SAKIT BERSUA OBAT
Oleh: Suhada Lulik Impatwati
Wanita separu baya, tinggi semampai, kulitnya langsat, wajahnya tidak jelek, rambutnya tertata rapi dengan dandanan ala gadis bercelana jeans dan kaos kerah putih, dan bersepatu kets putih serasi. Dia datang ke sekolah dengan beraninya. Ada urusan apa, hari gini datang ke sekolah. Sekolah tutup. Belajar jarak jauh. Lagi ada virus Omicorn.
"Biar saja kalau mau ke sekolah."
Ada yang menepuk pundakku. Buyarlah lamunanku terhadapnya. Kutoleh nggak ada siapa-siapa. Ya wanita itu membuatku menguras air mata ketika sambil memegang gawai menjawab chattingnya, dan juga sampai ingus berleleran.
"Stop!. Ngapain sih nangis. Lihat film Drakor...!. Sudah tutup setan gepengnya.” Terdengar suara suami, yang suruhannya gak boleh dibantah. Tutup saja.
"Haaah"
Ketika kemarin anak gadisnya dengan uring-uringan, lalu dia hempaskan badannya di kasur empuknya, nyamuk nyamuk pada kaget. Gak biasanya gadis ini, biasanya dengan lembut merebahkan badannya yang ceking tinggi, yang rela aja untuk digigit dan diisap darahnya, tapi kali ini tidak. Bahkan seekor nyamuk perut gendut langsung mencret perutnya. Darah merahnya mengenai seprai yang bukan putih. Kabur-kabur semua nyamuk yang berkerumun.
"Lala..., sudah kukatakan gak usah ikut kegiatan sekolah tetek bengek, nggak penting!." Dengan nada tinggi, wanita muda itu mata melotot. Tak kalah ngototnya juga gadis itu, yang ternyata anak semata wayangnya.
"Katanya boleh kalau kegiatan ini. Mama gimana sih!. Saya sudah menyenangi, Ma..!. Ini gak boleh, itu gak boleh. Saya ini gak papa Ma, sehat. Alhamdulillah diberi kekuatan, makanya kepingin seperti yang lain, Ma." Anak dan Mama tak berhenti bersitegang kalau tidak dihentikan oleh suara ketukan pintu.
"Tok tok tok! Assalamualaikum!"
“Ah kukira siapa ? Ternyata kamu, Fa. Maaf Fa, saya lagi ada sesuatu hari, ini gak bisa ikut kegiatan. Lagi sibuk di rumah.”
Fa mengangguk dan ngeloyor dengan Rin, Fir, juga Kaf. Keempat temannya paham apa yang terjadi.
“Kasihan Lala. Dulu juga pernah terjadi, ketika ikut latihan paskibra.”
*
“Nggak usah ada kegiatan seperti itu lagi !. Percuma, sama pemerintah, kan disuruh daring.” Salah faham terjadi lagi. Pokoknya nggak usah ikut, titik.
"Mama, terus saya bagaimana maunya?."
*
Mata tak mau dipejamkan, gelap malam semakin menyelubungi. Suara sinetron remaja di TV yang dari sore terus berlanjut tidak ada hentinya ganti judul baru. TV belum dimatikan, gak ada manusia yang nonton. Penghuninya asyik berdebat. Debat itu sangat melelahkan keduanya. Kemrosok TV riuh, dan akhirnya TV gelap sendiri kelelahan kali.
Karena lelahnya gak ada yang mengalah, lama-lama tergeletak dan rebah rubuhlah badan. Mimpi menyusur relung jiwa yang tak menyapa. Tidak ada saling sapa ketika bangun tidur. Percuma, ujung-ujungnya sakit, dan jiwa hampa bahkan nestapa. Diam. Ya diam itu emas . Lebih baik diam, daripada saling sapa, tetapi menyakiti.
