Oleh: Hesti Caprilest
Pagi yang cerah. Mentari bersinar terang seakan menyambut pagi yang indah. Meskipun masih pagi, tetapi sudah tercium wangi panggangan kue. Bau sedap, menggoda hidung menyelinap keluar lewat jendela dapur sebuah rumah bercat biru. Wangi itu kian menggelitik hidung, dan perut siapa saja yang menciumnya.
Di balik dapur itu, seorang gadis tengah asyik mencetak kue di atas meja. Sesekali ia berdiri, dan beranjak dari kursi tempat duduknya menuju oven berukuran besar. Diamatinya kue-kuenya dari balik kaca pintu oven tersebut. Dia tersenyum puas. Matanya bersinar senang. Gadis itu duduk kembali, dan melanjutkan pekerjaannya. Tak jauh dari kursinya, seekor kucing tertidur pulas menemani gadis itu di dapur.
Gadis itu bernama Hana. Anak pertama seorang pembuat kue yang cukup dikenal di daerahnya. Hana mempunyai adik bernama Rio. Usianya lima belas tahun, dua tahun lebih muda dari Hana. Hana mempunyai seekor kucing yang bernama Kuro. Kuro diambil dari bahasa Jepang yang artinya Hitam. Meskipun semua bulunya berwarna hitam legam itu membuatnya kelihatan sedikit seram, tetapi ia kucing yang lucu dan manja. Nama Hana pun diambil dari bahasa Jepang yang artinya bunga. Orang tuanya berharap Hana bisa menebar wangi kebaikan dan manfaat bagi sekitarnya.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, aktivitas Ramadan kali ini Hana malah sibuk membuat kue. Tiba-tiba saja ibunya jatuh sakit, sementara pesanan kue cukup banyak. Pesanan itu harus selesai pada waktu yang telah ditentukan. Ibunya kebingungan. Ia hendak membatalkannya, tetapi Hana melarangnya.
“Jangan Bu, biar nanti Hana saja yang lanjutkan.., ” Hana memberanikan diri. Ia tahu, saat ini sejak ayahnya meninggal, itu adalah satu-satunya sumber penghasilan ibu. Meskipun Hana tak begitu yakin akan dirinya, tetapi ia berhasil meyakinkan ibunya.
“Kamu yakin Nak..?”
“Iya Bu, Bismillah..Hana kan sudah sering bantu ibu membuat kue..,” Hana berusaha meyakinkan Ibunya. Meskipun dalam hati kecilnya, tak dipungkiri ada perasaan takut gagal. Karena selama ini Hana tidak pernah membuat kue itu sendiri.
“Bukan itu.., Ibu percaya kok anak cantik Ibu pasti bisa. Ibu hanya khawatir kamu akan kecapean..”
“Tenang saja Bu, tidak usah khawatir, kan ada Rio yang akan bantu ..”
“Baiklah, nanti Ibu beritahu resepnya. Kamu tulis di buku ya..!”
“Iya Bu, sekarang Ibu istirahat saja..!” Hana pun beranjak pergi. Ia menutup pintu kamar ibunya.
Hana teringat Ramadan tahun lalu, saat ayahnya masih ada. Suasana Ramadan terasa indah sekali. Hana berpikir seandainya ayahnya masih ada, mungkin ibunya tidak akan terlalu memaksakan diri untuk menerima banyak pesanan kue yang tak jarang dikerjakannya hingga larut malam.
“Kasihan ibu… ibu kecapaian hingga jatuh sakit,” gumam Hana.
Dokter mengatakan kalau ibunya terkena gejala typus. Hana bersyukur, karena ibunya diperbolehkan rawat jalan. Dokter menyuruhnya bedrest beberapa hari dan rutin minum obat yang diberikan. Meskipun dokter mengatakan kalau ibunya bisa sehat kembali, tetapi Hana merasa khawatir. Entahlah sejak kehilangan ayahnya, Hana memang menjadi orang yang lebih sensitif dalam segala hal.
Hana menarik napas, menahan dirinya agar tidak larut dalam kesedihan. Kuro yang berada di dekatnya, menggesekkan badannya berulang kaki pada kaki Hana. Seakan-akan dia mengerti apa yang tengah dirasakan oleh Hana dan ingin menghiburnya.
