WAKTU TERUS BERGERAK
Oleh : Fatmah
“Ada gempa,” kata Meira dengan suara seraknya pada handphone putih yang ada dalam genggaman.
“Gempa? Terus kenapa hanya diam saja. Kamu di mana sekarang?” Seketika terdengar intonasi suara yang cukup meninggi dari seberang sana.
Meira hanya terkekeh samar menanggapi kepanikan itu, ibunya selalu saja bersikap cemas pada hal-hal kecil, tanpa mendengarkan penjelasan lengkapnya terlebih dahulu. Ia gemar sekali melebih-lebihkan sesuatu yang bagi orang lain, padahal terlihat biasa saja.
“Tidak, maksudku tadi ada gempa pelan dan sebentar sekali. Adi sekarang masih ada di teras, ia sempat keluar ketika lantai mulai bergoyang pelan. Aku? Masih di tempat tidur, biasa Ma baru bangun,” ujarnya menjelaskan kronologisnya.
Selama beberapa minggu terakhir, warga kota Palu sering merasakan gempa kecil atau sering disebut dengan tanah goyang yang hadir disela-sela aktivitas mereka. Meira terlihat cuek saja karena merasa tidak akan menimbulkan bahaya yang berarti.
“Jadi kamu baru bangun tidur? Astaga, anak cewek kenapa bangunnya siang hari. Kamu pikir sekarang baru jam berapa?” sambut Ibunya dibumbui dengan nada emosi.
“Baru pukul sepuluh lewat, lagi pula ini hari Sabtu kok, aku masih libur sampai besok. Mama kapan ke sini?” tanya Meira ringan tanpa menanggapi komentar ibunya tentang kemalasannya.
Meira melanjutkan pendidikannya di kota Palu, tepatnya di SMA Negeri 4 Palu. Kini, adalah tahun ketiga untuknya, sebagai anak rantau yang jauh dari orang tua. Ia tinggal bersama kakaknya di sebuah kos sederhana. Ketika mendapati kabar bahwa ibunya akan datang untuk mengunjungi mereka, Meira bahagia bukan main.
“Seminggu lagi, kira-kira di hari Jum’at. Ya sudah, kamu hati-hati di sana. Sekolah yang benar, dan kalau ada gempa lagi jangan hanya tinggal di dalam ruangan!” peringatnya dengan tegas.
“Iya, Ma. Tenang saja, jangan terlalu khawatir!” Tutup Meira setelah mengucapkan salam pada ibunya.
*
Palu, Jum’at, pukul 16.03—28 September 2018.
Hiruk pikuk puluhan siswa di dalam kelas, duduk dengan mulut yang tak hentinya bergerak, berucap berbagai kata membentuk sebuah nama senyawa kimia. Jantung berdegup kencang diikuti dengan rasa cemas yang mulai menggerogoti, memaksa benda pengingat yang ada di dalam kepala mereka, agar mampu menampung segala materi.
Metana, etana, propana, butana, dan berbagai gugus fungsi lainnya mereka lontarkan dengan penuh perjuangan. Tabel nama-nama senyawa yang terdengar rumit itu sudah tertulis di atas papan tulis sejak sepuluh menit yang lalu, diiringi dengan sebuah kalimat perintah dari sang guru.
“Coba hafalkan nama-nama serta rumusnya dulu, sambil menunggu jam pulang. Siapa yang sudah bisa hafal, silahkan pulang lebih dulu!” katanya melihat jam dinding yang terpasang di atas papan tulis. Masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi sebelum bel berbunyi.
“Dipertemuan berikutnya, kita adakan ulang harian dengan materi ini,” lanjutnya dengan tatapan yang sedikit lebih serius dari biasanya.
“Baik bu,” sahut mereka bersama.
“Astaga, belum selesai menyetor hafalan pelajaran Agama Islam. Sekarang sudah disodorkan dengan tugas hafalan baru lagi.” Terdengar suara bisik-bisik penuh keluh kesah dari bangku depan.
“Bagaimana dengan hafalan doa-doa setelah sholatmu, apa kamu sudah menyetornya?” tanya Meira pada teman sebangkunya.
“Mmm ... ya, sudah. Selepas salat Zuhur tadi,” jawab Adena pelan. “Kenapa aku tidak melihatmu ada di masjid?” sambungnya.
