Cinta Kepada Orang Tua
Oleh : Nurhidayah
Di suatu desa terdapat rumah gubuk, yang penghuninya seorang ayah bernama pak Toni. istrinya biasa dipanggil orang bu Nani. Mereka mempunyai tiga orang anak bernama, Titang (abang), Tata (kakak), dan Titin(adik).
Awal mulanya rumah tangga pak Toni sangat rukun sekali, dan taat beragama. Setiap waktu shalat tiba, pak Toni mengajak keluarganya untuk shalat berjamaah dan mengingatkan seluruh anggota keluarga agar jangan meninggalkan shalat lima waktu sehari semalam, dan membaca kitab suci Alquran.
Dari waktu ke waktu anak-anak pak Toni semakin beranjak dewasa, dan berumah tangga. Titang anak laki-laki pertama pergi merantau ke Medan, sedang Tata merantau ke Jakarta. Hanya Titin yang tinggal di kampung, lantaran masih kecil, dan belum menikah.
Bulan berganti bulan, hingga tibalah di bulan Ramadan. Di bulan Ramadan inilah, Titang dan Tata saling berkomunikasi lewat telepon. Saling bertukar kabar, dan mereka berdua merasakan kerinduannga dengan keluarga di kampung. Teringat sosok sang ayah, ibu dan adiknya yang jauh di kampung.
Ternyata sayang beribu sayang, kerinduan tinggal kerinduan, lantaran Titang, dan Tata tak bisa datang ke kampung di bulan Ramadan di tahun ini. Mereka berdua masih disibukkan dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Terbayang wajah ayah, ibunya yang semakin menua, dan adiknya Titin nun jauh di kampung halaman. Titang termenung sambil menikmati secangkir kopi yang dihidangkan oleh istri tercinta, Meri. Titang mengutarakan kerinduannya kepada ayah, ibu, adik dan kampung halamannya kepada istrinya, Meri.
la bertutur, inilah saat tepat, sebelum masuk bulan puasa untuk saling maaf memaafkan. Ditekannya sebuah nomor dalam Handphone nya, dan berharap ayah, ibu atau adiknya akan menjawabnya. Namun ternyata, panggilan tersebut belum juga berhasil masuk. Mungkin sinyal di kampung kurang bersahabat saat itu, hingga tak bisa masuk dan menyambung.
Dalam kesedihan lantaran kerinduan dan permohonan maaf kepada kedua orang tua belum tersampaikan, akhirnya Titang menyuruh adiknya, Tata untuk menelepon ke kampung. Dan, alhamdulillah kali ini berhasil.
Kegembiraan menyelimuti Tata, saat bertegur sapa dengan ayah, walau hanya melalui Handphone. Menyesal, atas segala kealpaan selama ini, hingga bertukar kabar kepada orang-orang tercintai terlalaikan, karena kesibukan bekerja di rantau. Air mata, dan isak tangis mengiringi percakapan ayah dan ibu, dan anak yang saling melepas kerinduan.
"Kami lebaran tahun ini berencana pulang ayah," seru Tata gembira.
Tak terkira kebahagiaan pun turun, dan menyelimuti keluarga itu. Segala niat baik tersusun. Persiapan untuk pulang mulai terbayang. Balik kampung, suatu kosa kata indah, bagi para perantau.
Titang dan Tata mulai mempersiapkan buah tangan yang akan dibawa pulang. Dari telekung, kain sarung buat ayah, ibu,serta Titin. Genset pun sudah termasuk dalam belanja mereka, untuk mesjid kampung, yang penerangan listrik yang tak jarang mati lampu. Bahkan Alquran pun sudah diniatkan untuk disumbangkan ke mesjid dekat rumah ayah.
Sang adik, Titin berseru gembira, saat berita kepulangan abangnya, Titang, dan Tata disampaikan sang ayah. Sudah terbayang oleh-oleh dari sang abang tersayang. Baju, sepatu, sandal yang baru untuk lebaran sudah menari-nari di benaknya. Dulu sewaktu abang Titang pulang, banyak panganan dibawa pulang kampung. Dari bika Ambon, salak Sidempuan Medan, hingga kue lebaran lengkap dibawa. Sedang Tata tak lupa membawa kurma, dan aneka dodol Jakarta.
Saat lebaran pun tiba. Saatnya melepas kerinduan, dan bersilaturahim bertemu keluarga di kampung. Titang menempuh jalan darat. Mobil Terano hitamnya, sudah dipersiapkan beberapa hari yang lalu untuk melakukan perjalanan ke kampungnya bersama keluarga. Meski harus terjebak macet, lantaran arus mudik, Titang, istri dan anaknya asyik menikmati perjalanan mudik ke kampung halaman. Sementara Tata, bersama suami dan anaknya memilih balik kampung dengan transportasi udara. Dari bandara Jakarta. Kerinduan kampung halaman mengalahkan segala penat dan kepayahan selama dalam perjalanan
Betapa senang rasa di hati Titang dan Tata, saat tiba di kampung halaman. Sanak keluarga sudah berkumpul. Ibu menghilangkan masakan kesukaan anak-anaknya. Dari rendang, gulai ayam kemumu, sambal lado cangkuk, kalio jengkol, karupuk jangek, dan aneka cemilan khas kampung terhidang di meja besar. Sungguh terasa lahap, jika orang tua tersayang yang memasak, lantaran semuanya terasa enak. Ditambah suasanan dingin di lereng pegunungan yang nyaman, dan asri kampung halaman. Sawah luas terbentang, gunung tinggi menjulang, pepohonan rindang. Mata air, dan air terjun, tempat anak kampung bermain selalu membuat kerinduan mereka berdua akan kampung halaman.
