , mengenakan hijab sedangkan dirinya belum.
“Subhanallah, ternyata di bumi minoritas ini banyak Muslimah berhijab juga,” batinnya sambil duduk di sebelah Kak Ani, teman barunya yang kebetulan dari Indonesia juga. Kak Ani bercerita bahwa ada halaqah khusus ibu-ibu, seminggu sekali dan pengajian keluarga sebulan sekali. Maysa berjanji akan datang halaqah di rumah Kak Ani hari Rabu nanti. Di Halaqah mereka belajar mengaji, membahas tafsir dan sirah Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wassalam. Sampai seumur dirinya yang hampir menyentuh tiga puluh tahun, Maysa masih belum lancar mengaji. Dulu Bunda pernah memanggil guru untuk mengajarkan membaca Qur’an, tetapi Maysa sering beralasan macam-macam untuk menghindar dari kelas itu, akibatnya hanya mengenal huruf hijaiah tapi belum lancar membaca. Di Halaqah ibu-ibu Indonesia dan Malaysia itu ada seorang kakak dari Malaysia, Kakak Ipah namanya yang menjadi guru mengaji. Pelahan tapi pasti Maysa mulai lancar membaca Al-Qur’an.
Tahun berlalu dengan cepat. Rencana mereka yang hanya ingin tinggal beberapa tahun saja di negara Paman Sam, tak terasa menjadi belasan tahun. Maysa tak lagi hanya sebagai anak tapi menjadi ibu dari dua anak, laki dan perempuan, yang lahir berjarak tiga tahun di antaranya. Meski orang tua dari Indonesia, tapi tanah air mereka adalah Amerika. Maysa baru menyadari ini setelah meyaksikan mereka menyambut lebih meriah parade tim Amerika pada liputan acara Olimpiade, dari pada saat tim Indonesia terlihat di tayangan TV. Selera dan bahasa mereka pun tak lagi murni tapi tercampur menjadi multi. Yah, mereka jadi generasi dunia. Hal yang tak dapat terelakkan untuk generasi di zaman digital ini. Tak apa, Bunda pernah berkata, yang penting, meski mereka anak Amerika tetapi harus tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan tetap berbakti kepada Ibu dan Abi.
Pesan Bunda selalu mereka ingat. Maka saat anak-anak sudah memasuki usia sekolah, meski ada sekolah umum yang gratis tepat di depan rumah mereka, Maysa dan Haris memutuskan akan memasukkan anak mereka ke sekolah Islam yang agak jauh dan mahal uang sekolahnya. Di sekolah yang namanya Al Hidayah Islamic School itu, mereka menjumpai muslim dari berbagai negara, ras dan keturunan. Guru dan staff-nya pun sebagian adalah orang-orang Amerika muslim dan kepala sekolahnya adalah seorang sister berkulit putih bernama Sister Michelle. Sekolah kecil ini menjadi home away from home. Maysa merasa tenang meninggalkan anak-anak di tangan guru-guru yang saleh dan salehah. Ia mulai mengenal beberapa orang tua murid di sana, salah satunya adalah Judy, seorang sister berkulit putih dengan rambut pirang panjang, mualaf yang bersuamikan orang Palestina.
Hari itu Ramadan hari kedua saat Amanda, putri pertama Maysa duduk di kelas lima dan Adam duduk di kelas dua sekolah dasar. Setelah Amanda dan Adam turun dari mobil dan menuju kelas mereka, Maysa parkir sejenak untuk istirahat sebelum melanjutkan perjalanan berbelanja kebutuhan dapur. Di sebelah mobilnya dia melihat seorang wanita tinggi, putih dengan gamis dan hijab panjang sedang mengambil sesuatu dari bagasi mobilnya. Maysa terkesiap saat sadar siapa wanita itu.
“Judy? Is that you?” ujarnya ragu menyapa wanita berhijab itu. Wanita itu membalikkan badannya menghadap Maysa dan tersenyum lebar.
“Maysa… Assalamualaikum,” katanya ceria.
“Wah pangling …,” ujar Maysa tertawa. Judy juga tertawa riang. Diceritakannya perjalannya hingga ia memutuskan untuk mengenakan hijab.
“Subhanallah hidayah datang saat bulan Ramadan untuknya. Bagaimana dengan aku?” batin Maysa. Judy yang baru mengenal Islam beberapa tahun yang lalu sudah berani memutuskan mamakai hijab yang identik dengan Islam di negara minoritas ini. Dia berani menujukkan ke Islamannya dan berani mengambil resiko untuk dampak Islamofobia yang kadang masih terjadi akibat kesalahpahaman masyarakat lokal atas Islam dan muslim. “Bagaimana dengan aku yang dari lahir sudah Islam?,” pikir Maysa galau. Amanda, putri sulungnya, juga rajin memakai hijab. Tidak hanya saat sekolah tetapi kemana saja mereka pergi. Mau tak mau Maysa pun memakainya juga walau masih bongkar pasang, istilah yang diberikan Haris suaminya, yang artinya kadang pakai kadang tidak. Belum seratus persen karena kesadaran diri sendiri.
