Anugerah
Oleh: Tahti Rasyid
Pagi yang cerah. Matahari mulai muncul di bumi berhias awan jingga kemerahan. Burung-burung berkicau bersahutan. Ayam jantan berkokok, mengiringi pohon yang melambai menari, menyambut pagi.
Zainab berdiri di jendela rumahnya. Terbayang suaminya saat masih bersamanya, mengarungi kehidupan. Wangi bahagia yang menguar membawa Zainab pada kenangannya bersama anak-anak tercintanya, Fatih, Faiz, dan Zahra.
Wajah Zainab berhias rona ceria. Ia menikmati jenak bahagia bersama suami dan semua anaknya.
"Hm pada hari Ahad terkadang kami mengajak anak-anak refreshing." Memori indah berlompatan di benaknya.
"Bi kita jadi berenang, kan ?" tanya Fatih.
"InsyaAllah, jadi. !" sahut Abi.
"Hore ... hore ... hore ... kita berenang ...!"
"Faiz juga ikut ya, Bi?. " Pelampung diambilnya mendekati abinya Abisnya mengangguk mengiyakan
"Zahra juga ikut ya, Bi?" Ia berseru dengan suara cadelnya tak mau ketinggalan.
"Ya, semua ikut," jelas abi membereskan bekal.
"Ummi .... Ummi ... Ummi. Ayo, Mi. Berangkat lagi," sahut Zahra menarik tangan uminya.
"Iya....tunggu...sebentar," sahut Zainab.
"Semua sudah siap ...? Komando Abi kepada anak-anaknya.
"Siap Bi...! jawab mereka serentak.
Fatih, Faiz, dan Zahra berlari keluar. Mereka berebutan tiba di atas motor lebih dulu. Sepanjang perjalanan, anak-anak bernyanyi gembira.
Lamunan Zainab terhenti, saat tiba tiba terdengar suara dari kamar tidur.
"Duk..." Zainab terkejut mendengar tangisan di bilik kamar.
"Hu ... Hu ..., Ummi ...!"
Zainab berlari menuju kamar.
"Astagfirullah ...." Zainab mendekat menggendong Zahra. Dipeluk dan dielus kepalanya
"Jatuh nak.?" khawatirnya
Zahra mengangguk, masih shock dengan peristiwa tadi. Zainab buru-buru meminumkannya air
"Bismillah..." Kue di atas meja, disorongkan ke Zahra. Setelah tenang, mereka menuju dapur. Zainab mulai memasak, dan menyiapkan sarapan bekal Fatih ke sekolah.
Jam masih menunjukan pukul 5.20 wib.
"Duduk di sini ya, Nak."
Zainab menurunkan Zahra dan meletakkan mainan, dan menambah kuenya. Zahra masih membisu setelah peristiwa tadi.
Hanya butuh dua puluh menit, Zainab menyelesaikan masakannya. Sarapan dan bekal favorit siang sekolah Fatih siap. Ayam goreng tepung, sayur sop, dengan sedikit saus. Memang Zainab seorang ibu yang cekatan. Untuk menghemat waktu, sebagian pekerjaan pagi, telah dirapel di malam hari hingga tak terburu-buru. Zahra sudah tenang. Ia mengamati umminya asyik memasak, sambil sesekali menciumi boneka kecilnya.
"Ayo, saatnya mandi..!, ajak Zainab mengangkat dan melepas baju Zahra.
Selesai. Zainab dan Zahra sudah rapi berjubah maron polos serasi dengan kerudungnya. Zainab tampak anggun dan cantik. Jilbab panjangnya, menambah sejuk pandangan mata. Zahra memakai baju merah berbunga. Jilbab bunga kecil, cantik dan comel menutupi kepalanya. Zahra, satu-satunya anak perempuannya, dibiasakan berjilbab jika keluar rumah. Zainab ingin anak-anaknya menjadi shalih dan shaliha. Membiasakan mereka sedari kecil dengan ajaran Islam.
Zainab lalu membangunkan Fatih yang tidur lagi setelah salat Subuh.
"Bang, ayo bangun," ujarnya sambil menggoyangkan lembut badan Fatih.
Fatih menggeliat malas, kembali tidur. Zainab lembut mengoyangkan badan dan mencium pipinya.
"Ayo, Nak....! Nanti Abang terlambat ke sekolah ....!"