Tradisi keluarga Titang, dan Tata adalah sebelum penghuni rumah pergi ke mesjid, mereka akan duduk melingkar. Meminta maaf kepada ayah dan ibu, saling bersalaman, dan memaafkan satu dengan lainnya.
Bersilaturahim mengunjungi rumah sanak famili untuk saling bermaaf-maafan. Meri, anak Titang tertarik dan memperhatikan rumah-rumah yang ada di kampung ayahnya, lantaran berbeda dengan rumah di kota tempat tinggalnya. Di kampung, sebagian besar rumah terbuat dari kayu, sedikit yang dari beton. Ada Rumah Gadang yang terdapat ranking-ranking di halaman rumahnya. Atap rumah gadang terbuat dari ijuk. Di dalam rumah gadang terdapat ruang. Ada yang tiga ruang, ada empat ruang, ada lima, atau enam dan tujuh ruang. Sungguh panjang rumah gadang. Rumah gadang juga berhiasakan ukiran, tongak atau tiang besar yang terbuat dari kayu. Rumah gadang tak mempunyai paku, karena untuk menghubungkan satu kayu satu dengan lainnya digunakan tiang, dan pasak Setiap tiang rumah gadang memiliki arti tersendiri. Terdapat ruang bandur untuk rapat. Kamar-kamar yang berhiasan unik dengan kelambu.
Pak Toni, sang ayah tak kalah gembira. Ia mengajak anak-anak, dan cucunya pergi ke kebun atau sesekali ke sawah. Kebunnya banyak ditanam aneka pohon buah-buahan. Rambutan, jeruk, sukun, manggis, dan durian yang saat ini sedang memasuki musimnya.
"Wow..., harumnya itu, apalagi nikmat rasanya, "lonjak cucu-cucunya yang bersorak kegirangan.
Tatkala pagi hari durian jatuh dari pohonnya, maka durian itu adalah hak orang yang menemukannya, bahkan menjadi rezeki bagi setiap orang yang lewat, dan menemukan durian jatuh. Seperti hari, sang cucu, Hanif, Kiting, dan Pitok bergegas berlari, dan bekejaran saat mendengar suara gedebuk durian jatuh. Mereka berpencar mencari durian yang jatuh. Durian yang jatuh sendiri dari pohon adalah tanda bahwa buahnya sudah masak. Hanif berhasil mendapatkan durian kunyit. Warna kuning dan lezat rasanya. biji buahnyq kecil dan tipis. Sedang Kiting mendapatkan durian musang yang isinya besar, bak anak bayi yang sedang tidur. Tebal daging buahnya, dan manis. Warnanya agak kemerah merahan. Sedang Pitok hanya mendapat durian..yang sudah di makan tupai. Mereka semua bergembira dan tertawa, meski harus berbagi dengan tupai.
"Ayoooo kita ngumpul di panggung dan makan ramai-ramai...", seru Titang..
Nenek Nani pun telah membuat pulut ketan untuk dimakan bersama di kebun. Daun pisang dijadikan piring untuk makanannya. Dan gelasnya adalah batok kelapa. Air minum terbuat dari kuah daun yang harum, serta berkhasiat. Mereka minum dengan senang hati, memanen hasil kebun kakek dan nenek, gratis dan tak bayar makan sepuasnya, sekenyang perut.
Pak Toni juga menanam bawang, cabe, kacang panjang, buncis, wortel, kol, ketumbar yang mulai siap dipanen. Kini padi di sawah pun sedang menguning keemasan laksana permadani. Para petani lelaki ada yang sedang memanen menggunakan tongkang atau pakai kaki yang diirik pakai kaki. Sedangkan para perempuan mengambil niru untuk memisahkan padi yang benas dan yang hampas. Niru diletakkan ke atas kepala. Kemudian nanti padi dikumpulkan, dan diletakkan di atas terpal, menurut arah angin, sehingga padi bisa terpisah mana yang benas dan mana yang ampah. Cucu-cucu lelaki belajar memasukan padi ke karung-karung agar mudah dibawa pulang ke rumah. Sedangkan cucu perempuan memetik cabe, terong, kacang panjang, tomat, wortel, kol, dan ketumbar untuk persiapan balik ke kota.
Sejatinya bagi orang tua, bukan uang yang diharapkan kepada anak-anaknya. Namun kepulangan anaknya yang di rantau itulah obat kerinduan setiap jiwa. Dan bersyukur pak Toni, dan bu Nani dapat bergembira berkumpul bersama anak dan cucunya.
"Balik kampung oooh balik kampung... "
Bionarasi Penulis
Nurhidayah (46 tahun) anak ke dua dari empat bersaudara. Seorang guru non PNS di SDIT Al Madinah Tanjungpinang Alhamdulillah hari ini sudah pensiun muda, karena sakit, dan covid serta pengurangan pegawai juga. Tinggal di Geriya Bestari Permai Tanjungpinang. Kegemaran membaca Alquran, seni dan budaya. Termotivasi untuk menulis, dan semoga penuh berkah. Aamiin.
Dari buku Antologi Cerpen Pelangi Kehidupan (Haura Publishing, Januari 2022)
Posting Komentar
Posting Komentar