“Aku sedang udzur. Jadinya disetor di ruang guru, ya? Sama siapa ke sananya?”
“Tisha, Kaila, sama Aruna,” balas Adena dengan mata tertutup karena sedang berusaha untuk bisa fokus.
“Oh, lalu bagaimana dengan nilainya. Kamu dapat nilai berapa? 90, 95?” tanyanya beruntun.
“Stop, Mei! Apa kamu ingin menjadi seorang wartawan hingga terus mengintrogasiku? Fokus saja sama hafalanmu agar kita bisa cepat keluar dari kelas ini,” sentak Adena yang sudah tidak tahan lagi untuk meladeni sahabatnya itu.
“Hahaha, baiklah.”
Waktu terus bergulir, hingga lima menit sebelum bel berbunyi, belum ada tanda-tanda dari mereka untuk memantaskan diri maju ke depan sana. Nyatanya dari deretan tabel tersebut tidak ada satu pun siswa yang mampu mengingat lebih cepat seperti sang bapak ilmu kimia, Jabir Ibn Hayyan. Seorang tokoh besar yang dikenal sebagai “The father of modern chemistry” dan merupakan seorang muslim yang ahli dibidang kimia, farmasi, fisika, filosofi dan astronomi.
Ibu Fatimah, begitulah mereka memanggilnya. Seorang guru dengan sehelai cadar di wajahnya dan jilbab yang menjuntai hingga betis, akhirnya memutuskan berdiri kembali dari duduknya.
“Ya sudah kalau sekarang belum ada yang bisa, ibu jelaskan sekali lagi!” seru sang guru menyuruh mereka untuk berhenti menghafal.
“Iya Bu,” jawab mereka serentak sambil tersenyum lega.
Mereka senang karena bebas dari tekanan yang ada, sorak sorai penuh semangat menggema di dalam ruangan. Lalu, hanya berselang beberapa detik perlahan lantai mulai mengayun pelan, atap-atap berbunyi, sayup-sayup terdengar suara teriakan histeris dari kelas-kelas sebelah.
“Gempa! Hei, gempa!” teriak mereka beriringan dari bangku belakang, berlari keluar kelas untuk menyelamatkan diri.
Sementara, Ibu Fatimah diam saja, ia masih mempertahankan posisinya di depan papan tulis hingga getaran yang berasal dari pusat bumi itu berhenti.
“Apa benar itu gempa?” tanya ibu Fatimah dengan ragu-ragu karena getarannya tidak begitu terasa bagi mereka yang sedang jalan.
“Iya Bu, gempa,” jawab mereka yang sudah berdiri diambang pintu.
Getaran yang berasal dari pusat bumi itu berhenti dengan cepat, dan hanya menyisakan gelak tawa di antara mereka karena sudah lari kalang kabut hingga saling bertabrakan satu sama lain dalam waktu yang begitu singkat. Setelah itu, keadaan kembali normal, kejadian gempa berlalu begitu saja tanpa kesan yang berarti.
“Mei, malam ini kamu pergi ke festival Palu Namoni?” tanya Adena meraih tasnya.
“Mungkin saja iya dan mungkin saja tidak,” jawabnya.
“Memangnya kenapa?”
“Hari ini, ibuku datang. Kalau dia mau pergi, otomatis aku akan pergi dan begitupun sebaliknya,” jelas Meira dan ikut melangkah keluar dari kelas.
“Oh begitu,” balas Adena dengan mengangguk.
Festival kebudayaan dan seni bertajuk festival Palu Namoni adalah sebuah perayaan besar bagi kota Palu, untuk memperingati hari ulang tahun ke-40 kota itu. Festival itu baru diadakan tiga kali dalam beberapa tahun terakhir. Semua penduduk kota Palu, tentunya sangat menanti-nantikan pesta besar itu.
Pukul 17.40 Meira sampai di kosnya karena sekolahnya mengusung sistem full day, dengan berbagai organisasi yang diikuti setelah bel pulang. Ini menyebabkan dia harus berada di sekolah seharian penuh. Ia berjalan memasuki lorong kos menuju kamar No.06 dengan penuh semangat, karena sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ibunya. Kamar kos itu berada dipaling sudut dekat tembok pembatas.