Sambil melihat catatan resep yang telah ditulisnya, ia pun meneruskan kembali membuat adonan kue. Hana beberapa kali mengecek kondisi kuenya dari pintu kaca oven. Ia tidak mau kejadian kemarin terulang kembali. Dua loyang kuenya gosong!! Hana merasa kesal karena dirinya lalai . Rio menghibur Hana dengan menggodanya.
“Wah rezeki aku neh.. ”Hmmm…ueenak..,” ujarnya.
Rio pun melahapnya, setelah bagian punggung kue itu dikeriknya. Hana mengerutkan mulutnya. Meskipun kesal, tetapi dia sedikit terhibur melihatnya. Setidaknya kue-kue itu tidak terbuang mubazir.
Lebaran tinggal beberapa hari lagi. Hana masih sibuk di dapur. Rio pun sedang beres-beres di halaman depan. Sementara ibunya sedang beristirahat di ruangan tengah. Tiduran di atas sofa. Ibunya kelihatan sudah membaik. Meski begitu ia tetap belum banyak beraktivitas.
“Alhamdulillah..selesai juga..!, seru Hana kegirangan. Matanya berbinar, senyumnya pun mengembang. Ia terlihat puas. Dihitungnya kembali toples-toples yang sudah tersusun rapi di atas meja. Hasil kerja kemarin bersama adiknya hingga larut malam. Ia menyadari pekerjaan ini ternyata membuat mata lelah dan badan capai Akan tetapi Hana bersyukur dirinya berhasil menyelesaikan pekerjaan ini. Tentu saja semua ini berkat bantuan adiknya Rio dan doa semua yang selalu dipanjatkan di setiap habis salat.
“Rio sudah berubah sekarang. Kini dia mau bantu aku,”gumam Hana. Dirinya masih tidak percaya kalau yang membantu dirinya mencetak kue, memasukkan kue-kue ke dalam toples, menempelkan stiker hingga larut malam itu adalah adiknya yang selama ini kelihatan cuek.
Hana pun terkenang Ramadan tahun lalu.
“Assalamualaikum..!” terdengar ucapan salam dari arah pintu depan. Tampak laki-laki cungkring bersarung kotak-kotak selesai salat tarawih mendatangi dapur sambil senyum-senyum.
“Waah…wanginya sampai keluar rumah,” ujarnya sambil mencuci tangan. Dan tanpa basa-basi tangannya menyambar satu, dua kue yang baru saja matang.
“Riiioooo….kebiasaaaan deh!!,” teriak Hana kesal.
“Sini bantuin, jangan makannya mulu…!! Rio pun bergegas pergi tanpa menghiraukan teriakan Hana.
“Sudah Hana tidak apa-apa,” Ibunya menenangkan. Dia hanya tesenyum melihat kelakuan anak lelakinya itu.
Selama ini Rio memang jarang sekali membantu pekerjaan perempuan seperti memasak, membuat kue dan lain-lain. Rio selalu saja menghindar ketika Hana memintanya untuk urusan itu. Namun, Rio bukan berarti tidak bisa memasak. Pernah suatu hari Rio merasa lapar, ibunya belum sempat memasak. Nasi kemarin yang berada di kulkas pun diambilnya. ”streng..streng..” terdengar suara spatula beradu dengan penggorengan. Wangi enak pun tercium dari arah dapur. Rio telah selesai membuat nasi goreng sosis mentega. Hana tergoda ingin sekali mencicipinya.Rio memberikan Hana satu sendok saja.
“Wah, Enak sekali ..!,” puji Hana. Rio mengerti maksud Hana. Ia segera bergegas pergi tak ingin kakaknya meminta nasinya lagi. Hana tahu kalau adiknya itu memang pintar membuat nasi goreng dan mie goreng. Akan tetapi dirinya tak pernah sekalipun dibuatkan adiknya meski memintanya sambil memohon.