Mendengarkan kata sekolah, bergegas Fatih banggun. Duduk dan menggosok matanya.
"Jam berapa, Mi ?"
"Jam 6.30 ...! Ayo, Nak lekas mandi ....." Zainab menyuruh Fatih.
Sementara Faiz masih tertidur. Zainab memandang anaknya, kasihan. Faiz gelisah dalam tidurnya. Sebentar-sebentar menanyakan abinya,
"Kapan pulang?" Zainab terenyuh, di tarik selimut ke tubuh Faiz sembari menciumnya lembut.
"Mi, Abang sudah siap, tolong handuknya Mi ..."
"Ini handuknya, baju Abang di atas tempat tidur ya! Terus langsung sarapan ya. Ummi tunggu di meja makan ...."
Sebentar Fatih sudah siap. Berbaju seragam putih, celana panjang, dan rompi biru, dilengkapi topi di kepala. Mereka sarapan pagi. Fatih menyantap roti bakar dan segelas susu hangat.
Fatih, Zainab, dan Zahrah keluar rumah pelan-pelan. Zainab mengendong Zahra. Fatih membawa tas sekolah. Mereka perlahan membuka pintu agar tidak terdengar dan mengeluarkan motor Astreanya.
"Sebentar ya Nak, ummi periksa dapur dulu"
Zainab kembali ke belakang memeriksa keadaan, agar aman saat ditinggal.
"Semua aman insyaAllah...," guman Zainab. Ia kembali ke depan, dan mereka bertiga keluar. Pagar ditutup, tetapi sengaja tidak digembok.
"Assalamu 'alaikum, Nek"
"Tok ... tok .. tok ..!"
Zainab mengetok pintu rumah tetangganya.
"Wa 'alaikumussalam ...." Terdengar suara dari dalam, dan seorang nenek keluar.
"Ada yang bisa Nenek bantu Zainab ?"
"Maaf sebelumnya, Nek. Merepotkan Nenek nih. Zainab mau ngantar Fatih ke sekolah, Nek, tapi Faiz masih tidur. Titip Faiz sebentar boleh, Nek. Pintu rumah tidak di kunci, Nek."
"Ya berangkatlah, biar Nenek jaga dia. Kalau bangun nanti Nenek ke sana."
"Ya Allah terimakasih, telah memberikan tetangga yang baik," Zainab membatin
"Terima kasih banyak sebelumnya ya, Nek...."
Nenek mengangguk dengan senyum tulus.
"Zainab berangkat dulu ya, Nek"
"Ya hati-hati.."
"Assalamu'alaikum Nek." Fatih ikut berpamitan
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati ya Fatih, pegang Umminya "
"Ya, Nek," jawab Fatih melambaikan tangan.
Zainab mengikat mereka berdua dengan jarik, kain panjang. Ia khawatir, jalan yang dilalui nanti beriringan mobil dan fuso yang sesekali lewat. Jarak antara rumah Zainab dan sekolah Fatih lumayan jauh. Setelah membaca doa Zainab melaju menuju sekolah..
Sepulang mengantar Fatih, Zainab mampir ke pasar yang cuma beberapa meter dari sekolah Fatih. Pisang, kue, sayur mayur, dan kebutuhan dapur, sebentar penuh di keranjang.
Faiz sudah menunggu di rumah ditemani nenek tetangganya saat mereka tiba.
"Assalamu 'alaikum .... "
"Wa'alakumussalam," sahut Nenek. Zainab memarkirkan motornya di teras. Setelah membuka ikatan jarik, ia menurunkan belanjaan.
"Nek ini buat Nenek ...." Zainab menyorongkan pisang dan pepaya.
"MasyaAllah, jangan repot-repot Zainab," senyum nenek.
"Tidak, Nek. Tadi kebetulan mampir dulu ke pasar." Faiz dan Zahra ikut membuka keranjang belanja.
"Ayo, Nek kita masuk ..."
"Sudahlah ..., nanti saja. Nenek mau ke warung sebentar, mau belanja"
"Sekali lagi terimakasih banyak ya, Nek"
"Sama-sama. Nenek yang terimakasih. Alhamdulillah, ini oleh-oleh buah sudah banyak. Assalamu'alaikum ...!" Nenek beranjak pulang.
