Blog Perempuan Menulis

Cerpen: Jejak

Posting Komentar

  JEJAK

Oleh : Cha

www.perempuanmenulis.com

Langit menampakan awan nya yang indah dan bertaburan bintang, seolah memayungi dua insan remaja yang kini beranjak dewasa.

“Mana yang kamu pilih, persahabatan atau cinta? Jujur,” ucap Radit yang memecahkan keheningan malam.

Aku yang mendengar itu hanya bisa tertegun atas pertanyaannya. Rasa sesak di dada seolah berlomba dengan mataku yang terasa panas di dinginnya malam. Tak pernah terlintas dalam benakku dia akan bertanya seperti itu.

Dia sahabatku. Pria tinggi, dengan hidung mancung yang bertengger jelas digaris wajah yang nyaris sempurna. Siapa yang tidak kenal dengan Radit, mungkin akan dibilang kuper (kurang pergaulan). Rajin salat, pintar di sekolah, menjadi ketua ekskul dan ketua angkatan, serasa paket komplit untuk seumuran anak sekolah zaman sekarang. Banyak yang mengelu-elukan dirinya. Menjadi bintang sekolah membuat dirinya dikenal seantero penjuru sekolah. Raditya Pratama.

Aku tak bisa menjawab pertanyaan dari Radit, entahlah bibir ini terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. Seolah bibir ini dikunci oleh hati untuk bicara. Aku dan dia memang dekat, bisa dibilang seperti kupu-kupu yang selalu mengikuti bunga. Padahal kita tidak sekelas, rumah pun berjauhan dia di barat sedangkan aku di selatan. 

Sosoknya yang mudah bergaul dengan siapa saja dan bisa masuk ke dalam diriku yang cenderung tertutup. Aku orang yang tertutup, baik dengan lawan jenis atau sejenis. Aku hanya dekat dengan Aisyah, itu pun dekat sewajarnya. Aku tidak pernah cerita masalah pribadiku. Berbeda dengan Aisyah yang banyak fansnya dan bisa terbuka untuk cerita apa pun.

Namun berbeda dengan Radit. Entah kenapa dengannya, aku bisa merasa nyaman. Aku bisa terbuka untuk cerita, aku bisa tertawa saat bersama dia. Kami saling membantu bila dalam kesulitan, kami juga bertukar informasi atau cerita satu sama lain. Termasuk saat aku memutuskan ingin hijrah.

Radit banyak membantu dalam proses hijrahku. Aku yang sebelumnya tidak berhijab kini mulai berhijab. Itu merupakan keputusan terbesar dalam hidupku. Bukan hanya meyakinkan hati dan diri sendiri, aku juga harus meyakinkan kedua orang tuaku.

Radit yang mengajakku untuk gabung di Rohis sekolah, dia juga mengajakku  hadir dalam kajian keagamaan di luar sekolah. Dia yang mengenalkanku perihal pentingnya menjaga aurat wanita, menjadi wanita shaliha. Dia mengajarkanku tanpa menggurui. Dia banyak memberikan masukan untuk memulainya dari mana.

Tapi kini sikapnya aneh. Ada apa dengannya, kenapa dia bertanya seperti itu. Setiap terlintas pertanyaan itu, jantungku terpompa lebih cepat. Aku hanya bisa istigfar dan mengingat Nya. 

“Ya Allah jaga hati ini..”

Saat ini aku sadar, bahwa ada yang tidak beres dengan hubungan persahabatan kami. Cinta dan persahabatan, yang menurutku sedikit kekanak-kanakan mungkin berarti serius untuk dia.

Carilah sahabat yang membawamu ke surga. Wasiat Imam As-syafii.

Jika kamu memiliki sahabat yang selalu membantumu dalam ketaatan, maka genggam erat tangannya karena mencari sahabat itu sulit, sedangkan meninggalkannya sangatlah mudah.

(Kitab Hilya Al – Auliyaa’)

Sejak kejadian malam itu aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Radit. Aku tidak mau hubungan persahabatan ini berubah menjadi yang lain. Bukan Radit namanya bila dia tidak bisa menemukan cara untuk bertemu denganku. Dia selalu berhasil menemukanku baik di perpustakaan, di masjid sekolah bahkan di rooftop sekolah. Dia juga bertandang ke kelas. Dia memainkan gitar di kelas dan melantunkan musik dari Yovie and Nuno, lagu yang sedang hits saat itu. 