Saat berdiri di teras, suara yang begitu akrab di telinganya itu datang menyambut hingga membuat jantungnya berdebar bahagia. Betapa tidak, sosok yang selama ini ia rindukan sekarang sudah ada di depan mata dalam keadaan sehat. Cepat-cepat Meira melepas sepatunya dan mengucap salam. “Assalamualaikum,” ujarnya dan langsung mencium telapak tangan sang ibu.
“Datangnya udah lama ya, Ma?”
“Lumayan, sekitar jam dua siang tadi,” balas ibunya yang sedang melipat pakaian.
Meira mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar, mengganti pakaian sekolahnya. “Eh kok ada Aara?,” heran Meira menyadari kehadiran sepupu perempuannya yang sedang berbaring di atas kasur sambil memainkan handphone.
Aara merupakan sepupunya yang sedang sekolah di salah satu sekolah Madrasah Aliyah Al-khairat di kota Palu. Aara tinggal di sebuah asrama yang disediakan oleh sekolahnya langsung, sehingga walaupun berada di kota yang sama Meira begitu jarang bertemu dengannya.
“Iya, karena ini hari Jum’at Aara sedang libur. Mama pikir daripada dia sendiri di sana, jadi mama ajak ke sini,” ujar ibunya.
“Malam ini, ada festival Palu Namoni. Bagaimana kalau kita pergi ke sana, selepas magrib?” tawar Adi, sosok kakak Meira yang sedang berdiri di teras kos.
“Mau sekali ...,” sambut Aara begitu bersemangat melompat dari atas kasur.
“Wah boleh juga. Apa Mama mau ikut?” Meira duduk di depan ibunya.
“Tidak, kalian saja. Oh-iya, tadi sekitar jam empat ada gempa. Apa kamu merasakannya, Mei?”
“Aku juga rasa kok getarannya,” sambar Aara dan ikut duduk di dekat Meira dan bibinya.
“Kamu rasa, tapi hanya tidur saja. Kalau bangunan ini roboh gimana, Ra? Padahal tadi Mama sudah teriak suruh Aara keluar, tapi dia hanya tidur saja,” cerca ibu Meira mengadu pada Meira.
Meira dan Aara hanya saling pandang dan cengengesan. “Iya, Mei juga rasa kok, di sekolah juga sempat heboh. Tapi tenang Ma, itu sudah sering terjadi dan nggak ada apa-apa juga. Lagian pusat gempanya jauh dari sini sekitar 60 kilometer,” ujarnya santai.
Aara mengangguk menyetujui pendapat Meira, sementara ibunya hanya bisa mewanti-wanti agar tidak meremehkan hal tersebut.
“Astaga iya, ternyata besar juga. Ini katanya gempa susulan terjadi di pukul 16.28 dengan magnitudo 5,3 skala richter dan sebelumnya sudah terjadi dua kali goncangan di sekitar pukul 15.00-15.28 beberapa rumah sudah roboh di daerah Donggala yang merupakan pusat gempa,” jerit Aara setelah melihat berita di sosial media.
“Benar ‘kan, pantas saja tadi sudah terasa begitu kuat. Lain kali, kalau ada gempa jangan diam saja di dalam ruangan usahakan langsung lari keluar rumah!” peringat ibu Meira lebih serius.
Tepat pukul 18.02 suara muazin terdengar mengumandangkan adzan magrib dengan merdu. Lalu, ketika sampai pada kalimat, “Hayya ‘alalfalaah ... Hayya ‘alalfalaah ....”
Seketika bumi berguncang sedahsyat-dahsyatnya, langit berteriak keras dengan gemuruhnya yang begitu kuat, kilat menerpa berkali-kali. Lantai tempat mereka berpijak seakan hidup, bergerak sesuka hatinya. Dinding-dinding bangunan melambai kencang bak pohon kelapa yang diterpa angin ribut, saling berbentur antar satu sama lain. Serentak air-air dari dalam tanah menyembur keluar membasahi semuanya.
Meira mencoba menarik ibunya untuk keluar dari dalam sana, tapi tidak bisa. Ketika mencoba untuk berdiri, mereka kembali terjatuh karena tanah yang bergoncang begitu hebat. Keduanya terjebak. Ia kemudian menangis memeluk ibunya dengan erat, tidak ada siapa-siapa lagi di sana, ia sudah tidak melihat Aara dan kakaknya.
