Oleh : Asih Drajad Lumintu
Hari itu Mak Ijah pergi undangan pengajian ke surau di ujung lorong kampungnya. Langit siang itu cerah, tiada tanda akan turun hujan, sehingga Mak Ijah tidak perlu berbekal payung kesayangannya.
Namun diluar dugaannya, hujan deras sekonyong-konyong tumpah ruah, selepas pengajian.
Waktu bergulir. Satu persatu, teman Mak Ijah dijemput pulang oleh anaknya, atau sanak kerabatnya. Hari makin merambat gelap, Mak Ijah menengok, dan berharap ada seorang dari ketujuh anaknya menjemputnya pulang ke rumah. Menyandangkan payung, dan melindungi dirinya dari gigil dingin hujan. Ia bahkan mencoba tersenyum, saat Mak Atik meninggalkannya sendirian, lantaran Udin, anak lelakinya telah menjemputnya.
"Ah, di mana kamu anak-anakku ?, " sendu Mak Ijah
Bunyi gelegar guruh mengiringi petir yang sesekali menerangi pekat langit. Jemaah lelaki salat Magrib pun mulai berdatangan. Setengah berlari, Mak Ijah akhirnya mencoba merobos gelap, disapu hujan deras.
Bibir Mak Ijah gemetar saat mengucap salam di depan pintu.
Lela terkesiap kaget bercampur kasihan melihat pucat wajah Mak Ijah, emak tercintanya yang basah kuyup.
emak tercintanya yang basah kuyup.hari itu ada undangan pengajian di surau. Disangkanya tadi pergi ke rumah bude Mur, seperti biasanya.
Itulah hujan penyesalan baginya. Rasanya ingin sekali ia ubah ending episodenya. Berlari memayungi Mak Ijah, sembari menatap semringah senyum emaknya, dan berbisik "Mak.., aku anakmu masih ada...!, " derai serak suara Lela, menyebut Mak Ijah di senja gelap berselimut hujan.
Pekanbaru, 4 Agustus 2022
***
Bionarasi
Asih Drajad Lumintu, tinggal di Pekanbaru. Perempuan berlatar Pendidikan Bahasa Arab IKIP Jakarta dan Pendidikan Islam UIN Suska Riau ini, mulai menekuni dunia tulis menulis belakangan ini. Ia menggagas Kelas Perempuan Menulis di Komunitas Ceria (Cita Perempuan Indonesia) secara online. Kreasi tulisannya bisa dilihat di: http://Instagram.com/komunitasceria. Atau www.mompembelajar.com
Posting Komentar
Posting Komentar