*
Diam merenung, berlabuh di kedamaian subuh berteduh. Tiada yang keruh meluruh. Senyumlah jiwa terhampa biar tertempa. Dinginnya air mengalir menyejukkan pori kulitku, merasakan betapa segarnya. Bersih dan indah sesuai percikan Asmaul Husna
"Ya Qudus Allah Maha Suci Bersih. Ya Jamil Allah Maha Indah. “
Biar bersih dan indah nantinya begitu Bismillahirahmanirrahim, kedua telapak tangan sampai pergelangan, berkumur-kumur, lubang hidung, lalu berniat. Membasuh muka, semua menjadi benderang. Kedua belah tangan hingga siku-siku, sebagian rambut, kedua belah telinga, kedua telapak kaki, lalu berdoa yang artinya
“Aku bersaksi, tiada Tuhan melainkan Allah yang tunggal dan tiada sekutu baginya. Dan aku bersaksi, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah utusanNya. Ya Allah, jadikanlah aku dari golongan orang orang yang shalih. “
Hemm, sejuk dingin kalbu jadi merindu. Terhanyut rasa gundah bersama air mengalir. Bersujudlah jiwa bersih dan indah, tenggelam kan jiwa di samudra istigfar.
*
Tidak sabar, setiap saat Lala membuka buka gawainya. Gelisah hatinya tak bisa bersembunyi. Galau menghalau senyum ceria.
“O ibu, ternyata permintaan maafku melalu japri hanya dibuka saja.”
Selang sehari masih belum dijawab juga. Setiap jengkal melangkah gak bisa ditepis kelebat gundah. O sangat menyiksa. Bahkan sepeminuman teh manis bercelup roti tawar, belum bisa menawarkan rasa rindu teguran di gawai. Masih setia menanti.
Tiga hari barulah dijawab. Gadis yang dipanggil Lala itu menunggu jawaban permintaan maaf. Tiga hari adalah batas seseorang tidak sapaan, kalau lebih bahaya. Dianggap telah memutuskan persaudaraan, nantinya akan ditangguhkan masuk surganya. Gadis itu tersenyum lega. Wanita tua yang sudah dianggap ibunya sudah menjawab salam, dan memaafkan mamanya yang telah menyakiti melalui kata-kata kasar di WhatsApp
Ketika itu, kata bersambut kata di gawai dan wanita tua tak tahan, dan akhirnya tak kuasa menahan. Ternyata sampai ada yang sakit di bagian dada sebelah kiri. Gegara membaca kata-kata kasar yang membuat dada terasa sesak menahan sakit. Malah ada air mata yang meleleh. Ini nggak boleh berlarut. Diambilnya air, dan minum. Totok Refleksi bagian dada, baca mantra ayat ruqyah. Pas azan Asar, air mengalir. Enyahlah penggoda yang bersemayam di dada. Air suci mensucikan jiwa dan raga telah mengalir. Hampir saja. Masih tersisa sedu sedan. Setan enyahlah jangan kembali lagi !.
“Stop dan tutup, ummi !. “ Suara suami ummi mengingatkan dengan suara berat, dan tak bisa dibantah. Tangan seperti ada yang menuntun blokir.
*
Kalau dipikir lucu juga ya.
“Uuuh sial, sungguh mimpi apa diomeli, dan di chatting, sama ibu muda beranak satu yang sudah berpisah dengan suaminya?”
Empat hari jadi sakit jiwa, badan juga jadi lunglai, kerja jadi seperti pandir, hati terpelintir. Setan pinginnya jadi sopir, seenaknya nyetir. Digoreng pakai minyak jelantah dan bungkus aja pakai tepung panir. Dasar penggoda tanpa mikir. Lantunkan ta’awudz
Kami berpelukan, saling memaafkan. Sambil tak lupa kupegang, kuelus, kutotok dengan jari telunjuk pusat kepalanya, turun ke tengkuk dua titik yang bisa melancarkan darah, turun di kedua pundaknya dan dielus bagian punggung.
“Ibu, bolehkah jadi ibu saya?.” Begitu bisikmu, berbarengan dengan anggukan wanita tua sambil tersenyum. Senyum mereka mengembang.
"Sin..," hati ini mengucap
“Sin".
"Lala kenapa Bu?” , begitu tanya Fa, Kaf ,Rin, dan Fir yang kebetulan lagi berkumpul. Mereka kelompok anak yang cerdas.
"Semangat!." Begitu teriak kami semua serempak, tertawa berderai-derai. Suasana jadi hangat sehangat kopi yang diseruput penghobinya.
*
Sepeminuman kopi mereka sudah berkumpul di rumah Lala dan kelihatanya berunding sesuatu. Adanya minuman kopi luwak.
“Gak papa sekali sekali minum kopi.” Mama Lala memang penghobi kopi.
