Blog Perempuan Menulis

Cerpen: Janji Yang Terikat

Posting Komentar

 Janji Yang  Terikat

Oleh: Astri Tuti

www.perempuanmenulis.com

Terpaku aku di sini
Duduk sendiri berteman sepi
Tak ada yang menemani 
Hanya deburan ombak pelepas sunyi

Kutulis kata demi kata itu di atas pasir pantai yang kini aku tapaki. Meski nantinya akan hilang tersapu ombak tetapi aku tak peduli. Telah lima tahun lamanya aku bolak-balik dari rumah menuju tepi pantai ini, menantikan datangnya sebuah kapal dengan harapan yang begitu besar. Berharap dari dalam kapal tersebut keluar seseorang yang telah lama aku nantikan kehadirannya.

Namun, tampaknya asaku kembali terkikis. Hingga menjelang magrib tak jua tampak satu kapal pun berlabuh di dermaga ini. Tampaknya Tuhan masih ingin menguji kesabaran yang aku miliki. Tapi tak mengapa, hari esok masih ada.

Pelan kulangkahkan kaki berbalik menuju rumah. Waktu magrib sebentar lagi tiba. Dan aku tak mau jika orang-orang kembali menatap iba kepadaku. Seolah aku adalah wanita paling menyedihkan yang ada di kampung ini. Oleh karena itu, aku harus bergegas pulang ke rumah jika tak ingin berpapasan dengan warga kampung yang ingin menunaikan ibadah shalat Magrib di masjid.

*

Kurapikan berkas-berkas yang bertaburan di atas meja kerjaku. Ya, setiap harinya kecuali hari Sabtu dan Ahad, aku bekerja di Perpustakaan Wilayah yang ada di desaku ini. Kecintaan yang teramat sangat kepada buku membuatkan mengabdikan diri bekerja di sini. Terhitung sudah lima tahun aku bekerja di sini.

Ketukan yang diiringi salam terdengar dari balik pintu ruang kerjaku. Pelan kujawab salam itu dan mempersilahkan seseorang yang berada di balik pintu untuk masuk ke dalam. Tak lama berselang munculah sosok pria tinggi dan juga tegap di hadapanku. Sebuah senyuman terukir di wajahnya.

"Kamu sudah mau pulang Kanaya" tanya sosok itu yang taka lain adalah Kang Arif, atasan tempatku bekerja. 

"Iya Kang. Kang Arif ada perlu apa ke sini. Ada yang harus saya kerjakan lagi Kang" kuutarakan tanya perihal kedatangan Kang Arif yang tiba-tiba ini, karena tak biasanya ia seperti ini. Lagi, Kang Arif kembali tersenyum.

"Tidak ada yang harus kamu kerjakan. Saya hanya ingin bertanya. Kapan saya bisa datang ke rumah kamu bersama kedua orangtua saya."

Sesaat aku terpaku mendengar tanya yang disuarakan oleh Kang Arif. Kuhela nafas beberapa saat sebelum menjawab tanya yang la utarakan. 

"Seperti yang sudah saya jawab sebelumnya Kang. Kang Arif dan saya itu tidak akan pernah cocok. Yatim piatu seperti saya tidak akan pantas bertanding dengan anak Kepala Desa seperti Kang Arif. Jadi tak perlulah Kang Arif bertamu ke rumah saya."

"Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu Kanaya. Aku rasa tidak ada yang salah dengan itu semua. Ini hanya alasan kamu saja, iyakan?" Kang Arif merasa tak terima dengan alasan yang kuutarakan. Wajahnya merah menahan kesal.

 "Aku tau, kamu tak bisa menerimaku karena laki-laki itu kan. Setiap sore selama lima tahun ini, kamu selalu menunggu kedatangannya di dermaga itu. Apa kamu tak pernah bosan Kanaya?"

