Blog Perempuan Menulis

Cerpen: Bangku Wisuda

Posting Komentar

BANGKU WISUDA

Oleh : Dewi Irawati

www.perempuanmenulis.com
Suara bel masuk berbunyi, 

"Teng ..teng...teng ..." Dibersamai dengan hentakan kaki para santriwati berlarian menuju kelas.

"Sin, ayo makan dulu aku suapin," kata sahabatku.

Rini adalah sahabat dekatku. Dia rela berdiam di kamar dan melewatkan beberapa pelajaran hari ini karena ingin merawatku.

Kubelokkan badanku menghadapnya, dan kuanggukkan kepalaku. Rini menyuapiku nasi, dan telur goreng.

"Sudah Rin, siapkan plastik untukku," perintahku.

Benar saja, semua makanan yang baru saja kumakan keluar. Tubuhku lemas, air mataku menetes, dan keringat dingin keluar di sekujur tubuhku.

Rini menyeka air mataku dengan tissu, matanya berkaca-kaca melihatku terbaring lemah.

"Ya sudah, minum obat saja ya Sin," kata sahabatku.

Aku menganggukkan kepala dan meminum obat dari dokter. Sudah dua minggu badanku lemas dan terbaring di kasur.  Aku yang tak ingin merepotkan Ibu, mencoba terus bertahan melawan sakit yang kurasakan.

Suara azan Ashar berkumandang di seberang, dari arah pondok putra yang bersebrangan dengan pondok putri. Teman-temanku bergegas menuju musala dengan mukena seragam, dan sajadah terlipat di atas bahu.

Kupejamkan mataku untuk mengurangi rasa mualku. Aku tak melihat siapa saja teman yang membopongku ke kamar mandi untuk wudu. Sesampainya di kamar, sahabatku Rini memakaikan mukena dan menggeser kasurku mengarah kiblat. Aku berbaring dan menunaikan salat.

Matahari mulai bersembunyi. Bulan dan bintang hadir meramaikan gelapnya langit, dan sepinya malam. Suara ustazah terdengar samar di telingaku. 

"Sin, katanya ingin menelpon ibumu, ustazah teleponkan ya?"

Aku hanya mengangguk pelan.

"Assalamu'alaikum .. Hallo..ada apa ustazah," tanya Ibuku.

"Wa alaikumussalam, Bu.  Sinta ingin berbicara dengan Ibu," jawab ustazah.

Tangisku pecah, sembari berkata, 

"Halo Bu, tolong jenguk Sinta. Sinta sudah gak kuat."

"Ya Allah, tetap bertahan nak, besok ibu segera datang."

*

Suara pengurus masjid mengagetkanku, 

 "Wahid, stani, tsalatsa ..."

Jarum jam tepat menunjuk angka tiga, waktunya menunaikan shalat tahajud. Suara irama kaki teman-teman berlarian menuju masjid memecah heningnya malam. Aku masih saja terbaring lemas di kasurku. Sesekali air mataku menetes, tanpa ada yang tahu. 

Matahari mulai menyemburatkan sinarnya.  Tepat jam delapan pagi, ibuku datang dan langsung membawaku ke klinik pondok. Teman-temanku bergantian menjengukku. Mereka sangat peduli padaku, karena ketika mereka jatuh sakit aku juga memperlakukan hal yang sama.

Selang infus melekat di tangan kananku. Sesekali suster datang, dan memasukkan beberapa obat melalui infus. Ketika obat itu mulai menjalar, tanganku terasa disayat duri, sakit sekali.

Tiga hari berlalu. Keadaanku masih sama, tak ada perubahan sedikit pun. Ibu dan teman-temanku duduk di sekitarku. 

Dokter datang membawa beberapa peralatan medis. Termometer diletakkan di himpitan ketiakku. Diafghram stetoskop menempel di perutku.Tangan kananku membengkak, dan terpaksa infus harus dialihkan ke tangan kiriku.

"Nggak papa ya, biar cepet pulih," bujuk dokter kepadaku.

Aku hanya terdiam, air mataku mengalir. Kepalaku diusap oleh tangan ibuku.

Tiga hari berlalu, badanku lebih segar, makanan pun sudah mulai masuk ke dalam perut. Kakiku sudah kuat untuk kembali berjalan. 

Cahaya matahari menerobos ventilasi jendela. Hari ini dokter mengizinkanku balik ke pondok, Selang infus mulai dilepas. Aku kembali ke pondok membawa beberapa butir obat yang harus dihabiskan di masa pemulihan.  Hari ini aku mulai mengikuti rangkaian acara pondok kembali dengan penuh antusias, dan semangat. Mengikuti beberapa lomba bahasa yang diselenggarakan.

Suara azan maghrib terdengar. Ibuku berdiam di tempat penerimaan tamu.  Setelah makan malam di dapur pondok, aku bergegas menemui ibuku. 

"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Ibuku.

"Alhamdulillah lebih baik, Bu," jawabku.

"Ibu pamit pulang malam ini ya. Bus akan datang sebentar lagi. "

"Iya, Bu..tak perlu khawatir dengan kondisiku. Aku sudah sehat." Aku meyakinkan Ibu.

