AAARRGH !
Oleh : Nuria Safitri
Keheningan pagi itu pecah oleh suara erangan keras dari sebuah rumah sederhana di pinggiran kampung.
Tubuh itu menggelepar kelojotan menahan sakit perih, darah segar menyemburat membasahi tubuh itu. Darah juga mengalir deras dari kepalanya, napasnya terengah-engah dan lambat laun melemah dan akhirnya pelan pelan berhenti. Tampak di sisinya seorang perempuan paruh baya menangis histeris sambil memanggil-manggil lelaki itu,
"Pak, Bapaaak...bangun bangun, siapa yang melakukan ini pak?? Pak ...hu hu hu...." Perempuan itu menangis dan berteriak teriak.
Warga kampung berdatangan ingin melihat tragedi di pagi itu. Sementara di pojokan rumah, seorang gadis remaja sedang mendekap bocah lelaki kecil, berdiri tergugu termangu seakan tak percaya drama yang terjadi di depan matanya. Tak ada airmata yang jatuh dari pelupuk mata gadis itu, ia terlampau shock dengan kejadian itu. Jasad yang terbujur kaku, bersimbah darah, dan perempuan yang histeris itu adalah ayah dan ibunya.
"Duarr, duarr, duarr, braakk, braakk... Cepaaat buka pintu Mirah!!.
Buka...!!. Tuli kamu haa..!!! ".
Bagai geledek suara itu memecah telinga di malam buta. Sumirah, sang istri terkesiap dari tidurnya. Dengan langkah yang masih sempoyongan, dia berusaha berlari untuk membukakan pintu suaminya.
Sesaat kemudian setelah pintu terbuka,
"Plaak" tamparan keras melayang di pipi Sumirah.
"Gak bisa ya elu buka pintu cepat..!. Gua udah ngantuk, capek...
Gua mau tidur..
Tamparan disertai hardikan diterima Sumirah tanpa daya. Ia hanya pasrah menerima semua perlakuan itu, karena jika ia melawan, ia akan menerima perlakuan lebih keras lagi, dan imbasnya beralih ke anak-anaknya juga. Suaminya itu sering berkata, dan berlaku kasar jika ada sedikit kesalahan pada anak-anaknya.
Sumirah memandangi suaminya yang ngloyor masuk kamar dengan nanar. Sakit karena tamparan tidaklah seberapa dibanding dengan perih hati dan perasaannya. Ditahannya buliran bening yang hampir jatuh, karena tiba-tiba putrinya menghampirinya, ia terbangun dengan kegaduhan tadi.
" Mak..., Bapak mabuk lagi ?. Menyakiti Emak lagi?. Sampai kapan bapak seperti itu Mak?".
"Aku sedih, aku kasihan sama Emak. Hampir tiap hari menangis. Aku benci.., benci, benar- benar benci bapak."
Hasna, nama gadis itu, sesenggukkan di pelukan emaknya. Sumirah terdiam, lidahnya kelu. Ada duka yang mendalam. Dgn lembut, jari jemarinya membelai rambut putrinya itu.
Tejo, nama lelaki paruh baya itu, sudah hampir tiga bulan kerja serabutan. Kadang jadi kuli bangunan, kuli panggul di pasar. Kadang juga memalak pedagang-pedagang di pasar, kalau tidak ada pekerjaan. Temperamennya kasar, terlebih sekarang setelah ia dipecat dari pabrik kertas tempat ia bekerja. Pendapatannya jelas berkurang drastis, terlebih sekarang ia hanya bekerja serabutan.
Namun, yang lebih jeleknya lagi, uang yang tidak seberapa dari upahnya itu, dibuat untuk membeli minuman, dan mabuk-mabukan.
Kerap ia juga main domino dengan taruhan. Sementara kebutuhan untuk keluarganya hanya dari sisa-sisa uangnya. Bahkan tak jarang, Sumirah dan anak-anaknya tak mendapat apa-apa.
Sore itu,
" Miraah..., Mirah..., mana uang yang gua minta tempo hari, harus ada uang sekarang juga. Gua mau beli rokok, mau minum !!..., lengking suami Mirah....dan sdh bisa diduga uang itu juga akan dipakai untuk main domino
"Gak ada, Pak.., ini hanya untuk beli beras hari ini."
" Lho, bukannya gua suruh elu pinjam ke bu Seno?. Dia khan orang kaya, kamu juga udah lama kerja sama dia?."
"Saya malu pak, udah banyak hutang sama bu Seno. Cicilan kita masih banyak. Walau bu Seno baik, aku tidak mau hutang menumpuk numpuk, " lirih Sumirah.
Ya, Sumirah perempuan paruh baya itu bekerja sebagai pembantu di keluarga Seno. Walau gaji tak seberapa, tetap dilakoninya, apalagi harus dipotong untuk mencicil hutang, tetapi ia bersyukur paling tidak masih bisa ketemu nasi tiap hari.