Bosan. Haruskah rasa itu hadir di hidupku. Sementara ia yang kutunggu adalah seseorang yang selama ini menjadi teman, saudara dan juga keluarga bagiku. Sama-sama terlahir sebagai anak yatim piatu dan besar di panti asuhan membuat kami berdua amat sangat dekat. Sejak kecil dialah yang selalu menjadi penolong bagiku. Kapan pun dan dimana pun ia selalu ada. di sampingku. Kedekatan itu terus berlanjut hingga kami remaja. Dan diam-diam ternyata kami memiliki perasaan lain. Perasaan yang melebihi rasa sayang antara kakak dan adik. Hingga akhirnya lima tahun yang lalu, rasa itu pun terluahkan. Namun karena satu kejadian, ia pun pergi meninggalkan desa ini. Namun dengan satu janji Bahwa ia akan kembali dan menepati janji yang telah ia ucapkan kepadaku.

Deburan ombak yang saling berkejaran melambungkan ingatanku tentang masa lalu. Desakan yang diutarakan oleh Kang Arif benar-benar membuatku sesak. Aku tak mengira jika sebegitu besar rasa yang dimiliki Kang Arif kepadaku. Jujur, dari dialah aku mengenal sosok Kang Arif. Dia dan Kang Arif merupakan sahabat karib semasa sekolah dulu. Saking akrabnya hingga tak jarang Kang Arif bermain di panti asuhan tempat kami tinggal. Bahkan menginap di sana pun dilakukan oleh Kang Arif. Terlahir sebagai anak tunggal membuat Kang Arif merasa kesepian. Terlebih kedua orangtuanya bekerja dan sering ke luar kota.

Netraku menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan tanganku. Jarum jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Bergegas aku berdiri dan beranjak dari dermaga itu. Tak mengapa jika hari ini kembali tak kutemukan kehadiran dirinya di dermaga tua ini. Ada hal yang lebih penting untuk aku hindari saat ini. Ya, berpapasan dengan penduduk desa. Mulut-mulut tajam mereka saat berkomentar amat sangat pedih.

Sayangnya keberuntungan tak berpihak padaku sore ini. Di tengah jalan aku berpapasan dengan Bi Rani dan Bi Wati. Duo biang gosip di desa ini. Demi adab dan kesopanan yang sudah Umi Nisa-ibu kepala panti asuhan tempat aku tinggal-ajarkan kepadaku selama ini, seulas senyum tipis kuhadihkan kepada mereka berdua. Namun ternyata tak cukup untuk menghentikan kejulidan mereka.

Sebuah panggilan yang mereka suarakan akhirnya menghentikan langkahku berjalan. Pelan aku berbalik dan menatap ke arah Bi Rani dan Bi Wati yang saat ini sedang tersenyum manis namun di dalamnya menyimpan sesuatu yang jelas tidak akan baik untuk hatiku.

"Kamu dari dermaga itu lagi Kanaya?" tanya Bi Rani sembari menatapku dengan wajah iba yang tentunya tak ikhlas dan dibuat buat.

"Apa kamu tidak bosan Kanaya, ini sudah hampir lima tahun sejak kepergiannya. Menyerah sajalah, dia tak akan kembali." Bi Wati menimpali tanya yang diutarakan oleh Bi Rani kepadaku.

"Kurasa itu semua bukanlah urusan Bi Rani dan Bi Wati. Sampai kapanpun aku akan tetap menanti kedatangannya. Lagipula kenapa ia tak mungkin kembali. Ini kampung halamannya. Semua orang juga sudah mengetahui bahwa kejadian yang terjadi lima tahun lalu bukanlah kesalahannya," kujawab semua yang mereka tanyakan dengan rasa kesal yang teramat sangat. 

Tanpa berpamitan aku kembali melangkah menuju rumah. Samar-samar kudengarkan umpatan demi umpatan yang mereka berikan padaku..