Aku dan Ibu berpisah di gerbang utama pondok. Kucium tangan ibu, dan Ibu memelukku dengan erat sembari berpesan, 

"Jaga kesehatanmu ya!" Aku mengucap lirih

 "Iya..Bu, Ibu juga jaga kesehatan."

Ibu masuk ke dalam bus dan melambaikan tangan, karena jarak rumah dan pondok yang sangat jauh berkisar lima belas jam. Ibuku akan tiba dirumah sekitar pukul sepuluh pagi. 

Aku bergegas ke kamar mandi, menyikat gigi , cuci muka dan wudu. Sesampainya di kamar, aku bergegas menarik selimut dan tidur.

*

Hari ini, aku duduk di kelas bersama teman-temanku. Belajar bersama, dan mendengarkan penjelasan ustazah. Badanku terasa lemas, dan muntah di lantai kelas. Sahabatku Rini yang kebetulan sekelas denganku membawaku pulang ke kamar. Tanganku keriput karena suhu badanku memanas.

"Aku sudah nggak kuat, aku ingin pulang" kataku sambil menangis.

"Tolong kabari ustazah untuk menelpon ibuku agar menjemputku," perintahku kepada Rini.

Ibuku yang  baru dua jam yang lalu tiba di rumah, langsung bergegas pergi ke pondok naik bus. 

Dua jam berlalu, ibuku sampai di Semarang., kemudian ibuku melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Tepat pukul lima sore ibuku sampai di Surabaya. Hanya tersisa satu bus penuh yang melaju . Ibuku berdiri di tengah jalan menghentikan bus yang melaju.

"Sudah tidak cukup bu, busnya penuh," kata kondektur.

"Tidak papa saya berdiri, keadaan darurat," jawab ibuku.

Ibuku masuk ke dalam bus, dan berdiri beberapa jam menuju pondokku.

Tepat jam sebelas malam, ibukku sampai di pondok. Ibuku langsung memesan dua tiket untuk pemberangkatan besok hari, karena surat izinku sudah diurus oleh ustazah kelasku.

*

Tepat pukul sembilan pagi, aku dan ibuku duduk di deretan kursi bus paling depan. Suara tangisan bayi, penumpang di belakangku melengkapi perjalanan kami. Badanku lemas. Hanya minuman  Buavita, dan agar-agar buatan ibuku yang bisa masuk ke dalam perut. Sepanjang jalan aku merintih, mataku sembab, air mata terus mengalir. Ibuku memeluk erat dan menenangkanku. 

Setelah lima jam berlalu, penumpang baru masuk ke dalam bus. Terjadilah pertengkaran ringan di antara penumpang baru dan supir. Pertangkaran bermula karena penumpang baru ingin duduk di kursi paling depan tepat di kursiku, karena dia beralasan telah memesannya.

Beberapa penumpang bus membujuknya untuk duduk di kursi deretan paling depan, di sebelahku. Mereka menjelaskan, bahwa aku sedang sakit. Akhirnya penumpang baru itu memaklumi, dan duduk di deretan paling depan sebelah kanan.

Tepat pukul sembilan, kami tiba di terminal kota daerahku. Ayahku menjemput dengan memesan angkot desa. Kakiku lemas. Setiap membuka mata, isi perutku keluar. Ayahku mengendongku, dan mengantarku menuju toilet.  Sepanjang perjalanan, hanya minuman dan agar-agar yang masuk ke perutku. Aku menahan buang air kecil selama kurang lebih tiga belas jam. Ibuku menemaniku ke toilet, dan memegang badanku dengan erat. Setelah buang air kecil, ayahku mengendongku menuju angkot dan bergegas pulang ke rumah.

*

Suara ayam berkokok dari kejauhan mulai terdengar, udara dingin dan kabut putih melengkapi turunnya hujan di pagi hari. Badanku lemas, kedua tanganku membengkak bekas infus, dan suhu badanku meningkat. Sepotong handuk hangat menempel di atas dahiku. 

"Ibu suapin bubur ya ...," kata Ibu.

Aku mengangguk pelan. Ketika aku membuka mulut, ibuku terkejut karena banyak darah keluar dari mulutku. Ibuku berlari menghampiri ayah sembari berkata, 

"Darah keluar dari mulut Sinta. Ini bukan penyakit typus seperti prediksi dokter. Ayo kita bawa Sinta ke rumah sakit segera!"

Ayahku bergegas memesan angkot, dan membawaku ke Rumah Sakit terdekat. Aku, dan Ibu duduk di kursi depan. Bibiku juga ikut menemaniku menuju rumah sakit. Ayahku menaiki sepeda motor, berjas hujan, mengikuti angkot. Tiba di rumah sakit, beberapa perawat mendekatiku. 

"Jalan darahnya tak terlihat," kata perawat sembari menepuk tangan kanan, dan kiriku.

"Kita infus di kaki saja," saran perawat sambil menepuk kakiku. 

Setelah beberapa menit, jalan darah di tanganku sudah mulai terlihat dan selang infus berhasil terpasang di tangan kananku. Mukaku mulai memerah, asupan air mulai masuk ke tubuh. 