"Jadi elu gak pinjamin uang buat gua hah ...? Elu mau gua pukulin?"
Tejo masuk ke kamar dan mengacak-acak lemari, mencari uang yang tersisa. Namun ia tak menemukan apa-apa.T ejo menghampiri Sumirah,
"Mana uang buat beli beras tadi?! Sini buat gua," teriaknya sambil merampas dompet lusuh Sumirah.
"Jangan, Pak.., mau makan apa kita nanti?" Jangan pak...! saya mohon, kasihan anak-anak kita, sengguk Sumirah memelas.
"Bodo amat, pikirin lu sendiri..."
Tejo dan Sumirah saling tarik menarik dompet.
"Plaak ... plaak.., " tamparan melayang bertubi-tubi. Sumirah berusaha melawan, tetapi Tejo keburu meninju, dan mendorong tubuh perempuan itu. Menghempaskannya ke sudut rumah. Sumirah lunglai lemas, dan hampir pingsan. Darah segar keluar dari hidungnya. Dan pergilah Tejo dengan santainya, sambil membawa uang dompet yang tak seberapa.
Adegan itu disaksikan oleh anak bungsu mereka Luki. Bocah lelaki berumur tujuh tahun, adik Hasna. Ia hanya menangis, melihat ibunya lunglai tak berdaya. Tangan kecilnya memeluk ibunya, lalu ia berlari bergegas memanggil Hasna kakaknya yang sedang menyetrika di rumah tetangga sebelah. Pekerjaan yang biasa Hasna lakukan setiap pulang sekolah. Dengan uang upah kerjaan itu, ia masih bisa sekolah, juga Luki adiknya.
"Kak.., kakak.., Emak kak..!. Cepat pulang..! Emak dipukuli bapak.
Emak mau pingsan kak.., " teriak Luki gemetar
" Ya Tuhan..., ada apa lagi ini??," keluh Hasna.
Setelah ia minta izin kepada tetangganya itu, Hasna bergegas pulang.
"Emaaak..!" Ia dapati ibunya masih terkulai lemas di pojokan rumah, dengan hidung berdarah.
Bergegas Hasna membopong tubuh ibunya dibantu adiknya ke kamar. Membaringkannya, membersihkan darah dan mengambilkan minum untuk ibu tersayang.
Sesat kemudian Sumirah tertidur. Hasna memandangi wajah ibunya yang mulai menua. Guratan-guratan tampak menghiasi wajah ibunya. Beban hidup yang menggelayutinya seakan tak ingin lepas dari dirinya.
"Aah emak, betapa malangnya dirimu...
Yaa Tuhan, balaslah kekejaman bapak, " Hasna membatin sambil memijat-mijat kaki emaknya.
Sebenarnya emak sudah beberapa kali minta cerai dan berpisah dari bapak. Namun bapak selalu mengancam nyawa mereka bertiga, sebagai taruhannya. Tak terasa buliran beling mengalir di pipinya. Dipeluk Luki, adiknya yang sedari tadi cuma bisa sesenggukan. Suasana hening sampai magrib tiba.
Adzan subuh baru saja berkumandang. Seperti biasa Sumirah bersiap siap pergi ke surau. setelah selesai berwudu dan memakai mukenah ia bergegas membuka pintu. Tak lama setelah kepergian Sumirah, tampak sekelebat bayangan masuk ke dalam kamar orang tua itu. Di ranjang lusuh itu, tampak Tejo masih tertidur pulas. Dengkurannya keras, dan aroma arak masih tersisa dari napasnya. Bayangan hitam itu berjinjit-jinjit menghampiri tubuh itu, dan dalam hitungan menit, batu bata dipukulkan ke kepala Tejo berkali-kali disertai hujaman pisau dapur yang terayun, ke arah leher dan dada lelaki paruh baya itu.
"Aaarrgh....," Tejo terbangun dan sempoyongan. Ia belum menyadari apa yang terjadi. Namun kembali lagi hujaman pisau berkali kali pas tepat mengena dan menembus jantungnya. Robohlah Tejo, suami Mirah itu.
Bayangan hitam itu mencabut pisau yang menancap, dan mengambil batu bata yg tergeletak dilantai, lantas pergi secepat kilat.
***
Bionarasi Penulis
Nuria Safitri, lahir di Jakarta, anak kelima dari delapn bersaudara. Seorang ibu rumah tangga. Menempuh pendidikan di IKIP Jakarta (sekarang UNJ ), jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Domisili di Padang- Sumbar, Mempunyai anak 9 orang dan 1 cucu.
Ini adalah cerpen pertama yang dibuatnya. dan dipublikasikan oleh Asih Drajad Lumintu, guru sekaligus sahabat sejak di kampus dulu.
# Dari buku Antologi Cerpen Pelangi Kehidupan (Haura Publishing, Januari 2022)
Posting Komentar
Posting Komentar