Karena Dia Engkau Berubah
Oleh: Ismawati
Esti, itulah nama sahabatku. Kami satu sekolah di SMPN 17 dan kami juga bertetangga rumah. Setiap hari kami pergi ke sekolah bersama-sama berjalan kaki ke tempat angkot. Jarak dari rumah ke tempat angkot lumayan juga sekitar dua ratus meter.
Esti anak yang manis. Alisnya hitam, memiliki lesung pipit, dan berkulit hitam. Rambutnya ikal dengan bola mata yang besar. Esti sahabat yang menyenangkan. Esti orangnya ceria dan suka membantu teman, tetapi ia orang yang agak plin-plan. Kadang tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Namun dengan kekurangannya itu, Esti senang bertanya kepadaku hal-hal yang akan dilakukannya, dan ia mau menerima masukan. Esti juga anak yang pemalu, apalagi dengan laki-laki. Saking pemalu dengan laki-laki, Esti tidak pernah akrab dengan laki-laki, sampai Esti mengenal laki-laki itu, teman SMA-nya.
Jam dinding berdetak menari menyambut terbitnya mentari. Pagi yang dingin semakin menegangkan, saat menanti pengumuman kelulusan. Namun, hati terasa berbunga-bunga membayangkan sebentar lagi akan jadi anak SMA. Kata orang orang, masa SMA adalah masa yang sangat menyenangkan.
"Is Is Is ..." Samar-samar kudengar suara Esti dari kamar. Aku berlari keluar kamar, dan menjawab panggilannya.
"Iya Es .... Tunggu ya, aku pamit dulu sama papa dan mama," jawabku.
Esti setiap pagi selalu datang menjemputku di rumah, lalu bersama-sama ke sekolah. Padahal kalau mau ke sekolah dari rumahku itu, kami pasti lewati rumah Esti. Namun itulah ia, setiap hari tak bosan menjemputku. Tak sekali pun Esti mengeluh setiap datang menjemputku.
Pagi itu sangat mendebarkan, sekaligus pagi yang menyenangkan buat kami semua anak SMPN 17. Dalam perjalanan ke sekolah aku dan Esti sudah membayangkan sebentar lagi kita akan jadi anak SMA.
"Es.... nanti kamu mau daftar SMA mana?," tanyaku
"Kita sama-sama ya, Is daftarnya," jawab Esti
"Ok deh, semoga kita semua lulus ya," kataku kepada Esti
"Aamiin ..," jawab Esti
"Mamaku menyarankan, aku daftar di SMK. Apa kamu mau juga Es. daftar di SMK?," tanyaku
"Gak ah, aku mau daftar cuma di SMA aja," jawab Esti
"Emangnya kamu nggak mau daftar SMA ya Is?" tebak Esti
"Yaa mau ..., cuma mau juga daftar SMK, soalnya mamaku menyarankan itu, " jawabku.
"Iya deh, nanti daftar SMA-nya kita bareng-bareng yah Is," kata Esti.
"Ok deh, "jawabku.
Alhamdulillah, akhirnya tiba juga kami di sekolah. Kami bergegas turun angkot dan berlari masuk ke sekolah. Teman- teman sudah berdatangan dengan perasaan yang sama, campur aduk, antara deg-degan menanti pengumuman dan bahagia akan meninggalkan masa SMP.
"Ayoo Es...! Buruan kita ke kelas, semoga pengumuman sudah keluar ya, Es ..." Aku melompat gembira, menarik tangannya.
"Iya Is.. tungguin dong. Tergopoh Esti mengikutiku.
"Is ... Es..., terdengar suara Nini memanggil kami. Nini teman sekelas juga, tetapi rumahnya lebih dekat sekolah, hingga kalau sekolah cuma berjalan kaki.
"Hai Ni ...," sapaku serentak.
"Kamu baru tiba ya?" tanya Nini
"Iya, "jawab kami berdua.
"Pengumuman sudah keluar ya, Ni..?" Esti minta kepastian Nini.