"Kok sepi La ?, “tanya si Kaf dan Upi hampir berbarengan.
"Ya biasa. Di rumah, kami hanya berdua. Malah kalau saya ke rumah papi, rumah ini sepi. Lala biasanya tinggal di rumah nenek sejak bayi. Neneklah yang mengasuhnya sejak bayi, sejak mama dan papi berumah sendiri-sendiri. Para teman manggut-manggut salut dengan ketabahan Lala yang terlihat di keceriannya.
Tiba-tiba ada suara piring seng jatuh. Bukan jatuh, tetapi seperti dilempar. Gedebumprang benda tumpul sepertinya baskom apa ember.
"Ssst !." Mereka intip dari balik jendela yang tersingkap gordennya separuh, Ada wanita sedang melempar-lempar piring seng, ember, baskom,dan segala perabot yang semua bukan dari beling. Aman. Wanita cantik itu kelihatan kelelahan, lalu tertidur. Lala sudah maklum tentang wanita yang perhatiannya berlebihan kepadanya. Wanita yang melahirkannya, meski tak mengasuhnya tetap disayanginya.
"Ini kopinya, Ma." Bibirnya yang manis komat-kamit, lalu diseruputnya kopi itu. Senyum dan tertawa kegirangan, lalu cepat cepat bebenah benda-benda yang berserak. Dengan suara agak serak, ia menyapa semua teman Lala, dan menyuruh Lala membeli makanan. Wajahnya kelihatan gembira. Lalu tidak lama meminta Lala untuk tinggal selalu di rumahnya. Lala tersenyum sambil mengangguk meskipun ia tak bisa, sudah terbiasa dengan Nenek. Baguslah tidak ada perdebatan demi menjaga perasaannya. Sayup-sayup terdengar azan Asar. Berbinar rasa, bergetar jiwa.
"Sampai besok ya." Mereka saling ucap jawab salam.
*
Ada sakit yang menggigit hati teriris. Perih pedih terkikis manis. Obat melumuri sakit yang menyelimut, menyebut namaNya di setiap kali melangkah. Sejatinya hanya kepada-Nya lah kita meminta dan hanya kepada-Nya lah kita menyembah.
“Mintalah hanya kepadaKu maka akan Kuberi.”
Dia penguasa kerajaan bumi dan langit. Jangan pernah tuk menduakanNya.
*
"Ibuuuuu...!" Gadis itu langsung memeluk, dan berbisik.
“Maafkan kami.”
“Sudah, Nak. Kami berpelukan lama.
"O ya Bu, mamaku dulu pernah kecelakaan motor. Ibu guru membiarkan dia bercerita. Ada rasa plong di hati meski sendu di matanya. Lalu senyum kami mengembang.
"Yuuk lihat kebun sekolah"
"Wkwkwkw..,” gerai tawa kami melihat gemoy dan hijau bayam Brasil, tetapi di sampingnya bayam merah hampir gundul.
"Wah belalang banyak banget." Di kebun juga sudah ada Fa, Kaf, Upi, All,dan Rin. Tawa kami tambah berderai-derai.
SLI, Ramadan
Selasa,5 April 2022
(Cerita hanya fiktif dan imajinasi penulis, kalau ada kesamaan hanyalah kebetulan saja)
***
Bionarasi
Perempuan berhobi menanam(2000) juga terapi sehat totok jari bayi dan perempuan (2016) biasa dipanggil Ummi Lulik adalah aktif mengajar di SMPN 1 Tigaraksa Kabupaten Tangerang Banten. Di usia senja (57 tahun nanti bulan Juli) mengalami keresahan. Kepada siswanya sering mengatakan " Jangan takut bersalah tuk berkarya, yang salah bila tidak mau berkarya." Karya cerpen "Ibu dan Daun Pandan" dalam antologi cerpen, Mengeja Namamu Ibu " bersama penulis lainnya adalah bukti semua bisa berkarya meski tidak berbakat menulis asal kemauan menulis dikuatkan. Kelas menulis Ummi Asih yang pas, telah menggiringnya "terpaksa dan dipaksa bisa menulis". Alhamdulillah, Bismillahirrahmanirrahim.
Dari buku Antologi Cerpen Cinta Seluas Langit(Haura Publishing, Juni 2022)
Posting Komentar
Posting Komentar