Sejak ayahnya meninggal, Rio menjadi lebih perhatian terhadap Hana dan Ibunya. Bahkan dia rela tidak ikut acara buka bersama hari ini bersama teman sekelasnya. Rio tahu, Hana butuh bantuan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumah. Entahlah apa yang membuat dirinya menjadi sangat manis. Mungkin karena sekarang, dia satu-satunya laki-laki yang ada di rumah, menjadi pelindung dan pengganti ayah yang menjaga Hana serta ibunya.
“Kamu yakin gak berangkat..?,” tanya Hana memastikan kembali.
“Iya.., “ jawab Rio dengan nada datar.
“Kalau begitu kakak boleh minta tolong..?”
“Minta tolong apa..?.” Rio tetap fokus pada pekerjaanya. Dia asyik mencabuti rumput liar yang mulai meninggi.
“Tolong bersihkan ruang kerja ayah..”
“Kakak belum bisa masuk ruangan itu, kakak masih perlu waktu…” Hana tertunduk sedih.
Bagi Hana ruangan itu terlalu banyak menyimpan kenangan tentang ayahnya. Hana begitu dekat dengan ayahnya. Ayahnya sosok yang tegas, disiplin tetapi penyayang. Gaya hidupnya sederhana, enjoy tak pernah terlihat pusing oleh masalah.
Ayahnya banyak menghabiskan waktu di sana. Ruangan kecil berukuran tiga kali tiga meter itu menjadi tempat favorit ayahnya. Salah satu sisi temboknya tertutup oleh buku-buku yang tersusun rapi dalam rak. Tak jauh dari rak buku tersandar juga sebuah gitar tua. Gitar itu dimainkan ayahnya ketika santai. Ayahnya senang membaca. Hana banyak belajar hal baru dari ayahnya. Bagi Hana, ayahnya itu orang yang paling asyik diajak bicara dan berdiskusi tentang banyak hal.
“Nanti habis salat Zuhur, Rio akan bersihkan ruangannya Kak.., ”ujar Rio sambil pergi meninggalkan Hana yang sedang melamun. Hana tersadar dari lamunannya. Dia pun masuk ke dalam rumah.
“Ibuu…Ibuu…!!”
Tiba-tiba terdengar teriakan Rio memanggil ibunya. Tampak Rio berlari datang menghampiri Hana dan ibunya yang sedang berbincang di ruang tengah.
“Ada apa sih, Rioo.., bikin kaget saja…!!,” seru Hana sambil menepuk pundak Rio.
“Kenapa Rio..?” Ibu pun bertanya. Memastikan apa yang terjadi.
“Iniii…Buu…,” Rio memperlihatkan kaleng berbentuk kotak persegi. Kaleng bekas kue. Gambarnya sudah memudar dan terlihat ada sedikit karat dibagian pinggirnya.
Semua tertuju pada kaleng itu. Ibunya terdiam. Dia heran melihat Rio memegang barang milik almarhum suaminya.
Hana mendekat. Alisnya berkerut. Dia memiringkan kepalanya. Diamatinya benda itu.
“Rasanya aku pernah melihat benda itu...tapi di mana ya?,” Hana berusaha mengingat-ingat.
“Itu kan barang yang ada di ruang kerja ayah..!, ” serunya.
Hana ingat kalau dia pernah melihat ayahnya sedang memandangi benda itu, kemudian mengelapnya sambil berdendang menyanyikan sebuah lagu lama. Ayahnya terlihat senang. Hana pun pernah bertanya kepada ayahnya tentang benda itu. Ayahnya hanya menjelaskan bahwa itu adalah barang berharganya.
”Ini barang berharga ayah.., harta karun ayah, ”jawabnya sambil tertawa. Hana pun ikut tertawa. Menganggap ayahnya sedang bercanda.
“Kaleng ini punya siapa, Bu..?, ” tanya Rio.
“Itu punya ayah…,” jawab Ibu dengan nada lirih.
“Memangnya kenapa..?”
“Maafkan aku ya, Bu. Jika telah lancang..!”
Rio meminta maaf karena telah lancang membuka laci meja ayahnya ketika sedang membersihkan ruangan itu. Tiba-tiba mata Rio tertarik pada sebuah kaleng kue yang berada di dalamnya.
“Rio buka kaleng itu, dan menemukan ini, Bu.” Rio memperlihatkan isi kaleng tersebut.