"Tadi sih belum. Ayo deh kita ke kelas, mudah-mudahan aja pengumumannya sudah ada," ajak Nini
"Tak tuk tak tuk!" Terdengar suara langkah sepatu dari luar kelas.
"Ssst...! Bu Irma datang!" teriak Umar ketua kelas kami.
Krieeet! Pintu kelas terbuka lebar. Bu Irma, guru Bahasa Inggris sekaligus wali kelas kami masuk ke ruang kelas. Hari itu Bu Irma memakai baju biru, seragam dengan warna kerudungnya.
"Oke, anak-anak, sekarang dengarkan baik-baik."
Semua anak-anak diam menunggu apa yang akan disampaikan bu Irma wali kelas kami. Kelas jadi sunyi sepi. Hampir semua anak menunduk menunggu penyampaian dari bu Irma.
"Baiklah anak-anak, sekarang saya akan menyampaikan kalau kalian semua.... Alhamdulillah lulus," ujar bu Irma.
"Alhamdulillah ...!"
Seisi kelas semua teriak riang dan menghampiri bu Irma. Seketika kelas berubah menjadi gaduh. Satu per satu siswa datang untuk berjabat tangan dan mengucap terimakasih kepada Ibu Irma.
Keesokan harinya, aku dan Esti bersiap-siap pergi mendaftarkan diri ke sekolah SMA. Alhamdulillah aku lulus di SMA negeri, namun Esti tidak diterima di sekolah SMA negeri. Sejak itu aku dan Esti beda sekolah, tetapi kami tetap bersahabat di rumah.
Hari berlalu, akhirnya tiba masa ajaran baru. Aku dan Esti sibuk dengan kegiatan sekolah baru. Lama tak jumpa dengan Esti selama ajaran baru, mungkin Esti lagi sibuk dengan tugas sekolahnya, ujarku dalam hati. Setiap aku berangkat ke sekolah atau pulang dari sekolah, Esti tak pernah terlihat di rumahnya.
Suatu hari aku ke rumah Esti silaturahim, menanyakan kabar Esti ke ibunya. Namun, hari itu Esti belum pulang sekolah, padahal sudah sore. Aku bertanya jam berapa, biasa Esti pulang? Kata ibunya. akhir-akhir ini Esti suka pulang malam. Akhirnya aku pamit pulang.
Minggu pagi Aku ada kegiatan bersih-bersih di masjid bersama teman-teman remaja masjid dekat rumah. Saat aku berjalan menuju masjid aku bertemu dengan Esti di depan rumahnya, Esti sudah rapi, mungkin sudah bersiap pergi, kataku dalam hati. Aku menyapa Esti dan menanyakan kabarnya, dan Esti pun menjawab kalau dia baik-baik saja. Aku pun menanyakan kenapa nggak pernah lagi main ke rumah, kata Esti akhir-akhir ini dia lagi sibuk, banyak kegiatan bersama teman-teman SMA-nya,aku pun cuma mengangguk dan tersenyum.
Seminggu kemudian tepatnya di Sabtu malam, Esti ke rumah seperti biasa memanggilku dengan gayanya dari luar rumah. Bergegas aku keluar menyambutnya dan membukakan pintu rumah.
"Hai Es..., masuk yuk." Aku memegang tangan Esti dan menariknya masuk rumah.
"Gak ah, disini aja. Di teras kita ngobrol-ngobrol santai," pinta Esti.
Esti biasanya kalau ke rumah pasti langsung masuk kamarku, dan berbaring, sambil kami ngobrol santai. Namun, malam ini Esti berbeda. Esti tak mau masuk rumah dan cuma mau ngobrol di teras rumahku.
Aku pun mengiyakan saja sambil mempersilahkannya duduk, dan menyempatkan ke ruang tamu mengambil cemilan yang ada di atas meja. Kupersilakan Esti mencicipi sembari kami mengobrol.
Dalam obrolan itu, Esti menceritakan kalau dia punya teman baru di sekolahnya. Anaknya ganteng, dan sangat perhatian kepada Esti. Aku bertanya,
"Siapa namanya, dan tinggal di mana?"
