Blog Perempuan Menulis

Cerpen : Sajadah Cinta

Posting Komentar

 Sajadah Cinta

Oleh: Asih Drajad Lumintu

Sajadah Cinta

Pagi hari, mentari bersinar cerah. Di suatu rumah bagian Timur kota Metropolitan, seorang ibu bergamis motif bunga ungu tengah duduk di samping dipan tidur anak gadisnya, Alya. Sudah dua hari anak bungsunya terbaring demam. Tepatnya, setelah Alya menerima biodata seorang lelaki bernama Faiz dari mbak Ris, sahabatnya. Ibunya yakin, Alya sedang berikhtiar memilih lelaki yang cocok mendampingi hidupnya kelak.

Sebelum itu lelaki bernama Rafi, teman sekampus Alya memohon Alya bersedia menjadi istrinya. Dulu hati Alya berbunga menerima surat pertama darinya. Namun belakangan, ia menghindar dari Rafi, lelaki yang sebenarnya pun tak pernah dikenal, kecuali sebatas teman organisasi. Alya menerka, Rafi lelaki yang kokoh dalam pendiriannya.                                                            

"Sama seperti diriku,” cerita Alya kepada ibunya. Bedanya, Rafi punya sense of humor yang kerap mencairkan kebekuan rapat.

Ibu memandangi Alya lekat-lekat. Mata dan bibir Alya, mengingatkan pada almarhum suaminya. 

Dipijatnya kaki Alya. “Bulan depan usiamu tepat dua puluh empat tahun, Hmm .., kasihan anakku,, masa kecilmu sebagai yatim, membekas dalam sikapmu kepada lelaki," gumamnya. 

Pijatan ibu membangunkan Alya. Setengah memaksakan diri, Alya duduk bangkit di kursi dekat dipan. Ibu menyibak gorden jendela kamar. Udara dingin, sisa hujan semalam menerobos masuk.  Lirih Alya membuka percakapan.,

"Bu .., kenapa Alya semakin ragu dengan Rafi ya? "

Ibu tak langsung menjawab. Diusapnya rambut lurus Alya.

"Alya, Sayang. Setiap keraguan tentu ada sebabnya. Menurutmu, kenapa rasa itu muncul, Nak ..?" Ibu balik bertanya.

Sekelebat bayangan Rafi hadir di benak Alya.  Aktivis kampus yang sering hadir memimpin rapat organisasi, meski beda jurusan dan gedung kampus dengan Aliya. 

“Sang pemimpin yang disegani,” demikian gambaran Alya tentang  Rafi. 

Setelah Rafi menitip surat melalui Nur rekan seorganisasi, keadaan berubah.  Alya jadi salah tingkah, jika rapat dipimpin Rafi. Isi suratnya jelas memohon Alya bersedia menjadi istrinya kelak. Namun, Rafi meminta tempo setahun untuk menyelesaikan skripsinya, dan mencari pekerjaan yang layak.

"Ooh setahun ...!“

Bagi Alya, bukan lamanya. Tetapi di masa penantian, siapa yang menjamin keduanya mampu menahan keinginan tidak bertemu?. Padahal belum ada ikatan yang kuat, bernama akad nikah.

“Bukankah di jiwa manusia ada nafsu menggoda? Adalah fitrah manusia, tertarik  dengan lawan jenis?”  

Sungguh Alya tidak mendustai dirinya. Ia senang dengan ungkapan Rafi di suratnya. Itulah jerat awalnya. Komunikasi intensif berlanjut lewat telepon, berkelindan dengan relevansi program kerja organisasi. Jiwa manusia kadang menepis peringatan suara hati. Berdalih, 

"Hubungan ini masih aman, dan kami baik-baik saja".

Alya tergugu bimbang. Hatinya justru menolak, saat Rafi mulai memuji kecantikannya. Menurut Alya, ini adalah bumerang baginya kelak. 

"Hmm, siapa yang menjamin, kecantikan akan abadi ..," lirih Alya.

Alya mulai menghindar pertemuan dengannya. Ia tidak lagi ikut rapat, di mana ada Rafi.

"Aku ingin pendamping yang menerimaku apa adanya sepanjang masa, tanpa embel-embel lain," gumam Alya

Ibu mengangguk tersenyum,  "It's okay Alya"

Ia hafal tabiat Alya, Anak gadisnya tetap akan kokoh pada pendiriannya, jika itu sudah maunya.