Setelah dua jam, dokter datang, dan memeriksa tubuhku. 

"Untung saja, bapak dan ibu tidak telat membawa Sinta ke rumah sakit. Telat sedikit saja mungkin tidak bisa tertolong," kata dokter.

"Sinta mengalami penyakit demam berdarah stadium dua bu, sangat berbahaya. Sinta harus rawat inap di sini hingga pulih," tambah dokter.

Satu minggu aku mendapatkan perawatan. Tubuhku membaik, dan aku bersiap kembali ke pondok.

*

Hari ini perjalananku menuju pondok, badanku masih lemas tersebab pemulihan penyakit  demam berdarah berlangsung empat belas hari, tak lupa juga aku mengantongi surat keterangan dokter untuk istirahat selama itu dari kegiatan pondok.

Setiba di pondok, jalanan, musala, gardu, gedung serba guna penuh dengan santriwati kelas akhir, beberapa dari mereka melantunkan ayat Al-Qur'an dilengkapi dengan tafsirnya. Beberapa dari mereka menghafalkan hadist beserta riwayat lengkapnya. Ini menunjukkan bahwa satu minggu lagi, ujian kelulusan akan dilangsungkan.

Setiba di tempat penerimaan tamu, teman-temanku hadir menemuiku. Sampul buku catatanku masih bagus dan rapi, isinya kosong tak ada tinta yang tergores sedikitpun.  

Aku mulai menulis materi pelajaran yang bahasa pengantarnya, bahasa Arab, dengan melihat catatan rapi teman-temanku. Tak hanya sesekali teman-temanku ikut menggoreskan tinta di buku catatanku dan menjelaskan materi dengan ikhlas kepadaku.

*

Tiga minggu ujian berlangsung. Terbagi menjadi ujian tulis. Dua minggu, mencakup 46 pelajaran dan ujian praktik  seminggu.

Badanku yang masih lemas, kupaksakan mengikuti rangkaian ujian semampuku. 

*

Hari ini adalah yudisium kelulusan. Ibuku dan ayahku hadir saat acara berlangsung. Aku merasa sangat gugup. Jantungku berdetak kencang, keringat dingin keluar di telapak tanganku, kekhawatiran dan keraguan sesekali menyelinap di relung hatiku. 

"Apakah aku bisa lulus," tanyaku dalam hati.

Satu persatu calon wisudawan dipanggil ke panggung untuk mengambil secarik kertas yang berisi pengumuman kelulusan.

Giliranku tiba. Aku dan ibuku berjalan menuju panggung, berjabat tangan dengan pengasuh pondok, dibekali secarik kertas. Setelah duduk kembali, kubuka pelan sembari mengucap Bismillah. Tulisan "Lulus Positif" terpampang nyata di atas kertas. Air mataku mengalir deras, kupeluk ibuku dengan erat.

*

Hari ini, semua orang tersenyum bahagia. Aku, dan teman seangkatanku berpakaian almamater rapi memakai kalung wisuda di leher, menggenggam tabung wisuda, dan memakai toga di kepala. Rasa bahagia terpancar dari semua arah. Wajah wisudawan dan wisudawati, orang tua dan pengasuh pondok.

Satu persatu nama wisudawan, dan wisudawati dipanggil memasuki gedung yang didekor indah, dipenuhi bunga dan bangku wisuda yang tertata rapi. 

Rangkaian acara dimulai. Di tengah rentetan acara, terselip acara penghargaan bagi sepuluh wisudawan dan wisudawati terbaik.

" Ananda Sinta Mustikayani, ananda Nur amalia ..." panggilan pengasuh putri.

Aku menengok ke kanan dan ke kiri, menatap temanku seraya bertanya, 

"Namaku dipanggil?"

"Iya, cepetan Sin, " jawab temanku.

Aku berjalan menuju panggung. Mataku berkaca-kaca, para pengasuh memberikan slempang wisudawati terbaik, sertifikat dan beberapa souvenir. Suara tepukan tangan meramaikan panggung. Kutatap mata ibu dan ayahku, mereka mengangguk dan tersenyum lebar".

Aku berjalan menuju bangku wisuda sembari mengucap lirih dalam hati 

"Alhamdulillah, terimakasih atas takdir terbaikMu ya Rabb".

***

Binorasi 

Nama saya Dewi Irawati atau lebih akrab dipanggil Dewi, lahir di Batang, 21 Februari 1999.

Saya sangat senang belajar berbagai bahasa, mencoba hal baru, dan membaca buku.  Setelah lulus dari Pesantren Al Amien Prenduan, Saya memutuskan untuk melanjutkan studi di salah satu universitas yang terletak di Jakarta, yang bernama Universitas Indraprasta PGRI. Saya mengambil prodi Pendidikan Bahasa Inggris.  

Kutipan yang saya sukai adalah;  

"Pemuda sejati adalah mereka yang mampu menghadirkan solusi".

Dari buku Antologi Cerpen Jejak Kenangan (Haura Publishing; November 2021) 



Related Posts

Posting Komentar