Setiba di rumah, Zainab terkejut. Ternyata rumahnya sudah rapi, setelah ditinggal. Bekas pasir ban motor bahkan tak tampak lagi. Di meja makan tidak ada piring bekas sarapan tadi. Semua sudah dicuci nenek.
"Ya Gusti...., aku malu," bisik Zainab.
Zainab mengerjakan segala urusan rumahnya sendirian. Mengantar dan menjemput anak sekolah. Mengurus kebutuhannya yang sesekali ditingkahi keributan karena berebut sesuatu. Ini membuat Zainab pusing tujuh keliling. Terlebih jika mereka mulai bertanya, di mana keberadaan abinya dan kapankah pulang ? Zainab bertambah pilu.
Jam menunjukkan pukul 12.00 malam, tetapi Zainab masih sibuk. Membersihkan piring kotor dan tumpukan pakaian di ruang belakang. Rumah yang berantakan, akhirnya rapi.
Alhamdulillah, baru terasa letihnya setelah pekerjaannya selesai. Sejurus, Zainab sudah lelap tertidur.
Zainab tersadar, jam dinding menunjukan pukul tiga dini hari. Ia bangkit dari duduk dan mengambil air wudu. Sejuk terasa di wajah, tangan, dan kakinya. Di pertigaan malam Zainab menumpahkan segala bebannya.
Ia ingat suaminya. Kerinduannya belum terhapus dengan doa. Dipintanya kekuatan dari Allah. Luapan kerinduan kerap memantik emosi kepada anak-anak. Seperti kejadian tadi pagi, Zainab memarahi Faiz yang menumpahkan air di ruang tengah, sesaat setelah Zainab mengepel lantai yang masih basah, lantas terdengar suara.
"Plang ...!" Zainab berlari ke belakang dan menjerit,
"Faiz ...! Astagfirullah ...! Zainab langsung menarik kasar Faiz, dan mencubit tangannya. Faiz hanya diam, tidak menangis. Bibir kecilnya berkata,
"Faiz mau minum, Mi... Sambil mengambil air minum. Zainab tersadar seharusnya itu tidak terjadi, karena ia terlalu menuruti emosi.
"Maafkan Ummi ya Nak..," sambil memeluk Faiz. Hatinya terasa pecah antara luapan rasa rindu, emosi dan beban yang di tanggung Zainab. Entah kepada siapa dia harus mengadu?
Akhirnya Zainab menyesali dan tersadar, ternyata hari-harinya dulu dilalui dengan berbagai kesalahan dalam menyikapi pola tingkah anak-anaknya.
"Kenakalannya adalah luapan rasa rindu mereka pada ayahnya," bisik hati Zainab.
Kekesalannya seolah-olah tiada habisnya. Entah kepada siapa ingin ia timpakan kesalahan ini? Kepada dirinyakah? Suami? Anak-anak? Atau keadaan ini? Ia baru tersadar, ternyata ia melamun, padahal sedang mengendarai motor dan anak-anak di belakang. Sampai-sampai seorang meneriakinya di jalan.
"Hai, Bu ...! Anaknya tidur!" Reflek tangannya menyadarkan anak-anaknya yang tertidur.
"Sebentar lagi sampai, Nak. Jangan tidur dulu!"
Sudah tak terhitung, berapa mobil mendahuluinya. Lalu-lintas sore merayap padat. Mungkin mereka pikir, ia tidak peduli dengan keselamatan anak-anakku. Zainab pun tersadar.
"Ya Allah tak terbayangkan jika terjadi kecelakaan saat itu. "
Napasnya tercekat, ia langsung bersujud syukur di atas sajadahnya.
***
Bionarasi
Tahti Rasyid bersuku Minangkabau kelahiran Pekanbaru, Riau pada 26 Desember 1970. Anak ke-6 dari 7 bersaudara. Sejak lahir sampai Sekolah Dasar di Pekanbaru. Sedangkan SMP-SMA diselesaikan di Sumbar. Masa kecil sampai kuliah dijalani di Pekanbaru. Pendidikan terakhir D3. Memiliki hobi memasak, traveling, camping, dan menanam. Motto hidup:
Motto:
Jika kamu sudah menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik dan sempurna, maka lakukan pekerjaan selanjutnya dengan baik dan sempurna pula.
Dari buku Antologi Cerpen Jejak Kenangan (Haura Publishing; November 2021)
Posting Komentar
Posting Komentar