*

Lima tahun yang lalu tepatnya seminggu setelah Lebaran Idul Fitri, Umi Nisa meninggal. Ternyata selama ini Umi Nisa mengidap penyakit kanker otak. Namun ia sembunyikan dari kami berdua. Ya, beranjak dewasa hanya kamilah anak anak panti yang tersisa. Tak seperti anak lainnya yang memilih untuk diadopsi oleh orangtua asuh. Kami berdua memilih tetap tinggal di panti menjaga Umi Nisa yang tentunya beranjak tua. Demi Umi Nisa kamipun belajar dengan sangat giat dan rajin hingga akhirnya bisa diterima di perguruan tinggi swasta yang ada di desa kami. Tak seperti Kang Arif yang melanjutkan pendidikan ke ibukota provinsi.

Selain belajar dan bekerja sambilan. Di perguruan tinggi kami mengikuti kajian Islam. Di sanalah akhirnya kami mulai menyadari bahwa ada yang salah dengan kedekatan kami selama ini. Kami berdua tak ada hubungan darah. Sehingga ada batasan yang harus dijaga. Terlebih saat itu aku sudah berhijab. Tentunya menjadi lampu merah untukku terutama saat berinterakai dengannya.

Karenanya ketika Umi Nisa meninggal dunia, kami sepakat untuk menjual rumah itu dan keluar dari sana. Tentunya setelah itu kami akan hidup terpisah sampai nantinya ada ikatan yang lebih kuat mengikat kami. Seperti janji yang telah ia ucapkan kepada Umi Nisa sebelum beliau meninggal dunia. Dia berjanji akan mengikatku dengan ikatan yang halal. Namun siapa yang menduga jika kejadian itu menjadi fitnah yang besar bagi kami berdua.

Saat sedang membereskan barang-barang yang nantinya akan kami bawa, tiba-tiba warga desa berdatangan. Entah atas hasutan siapa, kami dituduh melakukan perbuatan zina. Tentu saja kami menolak tuduhan tersebut. Namun, saat itu tanpa sengaja salah seorang warga melempar batu ke arahku hingga membuat kepalaku terluka dan berdarah. Hal itu membuat dia sangat murka. Hingga terjadilah perkelahian. Akibat dari kejadian itu membuat ia harus mendekam di balik jeruji besi selama satu hari. Alhamdulillah atas kesaksian Pak Kepala Desa yang merupakan ayah dari Kang Arif, dia bisa dibebaskan.

Beberapa hari setelah kejadian itu, penduduk desa meminta maaf kepadanya. Mereka merasa bersalah karena sudah termakan hasutan salah seorang pria tua yang ternyata sudah lama menyimpan dendam kepada dirinya. Pria itu ternyata mencintai ibunya namun sang ibu lebih memilih menikah dengan lelaki lain. Hal itu membuat si pria tua sakit hati.

Sebulan setelah kejadian itu, dia meninggalkan desa. Ia diterima bekerja di salah satu perusahaan besar di ibukota provinsi. Saat itu ia mengatakan bahwa ia akan datang kembali untuk menunaikan janji yang telah terikat diantara kami. la memintaku untuk menunggunya. Untuk itulah kenapa selama lima tahun ini aku menunggunya. Bahkan untuk tahun-tahunberikutnya, karena sejak kecil aku sudah mengenalnya. Ia tak pernah sekalipun ingkar dengan janji yang telah ia lafazkan. Maka dari itu, jika bukan Tuhanlah yang membatalkan janji itu, aku akan tetap menunggu.

"Kudengar kemarin sore kamu beradu mulut lagi dengan Bi Rani dan Bi Wati, benarkah itu?" Katya, satu-satunya teman yang kupunya saat ini melontarkan pertanyaan yang sejujurnya enggan untuk kujawab. Ingin rasanya kejadian kemarin sore itu menguap begitu saja.

"Ya, begitulah," singkat kujawab tanya yang Katya utarakan tanpa perlu bertanya kembali dari mana ia mendengar berita tersebut, karena sudah pasti disebarkan langsung oleh si pelaku itu sendiri.