“Ra, kamu lagi ada masalah ya sama Radit,” tanya Aisyah

“Ngga, kenapa?” tanyaku

“Aku perhatiin kamu kayak ngejauh dari dia, jarang bareng-bareng lagi apalagi sekarang tuh, dia nyanyi sama anak-anak tapi ko pandangannya ke sini ya,” jelas Aisyah 

“Masa sih? Perasaan kamu aja kali Syah ... atau memang dia nyanyi untuk kamu,” ucapku seraya mengusap wajahnya membuat dia tersipu malu. Sesekali aku melihat ke arah Radit, benar yang dikatakan Aisyah, sorot mata elang Radit penuh makna.

'Maaf Syah.. aku tidak bisa cerita kejadian malam itu sama kamu,” gumamku di hati.

Aku tidak mau kita menjadi canggung, aku tidak mau kamu salah paham lagi, biar aku yang simpan itu sendiri. 

Ya Allah jaga hati ini agar tidak berharap lebih terhadap makhluk ciptaan Mu, jika memang dia tulang rusukku satukanlah kami dijalan-Mu yang Engkau ridai, Aamiin.

Aku hanya bisa ungkapkan untaian kata-kata ini terhadap penciptaKu. Aku tak mau ada kesalahpahaman lagi. Cukup Aisyah yang salah paham dengan kedekatanku dan Radit. Aku tidak mau rumor ini menjadi luas. Kejadian malam itu hanya salah satu alasanku untuk menjauh darinya. Banyak yang mengira aku dan Radit menjalin hubungan, karena itu, aku mulai menjaga jarak dengan Radit.

Mungkin ini tidak adil untuk Radit, tapi hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tidak mau semuanya menjadi di luar kendaliku. Apalagi saat ini sudah semester akhir dan mau wisuda. Aku hanya ingin fokus. Semoga suatu hari akan terjawab. Aku percaya akan indah pada waktunya.

“Ukhuwah Islamiyyah itu indah bila kita bertemu dan berpisah karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala. 

Aku menyematkan kalimat itu di majalah dinding sekolahku. Semoga dirinya bisa membaca pesanku ini. Pesan untuk sahabatku.

Memiliki sahabat seperti Radit dan Aisyah adalah anugerah terindah dalam hidupku. Bersama mereka hidupku jauh lebih semangat. Bersama mereka aku belajar banyak hal. Bersama mereka canda tawa dan tangis haru biru menjadi satu. Dan bersama mereka aku berani ambil keputusan besar dalam hidupku.

Peristiwa itu masih terlihat jelas di tempatku berpijak saat ini. Suasana malam yang hangat tiba-tiba menjadi dingin. Persahabatan yang indah dan tulus harus berubah. Alhamdulillah semua itu sudah terlewati. Masa masa pencarian jati diri, peralihan dari remaja menuju dewasa. Penuh liku dan drama yang harus dilalui. Kini kita sudah dewasa dan sudah memiliki kehidupan masing-masing.

“Raniaaaaaa,” suara Aisyah menggelegar memecahkan tengah lapangan sekolah.

Ramainya di sekitar, membuat mataku bekerja ekstra menemukan sumber panggilan itu. Terlihat dari kejauhan seorang wanita melambaikan tangannya mengajakku segera bergabung.

Aku berjalan mendekati wanita itu. Memecah keramaian di tengah lautan manusia. Hari ini adalah acara Reuni Akbar Putih Abu-abu. Hampir setengah abad tidak menapakkan di gedung ini. Gedung yang memberikanku banyak pelajaran hidup, gedung yang membuatku berani untuk memutuskan hijrah. Tidak banyak yang berubah dari gedung ini. 

Dari jauh terlihat Aisyah dan yang lainnya. Aisyah tampak beda penampilannya, kini dia berhijab. Aisyah tampak modis dengan stylist hijabnya. 

“Assalammu’alaikum, maaf yaa telat, apa kabar kalian semua,” ucap seorang pria yang tampak dewasa dan berwibawa. Dia datang bersama seorang anak kecil. Raditya Pratama Junior.

***

Bionarasi

Alhamdulillah akhirnya selesai. Tidak mudah untuk menulis antologi yang ketiga  ini, karena sibuk dengan persiapan PTM dan tugas negara lainnya. Terima kasih atas kepercayaannya sudah mengizinkan saya bergabung. Ini merupakan Buku Antologiku yang ketiga. 

Antologi Menulis Untuk Sembuh

Antologi Cerita Tentang Desain

Antologi Jejak Kenangan

Saya hanyalah ibu rumah tangga, yang haus akan ilmu. Semoga tulisanku memberikan manfaat memberikan hiburan kepada kalian. Mohon maaf bila terdapat yang tidak berkenan. Terima kasih.

Dari buku Antologi Cerpen Jejak Kenangan (Haura Publishing; November 2021) 



Related Posts

Posting Komentar