"Alya, kau sudah dewasa. Ibu doakan, semoga itu pilihan terbaikmu," bisik ibu mengelus rambut Alya

"Sekarang kita makan dulu yuuk!. Hari ini ibu masak sop ayam, dan kentang crispy kesukaanmu,” ajak ibu menarik tangan Alya ke ruang makan.

*

"Istikharahlah Alya. Baru beri jawaban, bila kau sudah siap ya!” jelas Mbak Ris saat itu.

Bunyi keras kentongan ronda dipukul tiga kali telah membangunkan tidur lelap Alya. Jari tangannya mengusap kedua mata agar terbuka. Menepis kantuk yang tersisa. Alya mencoba mengingat mimpinya barusan. Entah, walau hanya mimpi, tetapi membekas di benaknya.

"Ah kukira beneran," gumam Alya

Lelaki dengan celana panjang putih bersih, bersepatu pantofel, tampak jelas duduk di hadapan Alya. Sayangnya saat itu Alya menunduk malu, sehingga wajah lelaki di depannya tidak tampak. Hanya sepatu pantofel hitam, dan celana panjang putihnya yang diingat. Alya menebak sosok lelaki di mimpinya berperawakan tinggi. 

Alya gadis sawo matang, berwajah oval itu segera melipat selimut tidur bercorak polkadot merah jingga. Udara dingin berhembus masuk lewat ventilasi kamar tidurnya. Diliriknya, jam beker persis di samping dipan. 

"Hmm, jam 03.20, saatnya bangun," dihela napasnya. Ia memohon kepada Allah buat kebaikan semua orang yang dicintainya,  dan berlindung dari bisikan setan yang menyelinap, bahkan dalam mimpinya tadi. 

Ditinggalkan kasur empuknya menuju kamar mandi di lantai bawah rumah. Sebagian penghuni kamar di lantai bawah sudah terbangun, dan bersiap-siap qiyamul lail.  Rumah Alya termasik tempat kost pilihan para mahasiswi di kota itu. Sambil menyambar handuk di jemuran kecil, Alya segera wudu. Ternyata ibu pun sudah bangun.

Guyuran air wudu membuat Alya tenang, dan nyaman.  Sejak ikut kegiatan Rohis di SMA-nya dulu, Alya rajin bangun malam, dan tidak lagi bolong-bolong salat wajib lima waktu. Ilmu agamanya banyak diperolehnya di sana. 

Alya menggelar sajadah. Khusyuk di sepi malam menjelang fajar. Setengah jam lagi, azan subuh berkumandang dari sepiker mushola dekat rumahnya. Ia bermohon agar Allah kokohkan pilihannya, satu di antara kedua lelaki itu. Atau sosok lainnya, Alya sudah siap.

Mimpi tadi membekas di ingatan Alya, seolah isyarat penguat dirinya menerima Faiz, lelaki di biodata itu. 

*

Sambil merapikannya lekuk jilbab biru polos, dan mendorong helai rambutnya masuk ke dalam jilbab, Alya mengucap salam di depan pintu rumah mbak Ris. Ia putuskan buat meng-iya-kan kelanjuatan proses perjodohannya. Kemantapan Alya menguat, karena rasa takutnya kepada Allah, Zat Pengenggam Hatinya.  Perjalanan panjang  munajat, dan doa  istikharah di sajadah tengah malam telah mengokohkan hatinya, Faiz lelaki asing itu pilihanNya, bukan yang lain.

Seperti mimpi proses ta'aruf dan lamaran Faiz ke keluarga Alya berjalan lancar. Bahkan yang menakjubkan, Faiz tak ingin bertemu Alya saat lamarannya. Alya yang penasaran bertanya ke ibu, seperti apa calon suaminya? 

"Persis kayak Mas Seno, abangmu ...," jelas ibu.

"Hm, itu sudah cukup," senyum Alya. 

Sehari setelah lamaran Faiz, Rafi menghubungi Alya, dan menyatakan ia siap melamarnya dua bulan lagi. Padahal, sebelumnya, Alya pun sudah berkata tidak kepada Rafi. Sambil minta maaf, Alya meyakinkan Rafi, jodoh terbaik untuknya masih menunggu dan jelas itu bukan dirinya.

*

Pesta pernikahan berlangsung khidmat. Tamu undangan lelaki dan perempuan terpisah ruangan. Alya menerka sosok Faiz. Cuma fotonya yang Alya ingat, sewaktu mengurus surat ke KUA. 

"Ibu benar, lelaki itu mirip abangku," ujar Alya menatap foto Faiz.