Hana dan ibunya terperangah melihatnya. Mata ibu mulai berkaca-kaca. Satu demi satu bulir air mata jatuh membasahi pipinya.
“Jadi ini toh maksudnya harta karun itu Paak…!” Ibu mengambil kaleng itu dan memeluknya.
Rio dan Hana saling berpandangan. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi.
Sambil berlinang air mata ibu menjelaskan bahwa ayahnya sudah sejak lama memyimpan kaleng kue tersebut.
“Jadi..ketika bapakmu kecil, bapak menginginkan kue kaleng yang dijual di sebuah toko kue. Akan tetapi, harganya cukup mahal. Ibunya tak cukup uang untuk membelinya. Namun diam-diam ibunya menyisihkan uang, menabungnya agar bisa membelinya. Suatu hari ibunya mengajak bapak kembali ke toko kue itu. Ibunya membelikan kue yang bapak inginkan itu. Bapak sangat senang. Dan tak pernah melupakan momen itu.”
“Sejak itulah bapak menyimpan kaleng kue itu sampai sekarang. Bagi bapak, barang itu sangat berharga.”
“MasyaAllah..., jadi kaleng ini umurnya lebih tua dari kita dong..!, ” seru Hana dan Rio hampir berbarengan.
Ibu mengambil benda dari dalam kaleng kue itu. Sekelebat cahaya terpancar dari benda tersebut mengenai wajah sang ibu.
“Buu…!”
“Apakah emas batangan ini semuanya milik ayah?, ”tanya Hana.
“Iya, “ jawab Ibunya sambil melihat beberapa kertas dan surat yang berisi keterangan tentang emas itu.
“Ibu tidak pernah tahu dan tidak pernah menyangka kalau ternyata bapakmu diam-diam mengumpulkan uang dan membelikan emas ini. ”
“Selama ini Ibu menyangka kaleng itu hanyalah kaleng kue kenangan. ” Ibunya terisak.
Dia terkenang kembali percakapan dengan ayah Hana di suatu pagi di teras halaman rumah.
“Pak…, tidak terasa anak-anak sudah besar ya.”
“Iya…,” jawabnya sambil tetap asyik membaca koran.
“Kita sudah harus mulai menabung Pak. Rio tahun depan masuk SMA. Hana dua tahun lagi mau kuliah.”
“Hana juga sekarang sedang menabung, katanya ingin membeli sepeda motor gitu Pak.”
Ayah Hana terdiam. Dilipatnya koran yang sedang ia baca.
“Bu…, tidak usah khawatir. Ada Allah yang Maha Besar dan Maha kaya. InsyaAllah akan ada rezekinya.”
“Tenang, Bu. Kita kan punya harta karun,” ayah Hana tersenyum.
“Aaah.. Bapak malah bercanda.” Ibu Hana pun masuk ke dalam rumah dengan sedikit kesal.
“Buuu…,” terdengar suara Hana sambil terisak. Ibunya tersadar.
Dilihatnya Hana yang sedang menangis. Air matanya membasahi kedua pipinya. Begitu juga Rio. Matanya merah. Bulir air matanya pun terjatuh meski dia berusaha menahannya.
“Aku rindu bapaaak.., bapak begitu sayang kita ya Bu,” suara Hana bergetar.
Air matanya semakin deras. Ibunya memeluk Hana dan Rio. Mereka pun saling berpelukan. Menangis bersama. Mengingat orang yang sangat mereka cintai.
Purwokerto, 28 April 2022
***
Bionarasi
Hesti Caprilest, nama pena dari Hesti Lestiati. Seorang ibu rumah tangga, kelahiran kota Bandung. Anak ke-3 dari lima bersaudara. Saat ini tinggal di Purwokerto bersama suami dan kedua anak laki-lakinya. Mulai belajar menulis di kelas Menulis April 2022. Harapannya ingin membuat karya tulisan yang menginspirasi dan bermanfaat untuk banyak orang.
Dari antologi cerpen KUKIS (Kumpulan Kisah) Ramadan (Komunitas Seni Digital Kolaboratif dan Perempuan Menulis- Komunitas Ceria; Haura Utama; Mei 2022
Posting Komentar
Posting Komentar