"Namanya Arif, tinggalnya di dekat sekolah," mata Esti berbinar.
Arif adalah kakak kelas atau senior Esti di sekolah. Arif laki-laki ganteng, idola di sekolah. Arif juga aktif di OSIS sekolah. Selain badannya kekar, ia dikenal penyayang. Terbukti suatu hari Esti kehausan, Arif langsung bergegas ke kantin sekolah membelikan Esti air minum. Esti menceritakan sosok Arif kepadaku dengan wajah bahagia dan senang. Sesekali Esti tersenyum tersipu-sipu sambil menceritakan Arif kepadaku.
"Kamu jatuh cinta sama Arif kakak kelasmu itu ya?" tanyaku menebak Esti.
"Betul .... Aku jatuh cinta pada Arif, karena perhatiannya." Senyum Esti tersipu malu.
"Esti tipe wanita pemalu terhadap laki-laki, dan tidak pernah dekat dengan laki-laki. Jika ada laki-laki yang ingin kenal dekat dengannya, pasti Esti menjauh. Namun, ternyata Arif berhasil menarik perhatian Esti. Aku semakin penasaran dengan sosok Arif ini, bagaimana ia mampu menggoda sahabatku ini," gumamku dalam hati.
"Apakah laki-laki ini, laki-laki yang baik atau dia tipe laki-laki yang suka merayu wanita lugu seperti Esti?," selidik hatiku
"Hati-hati lho jangan keburu jatuh cinta sama lelaki yang belum kamu kenal baik," nasihatku kepada Esti.
Setiap main ke rumah Esti selalu menceritakan kisahnya bersama Arif. Namun, dari ceritanya justru kusarankan ia untuk menjauh dari Arif. Kukatakan Arif bukanlah tipe laki-laki yang baik buatnya. Namun sayang, Esti sudah terlanjur jatuh cinta kepadanya, hingga otaknya tak berfungsi membedakan dengan baik. Mana perhatian tulus, dan mana perhatian yang mengharapkan sesuatu.
"Is ... Is ... Is ...!" terdengar suara Esti memanggilku dari luar rumahku.
"itu kamu ya Es ?," seruku
"Iya Is, ini aku Esti."
Aku bergegas keluar membukakan pintu, menyambut Esti dan mempersilahkan masuk ke dalam rumah. Seperti biasa ia langsung ke kamarku. Hari itu wajah Esti kelihatan sedih, kusut, sepertinya sedang punya masalah.
"Kamu kenapa Es?, wajah kamu kok kusut begitu," tanyaku kepadanya.
la langsung menangis, dan memelukku. Mengatakan kalau selama ini ia salah karena tidak mendengarkan nasihatku tentang Arif. Keheranan kubertanya, "Ada apa dengan Arif ?"
Esti menjelaskan kalau Arif meninggalkannya, dan kini dekat dengan anak maba di sekolahnya. Sementara kata Esti, ia telah memberikan segalanya kepada Arif Ya segala yang ada dalam dirinya. Aku hanya dapat memberikan saran, semoga semua ini menjadi pelajaran baginya agar pandai-pandai mencari teman, dan tidak gampang percaya dengan sikap manis seorang lelaki.
Sejak Esti putus dengan Arif, ia berubah menjadi wanita yang pendiam, dan dingin dengan semua lelaki.
***
Bionarasi
Ismawati (48 tahun), anak pertama dari tiga bersaudara. Seorang ibu rumah tangga. Tinggal di Makassar Sulawesi Selatan. Keinginan menulis sejak duduk di bangku SMA, tetapi baru. mendapat kesempatan belajar menulis di tahun 2021 tepatnya di bulan September 2021 lewat Perempuan Menulis yang di bimbing oleh Mbak Asih DL.
Dari buku Antologi Cerpen Jejak Kenangan (Haura Publishing; November 2021)
Posting Komentar
Posting Komentar