Alya tersenyum ketika Zafira sepupunya bertanya, "Alangkah beraninya ia menerima lelaki yang belum dikenal dalam ikatan pernikahan? ".

"Bukankah bila engkau persiapan hati sebaik-baiknya, maka Allah akan takdirkan hati serupa di sisimu?" balas Alya penuh keyakinan. 

"Lantaran setahuku, ruh itu semisal tentara. Ruh baik akan dipertemukan dengan ruh yang baik, pun sebaliknya."

"Sesungguhnya ruh-ruh itu seperti pasukan yang berbaris (ketika di alam arwah). Bila dahulu mereka saling mengenal (di alam arwah), maka mereka akan berkasih sayang(di dunia), dan jika dahulu mereka saling bermusuhan, maka mereka akan saling berselisih (di dunia)."

Bahkan dikisahkan, Uwais Al Qorni mampu menyebut nama lengkap Haram bin Hayan, saat pertama kali berjumpa. Ia pernah menjelaskan, 

"Ruhku, melihat ruhmu. Semenjak jiwaku berbicara dengan jiwamu. Sesungguhnya ruh itu, mempunyai nafas, sebagaimana bernafasnya tubuh. Dan orang-orang yang beriman, akan mengenali bagian dari sebagian lain. Mereka saling mencintai, dengan anugerah Allah, walaupun belum bertemu."

Setelah para tamu undangan mulai sepi, Mbak Ris berbisik,  "Ayo Alya sekarang temui suamimu di kamar pengantin."

Itulah momen pertama Alya bertemu Faiz.  Lelaki asing yang belum pernah dijumpainya, sekarang resmi menjadi suaminya. Segera Alya, mencium punggung telapak tangannya. 

"Jodoh terbaikku sudah datang. Aku ridha denganmu," tegas Alya menguatkan dirinya. 

Faiz menyambut. Berdoa, dan memegang ubun-ubunnya. Semua terasa datar bagi Alya, tetapi ia tenang, Faiz jodoh terbaiknya. Ia berharap keberkahan hidup di dunia dan akhirat diraih bersamanya. 

"Hikmah pernikahan adalah tanda kebesaran Allah. Dijadikan pasanganmu agar engkau menjadi tenang. Episode selanjutnya, mewujudkan cinta dan kasih sayang. Menumbuhkan dan merawatnya. Semua berproses, dan suami-isteri saling kerja sama.  Ibarat mengayuh bahtera. Kadang laut tenang, dan sesekali bergelombang. Ujian hidup ibarat hentakan topan badai. Bahtera tetap terus berlayar ke pulau tujuan." Tengiang inti khutbah pernikahan di telinga Alya.

Di pagi setelah malam pengantin yang berkah, keluarga mertuanya mengajak Alya wisata ke Taman Mini Indonesia Indah.  Mobil angkot mikrolet belum melaju. Alya duduk di samping Faiz, sedangkan bapak mertuanya, duduk persis di depannya. Alya terpekur dan melihat ke bawah. Ia tersentak kaget menatap sepatu bapak mertuanya. Ingatan mimpinya hadir lagi. 

"Masya Allah…, persis kejadian di mimpi.  Sepatu pantofel, dengan celana panjang putih. Ooh .., ternyata yang kulihat bapak mertuaku, dan bukan suamiku ...," seloroh Alya tergelak.

“Dejavu kah?”

Alya tersenyum. Isyarat Allah perihal jodohnya sudah terungkap. Spektrum bahagia menyela jiwanya. 

"Bismillah, aku siap berlayar, bersama lelaki yang janjinya telah disaksikan seluruh penduduk langit. Mengarungi bahtera ibadah terpanjang bernama pernikahan,” bisik hati Alya.

***

Dari buku Antologi Cerpen PELANGI KEHIDUPAN ( Haura Publishing) ; Januari 2022

***

Bionarasi

Asih Drajad Lumintu, tinggal di Pekanbaru. Perempuan berlatar Pendidikan Bahasa Arab IKIP Jakarta dan Pendidikan Islam UIN Suska Riau ini, mulai menekuni dunia tulis menulis belakangan ini. Ia menggagas Kelas Perempuan Menulis di Komunitas Ceria (Cita Perempuan Indonesia) secara online. Kreasi tulisannya bisa dilihat di: http://Instagram.com/komunitasceria.  Atau www.mompembelajar.com

Perempuan Menulis


Related Posts

Posting Komentar