"Nay, kamu....." suara Katya mendadak terhenti. Kutatap Katya yang berada si belakangku. Saat ini kami sedang merapikan posisi buku-buku yang berserakan di atas meja setelah selesai dibaca oleh para pengunjung pustaka. Aku tentu saja merasa bingung akan tingkahnya yang tiba-tiba saja diam dan tak melanjutkan perkataannya. Ia terpaku menatap ke arah depan.

Kuikuti kemana arah pandangan Katya berlabuh. Ternyata Katya terpaku melihat sosok Kang Arif yang mendadak muncul dihadapan kami berdua. Perlahan Katya mulai sadar, dan memilih beranjak dari sana. Sepertinya ia tahu bahwa kedatangan Kang Arif yang tiba-tiba jelas penting dan tentunya ada kaitannya dengan diriku.

"Jika Kang Arif menemuiku hanya untuk membahas gosip yang berhembus saat ini, aku akan kembali ke dalam," ujarku tegas sembari berdiri dari kursiku. Saat ini kami berada di kantin perpustakaan. Tempat teraman bagiku untuk berbicara dengan Kang Arif.

"Baiklah, aku tak membahas mengenai gosip yang beredar itu. Jadi bisakah kamu duduk kembali," Kang Arif memilih menyerah atas sikap dingin yang kutunjukkan.

Kuturuti permintaannya. Aku kembali duduk di kursi dane menatap gawai yang berada di genggamanku.

"Kanaya, tak bisakah kamu menyerah dan menerima diriku?"

Kepalaku sontak terangkat dan menatap Kang Arif atas tanya yang ia utarakan. "Kenapa tidak Kang Arif saja yang menyerah dan tidak lagi mengharapkan aku menjadi pendamping Kang Arif?"

Aku balik bertanya kepada Kang Arif. Rasa tak percaya pun menyeruak di wajah putihnya mendengar kalimat tanya yang kuutarakan. 

Setelah mampu menguasai diri kembali, Kang Arif menjawab, "Aku tidak akan menyerah. Sampai kapanpun aku akan tetap menunggu dirimu. Sampai kau bosan menunggu kedatangannya."

"Kenapa Kang Arif keras kepala sekali. Bukankah dia itu sahabat baik Kang Arif. Kenapa Kang Arif mengkhianatinya."

Kang Arif menatap tajam ke arahku, dengan penuh emosi ia berkata, "Bukan aku yang berkhianat, Ayyublah yang telah mengkhianatiku. Dari awal kita bertemu di panti asuhan itu, aku telah jatuh cinta kepadamu. Aku bertanya kepadanya, apakah dia menyukaimu dan jawabannya tidak. Lalu kenapa di saat kepergianku menimba ilmu, dia tega mengkhianatiku."

Kutatap butiran pasir hitam yang ada di genggamanku. Kencangnya dersik angin yang bertiup menerbangkan butiran pasir hitam tersebut. Percakapan antara aku dan Kang Arif terhenti sampai di situ. Aku meninggalkan Kang Arif setelah mendengar pengakuan yang Kang Arif sampaikan. Tak salah bukan jika jawaban itu yang diberikan oleh Kang Ayyub karena saat itu kami berdua masih belum sadar atas rasa yang selama ini kami miliki.

Kang Ayyub pasti tidak menyadari jika rasa yang dimiliki oleh sahabatnya kepadaku akan sedalam itu. Aku membutuhkan Kang Ayyub saat ini, untuk meluruskan kesalahpahaman diantara kami bertiga. Kesalahpahaman yang akan terus menjadi benang kusut jika tak segera diuraikan.