Sambil berbelanja keperluan dapur untuk minggu itu, ia terus memikirkan hal tersebut. Dia pilih buah-buahan, anggur, peach, cherries ranum yang segar. “Kalau di Indonesia pasti mahal buah-buahan ini,” pikirnya. Kemudian ia memilih roti dan pastry untuk buka dan sahur. Setelah dirasa cukup ia membawa belanjaan ke jalur “self-checkout” yang tanpa kasir untuk membayar sendiri belanjaannya langsung di mesin itu. Kemudian ia pun pulang. Sepanjang jalan sambil menyetir mobilnya dia bertanya pada diri sendiri.
“Nunggu apa lagi? Hijab kan udah punya banyak? ” batinnya. Maysa banyak dapat dari Bunda yang sering membelikannya kalau ia pulang ke Indonesia. Beliau berharap ia mau memakainya sehari-hari.
“Takut dilihat aneh oleh orang non-muslim? Lah itu Judy yang orang bule nggak takut dan nggak malu, Amanda juga selalu pede dengan hijabnya, kenapa aku belum juga yakin atas perintah Allah ini? Allah telah memberikan karunia yang melimpah dengan kehidupan yang nyaman, anak anak yang baik dan kesehatan yang prima, kenapa aku belum bisa membalasNya dengan memenuhi perintahNya yang satu ini,” pikirnya miris. Setiap malam di salat tahajud, Maysa memohon untuk diberikan kekuatan dan kemantapan untuk menjalankan perintah Allah itu.
Hari terus berjalan, Di sepuluh hari terakhir, masjid dekat rumah Maysa, ramai di kunjungi jemaah. Mulai dari saat berbuka, sampai lewat tengah malam, bahkan banyak juga yang I’tikaf, menginap beberapa hari di sana. Di masjid itu, seperti juga di banyak masjid-masjid lain yang tersebar di Amerika, setiap malam dibacakan satu juz Al-Qur’an oleh Imam yang bertugas malam itu. Pada malam ke dua puluh tujuh, yang kebetulan jatuh pada hari Sabtu akan diadakan khataman Qur’an. Jama’ah yang datang banyak sekali. Hampir seribu orang berjajar rapi, untuk salat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan salat tarawih. Pada salat witir rakaat terakhir, Imam membacakan doa khataman Al-Qur’an disertai dengan doa yang sangat panjang, Maysa dan Amanda yang salat di sebelahnya, menengadahkan tangannya meng-aminkan semua doa yang dilantunkan oleh Imam. Terdengar isak tangis dari sebagian jemaah. Meski ia tak begitu paham arti doa itu, tetapi hatinya ikut terenyuh. Terbayang dirinya di padang Masyar nanti, berdiri di antara milyaran manusia, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
“Amalan apa yang akan aku persembahkan kepada Sang Pencipta nanti?” batinnya. Terbayang amal ibadahnya yang sedikit, dan kekhilafanya yang tak kunjung disesali. Jiwanya bergetar, tak terasa air mata mengalir di pipinya. “Ya Allah, ampuni aku,” bisiknya. Dalam hati, Ia bertekat beramal lebih baik setelah detik itu.
Sejak malam itu, Maysa selalu menutup aurat kemana dia pergi. Kadang tidak mudah untuk terlihat lain dari masyarakat Amerika pada umumnya. Ada yang melihatnya dengan pandangan tidak senang, bahkan benci, tetapi banyak yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang memuji hijab atau bros yang dipakainya. Bunda pun sangat bahagia mendengar berita Maysa sudah menutup auratnya.
Maysa mulai menikmati ibadah menutup aurat itu sampai pada suatu hari kejadian besar mengguncang Amerika Serikat bahkan dunia. Peristiwa 911. Peristiwa sebelas September tahun 2001. Di mana sekumpulan orang yang dituduhkan sebagai orang Islam, membajak beberapa pesawat dan menabrakkannya ke beberapa gedung di pusat kota New York dan di Virginia. Terjadi ledakan dahsyat dan banyak sekali korban yang berjatuhan. Suasana sangat mencekam. Semua TV menayangkan peristiwa itu, kerusakan masif yang terjadi dan korban yang banyak, non-stop dari pagi sampai malam selama berhari-hari. Mereka ulang-ulang berita bahwa pelakunya adalah orang Islam. Itu membuat khalayak ramai marah dan mendendam kepada orang Islam. Masjid-masjid diserang. Wanita yang berhijab ditarik hijabnya di keramaian. Banyak yang memilih untuk membuka hijabnya atau menggantinya dengan memakai topi yang tak mengindentikkan mereka sebagai orang Islam. Maysa ciut hatinya membaca atau mendengar berita-berita itu. Saat hatinya mulai mantap berhijab terjadi peristiwa dahsyat yang membuatnya bimbang lagi.