“Ma, baca syahadat Ma!” titah Meira berulang-ulang memeluk ibunya sambil menangis pasrah di tengah gemuruh bumi yang tiada hentinya. “La ilaha illallah ... La illaha illallah,” ucap Meira berbisik menuntun ibunya.
“Ma, jika hari ini Allah takdirkan kita meninggal di tempat ini. Entah tertimpa dinding atau terkubur di dalam tanah. Meira sudah pasrah Ma. Maafkan Meira karena tidak bisa membawa Mama keluar. La illaha illallah,” ucapnya disela-sela isak tangis memeluk erat ibunya.
Keduanya saling memeluk dengan terus melantunkan syahadat, dan ayat-ayat pendek dari Al-Qur’an, bertasbih, tahmid, tahlil, dan takbir dengan sekeras-kerasnya meminta pertolongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Adi! tolong bukakan pintunya, Adi ....” Teriak ibu Meira yang optimis bisa keluar dari dalam sana, ia memanfaatkan jendela yang masih terbuka untuk memanggil anaknya yang entah di mana. Namun, tidak ada jawaban. Hanya suara gemuruh yang terdengar.
Pintu depan sudah tertutup rapat karena gerakan bumi yang tidak beraturan, ditambah sebuah lemari pakaian yang terhempas jauh dari tempatnya dan menghantam pintu hingga menghalangi jalan mereka untuk keluar. Hingga beberapa menit pun berlalu, keadaan mulai tenang. Guncangan itu masih ada tapi tidak sekuat yang pertama.
Meira mencoba merangkak bangkit menarik ibunya untuk berdiri dan segera mengambil langkah berusaha keluar dari dalam sana dengan menaiki lemari yang sudah terbaring di lantai, seraya menarik keras gagang pintu agar mereka bisa keluar. Atas izin Allah keduanya berhasil keluar dari dalam kos itu.
Saat sampai di halaman, kendaraan-kendaraan roda dua milik para penghuni kos sudah berjatuhan di tanah, saling menimpa satu sama lain. Semua penghuni kos sudah berkumpul di halaman dan Meira mendapati kakaknya dan Aara juga ada di sana. Sebuah pelukan hangat penuh tangis pun terjadi di tengah gelapnya malam, berucap syukur berkali-kali hingga tak terhitung jumlahnya.
Baru beberapa menit mereka saling berpelukan, terdengar suara teriakan histeris yang berasal dari jalan raya mengagetkan mereka semua, “Tsunami ... Tsunami ... cepat lari dari sini, air laut sudah ada di dekat kita!”
Saat mereka berdiri, benar saja, gelombang air laut yang begitu besar menyapu rata bangunan-bangunan rumah yang ada di hadapannya, tanpa melihat status sosial bangunan tersebut. Mata tidak bisa berkedip seolah tak percaya dengan apa yang sedang disaksikan. Masih belum hilang guncangan-guncangan gempa yang meluluh lantakkan segala di permukaan tanah yang mengangga lebar, lalu kemudian tsunami juga ikut mengambil peran.
Di Palu, Allah izinkan bumi ini bernafas hanya sekian detik, lalu kemudian rata dengan tanah!. Ribuan jiwa meninggal, kemudian disusun bertumpuk dalam liang raksasa yang menganga tanpa sempat disucikan, dan dikafani. Semua orang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, mengacuhkan keluarga, kerabat, status jabatan, harta, dan aset intan berliannya. Membuat semuanya tersadar, bahwa dunia ini sangat murah, dan hanya amalan kitalah yang berharga!
“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya, dan manusia bertanya. Apa yang terjadi dengan bumi ini?” (Qs. Al-Zalzalah 1-3).
***
Bionarasi
Fatmah (20 tahun), anak kelima dari enam bersaudara. Seorang mahasiswi semester lima angkatan 2019 yang mana sedang menempuh pendidikannya di Universitas Tadulako Palu, fakultas Pertanian, prodi Agribisnis. Tinggal di desa Lado kecamatan Sidoan kabupaten Parigi Moutong provinsi Sulawesi Tengah. Kegemarannya menulis terbentuk sejak pertengahan Juni 2020 tepat saat pandemi covid-19 melanda Indonesia, sejak saat itu ia mulai menyukai dunia kepenulisan.
Dari buku Antologi Cerpen Jejak Kenangan (Haura Publishing; November 2021)
Posting Komentar
Posting Komentar