Suara burung yang berterbangan menyadarkan keterpakuanku. Lagi dan lagi, penungguanku masih akan terus berlanjut. Aku bangkit dari duduk panjangku di atas batu karang yang tepat menghadap ke laut lepas. Perlahan kulangkahkan kaki menuju rumah. Namun, baru beberapa langkah kakiku menapaki pasir hitam ini. Terdengar sebuah suara memanggil namaku dari arah pantai. Sontak aku berbalik dan netraku menangkap siluet tubuh seseorang yang hampir lima tahun ini kurindukan.

"Assalamu'alaikum, Kanaya," ucapan salam terdengar dari lisannya setelan sosoknya Itu berdiri tepat di hadapanku.

"Waalaikumsalam, Kang Ayyub," pelan kujawab salam yang ia ucapkan dengan air mata yang sudah bergenang indah di netraku. "Kang Ayyub dari mana, sudah hampir dua jam aku menunggu tapi tak ada satu pun kapal yang berlabuh di dermaga ini?"

Sebuah senyum manis terukir di sudut bibirnya. "Sebenarnya tadi kapal yang aku tumpangi berlabuh sehabis ashar, karena itu aku bergegas ke pasar untuk membelikanmu ini," jawabnya sembari mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari kantong jaketnya.

Ketika ia membuka kotak tersebut, mataku semakin berkabut. Di dalamnya terdapat sebuah cincin emas yang begitu indah. Ya Tuhan, ternyata janji yang ia ucapkan tiga tahun lalu benar-benar ditepatinya.

"Sesuai dengan janji yang aku ucapkan dulu, masih bersediakah kamu menjadi bidadariku di dunia hingga ke syurgaNya?"

Sembari tersenyum, aku menganggukkan kepala sebagai jawaban atas lamaran yang telah ia berikan.D ari atas pelaminan netraku menangkap siluet dua oranga sahabat yang duduk berangkulan sambil tersenyum manis.

Alhamdulillah atas izin Allah, kesalahpahaman yang terjadi di antara kami berakhir bahagia. Dua hari setelah kepulangannyae ke desa ini, Kang Ayyub bertemu dengan sahabatnya itu. Aku tak tahu pertemuan seperti apa yang terjadi di antara mereka. Namun yang pastinya, Kang Ayyub datang menemuiku dan berkata bahwaa Kang Arif akhirnya mau mengerti dan menerima hubungan antarak aku dan dirinya. Meski saat itu ia datang dengan wajah yang agak lebam.

Bahkan semingga sebelum hari pernikahan kami, Kang Arif mengabari bahwa ia bersedia untuk menjadi saksi di acara akad nikah kami. Betapa bahagianya Kang Ayyub mendengar kabar yang diberikan sahabatnya itu. 

Sudah dua jam acara sakral itu berlangsung, kini aku dan Kang Ayyub sudah sah menjadi sepasang suami istri. Akhirnya janji yang terikat itu tertunaikan sudah. Terimakasih Allah atas nikmat yang Engkau berikan. Semoga ikatan ini kekal hingga ke JannahNya. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustai.

***

Biodata

Tuti Sulastri Sulaiman adalah nama lengkap pemberian orang tuanya. Namun dalam kesehariannya lebih senang dipanggil Astri atau Tuti. Oleh karena itu, ia memilih Astri Tuti sebagai nama penanya. Terlahir dari pasangan orangtua asli Sumatera Barat namun berwajah Jawa. Sejak kecil sudah bercita-cita sebagai penulis, berharap agar setiap kata yang ia rangkai bisa memberikan kenangan bermakna. Kesehariannya diisi dengan menjadi tenaga pendidik di sebuah sekolah Islam swasta di bumi Melayu, Pekanbaru-Riau. Jika ingin bersama dengannya bisa menghubungi alamat FB nya dengan nama akun Tuti Sulastri Sulaiman Chaniago dan juga bisa juga ke akun IG nya Astrituti.

#Dari buku Antologi Cerpen: Jejak Kenangan (Haura Publishing; November 2021) 




Related Posts

Posting Komentar