“Demi keselamatan, haruskah aku menanggalkannya?” batinnya risau. Ia pernah mendengar beberapa pendapat, untuk keselamatan dibolehkan untuk menanggalkan hijab untuk sementara. Entah pendapat itu dari mana. Tapi Haris memberinya semangat.
“Jangan takut May, pake aja, nggak semua orang jahat kok. Banyak yang baik juga. Temen-temen kantor juga bilang, mereka percaya yang berbuat teroris, bukan orang Islam,” kata Haris menenangkan Maysa. Bunda juga terus memberi semangat. Untuk beberapa hari setelah kejadian Maysa tak berani keluar rumah, kecuali hanya untuk mengantar sekolah anak-anaknya karena Haris harus bekerja. Di mobil pun ia siapkan kamera kecil, untuk merekam andai ada yang mengganggu akan dia rekam untuk bukti. Dan topi kalau memang terdesak, ia akan pakai topi di atas hijabnya untuk menyamarkan dan sebuah pentungan baseball untuk bela diri kalau diperlukan. Dengan perangkat bak siap perang, Maysa siap berangkat mengantar anak-anaknya ke sekolah.
“Bismillah, kalaupun aku mati diserang massa, insyaAllah aku mati syahid karena istiqomah di jalan Allah.” Pikirnya mantap. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Setelah kejadian itu, banyak orang Amerika bertanya-tanya tentang Islam. Al-Qur-an laku keras dan selang beberapa waktu setelahnya cukup banyak orang Amerika yang memilih untuk masuk Islam, Subhanallah. Allahu Akbar.
Ting… terdengar lagi telepon genggamnya berbunyi membuyarkan kenangan dari kejadian beberapa tahun yang lalu. Ada pesan dari Bunda.
“Kamu masak apa untuk sahur Nak?” tanya Bunda dalam pesannya. ”Bunda baru sahur dengan gudeg oleh-oleh Tante Yayuk dari Jogya. Enak banget. Kamu nggak boleh ngeces ya…he..he… Jangan sedih ya Nak, meskipun kamu nggak bisa mudik tahun ini. Nikmati aja puasa dan ibadahmu bulan Ramadan ini. Jangan lupa doain Bunda ya, biar Bunda diparingi umur panjang jadi bisa ketemu kamu dan anak-anak di lain kesempatan,” pesan Bunda lagi.
Maysa tersenyum. pesan Bunda selalu membuatnya bahagia. Tak pernah sekalipun Bunda mengirim pesan sedih, apalagi keluhan meski sebenarnya kadang beliau dalam keadaan kurang sehat. Beliau pernah berkata, hidup ini seperti perjalanan, kadang lurus kadang berliku. Namun, kalau dilewati dengan senyuman semua akan terasa mudah. Maysa tahu bagaimana perjalanan Bunda yang tak mudah tapi beliau bahagia di hari tuanya. Maysa berjanji dalam hatinya untuk bisa tetap tersenyum dan tegar seperti Bunda dalam menjalankan perjalanan hidupnya, saat ini di Amerika, atau di mana saja nanti Allah tetapkan dia harus berada. Maysa berdoa semoga perjalanan diri beserta keluarga kecilnya dan perjalanan Bunda akan berakhir indah di surgaNya.
Grand Prairie, Ramadan 2022.
***
Bionarasi
Ina Nuris, ibu dari seorang teenager dan dua anak yang sudah dewasa. Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris yang saat ini tinggal di Texas. Alhamdulillah bersama tim dari IMSA Sisters pernah membuat sebuah buku resep berbahasa Inggris yang berjudul " Indonesian Favorite Recipes" yang diterbitkan dan dipasarkan di USA. Belajar menulis mandiri lebih serius sejak awal tahun 2021. Sejak tahun itu alhamdulillah telah menerbitkan beberapa buku antologi dari berbagai genre, antara lain adalah buku seri menanam buah dan sayur, fiksi dewasa, cerpen remaja, cerita anak dan picture book. Semoga tulisan ini dapat memberi inspirasi dan semangat untuk yang membacanya. Penulis dapat dihubungi melalui email mamaiqbal@gmail.com.
Dari antologi cerpen KUKIS (Kumpulan Kisah) Ramadan (Komunitas Seni Digital Kolaboratif dan Perempuan Menulis- Komunitas Ceria; Haura Utama; Mei 2022)
Posting Komentar
Posting Komentar