Blog Perempuan Menulis

Cerpen : Telaga CintaMu

Posting Komentar

 TELAGA CINTAMU

Oleh : Chandra Kusrini

www.perempuanmenulis.com

               Senja menggelap seperti gelapnya hatiku saat itu. Aku masih duduk terdiam di dalam kamar sendirian. Masih terbayang bagaimana senyum manis Aisyah saat dia kugendong penuh kasih. Matanya sipit, kulitnya putih, tulang tangan dan kakinya besar sehingga orang lain sering mengira Aisyah sudah berumur tiga atau empat tahun. Padahal umurnya saat itu masih dua tahun kurang sediikit. Semua orang yang mengenalnya pasti senang sekali dengan kehadirannya. Karena dengan umur yang masih dua tahun kurang, Aisyah sudah mampu berbicara dengan kosa kata yang cukup banyak untuk ukuran seusianya. Bicaranya lumayan jelas, jalannya lucu, tingkahnya menggemaskan. Aku begitu mencintainya.

          “Ummi , kita kesana yuk !”, tangan mungilnya menarik tanganku ke arah yang dia tunjuk

          “Aisyah mau kemana sayang ?”, tanyaku lembut

          “Aicah mau ke lumah bude. Lihat ayam Umii…”. Aisyah memang belum pandai menyebut dengan jelas namanya sendiri. 

          Aisyah memang menyukai ayam. Suara ayam negeri yang masih kecil-kecil  di rumah bude depan, selalu menarik perhatian dia. Setiap sore pasti Aisyah ingin melihat ayam-ayam itu. Kakek Iyo, ayahku,  yang tinggal di Bekasi sampai membuat kandang khusus buat ayam ayam kecil berwarna-warni yang dibeli Aisyah di pedagang ayam yang lewat. Kalau kakek sudah membuka pintu kandang ayamnya, maka Aisyah pun akan dengan cepat memberi makan ayam-ayam kecil yang berwarna-warni itu. Ayam yang berebutan makanan akan membuat Aisyah bersorak kegirangan. Kadang dia bicara juga dengan ayam-ayam itu.

          “Hijau…kamu di sini aja makannya, jangan lebutin makanan ayam si olanye ya, “ tangan kecilnya sibuk mengelus kepala anak ayam yang berwarna hijau. Si Hijau tak merespon karena sibuk memakan makanan yang ditebar Aisyah.

          Aisyah memang lucu dan menggemaskan.

          Sekali waktu dia kelihatan protes sama ayam-ayam itu ketika melihat kotorannya ada di mana mana.

          “Ih, unguu…kamu jolok. Jangan ee sembalangan dong “ katanya lucu.

          Aku tersenyum geli mendengar kata-katanya, tapi sepertinya mataku basah.

          Ada yang menepuk pundakku perlahan, pelan penuh kasih sayang.

          “Sabar ya sayang, jangan menangis terus. InsyaAllah Aisyah akan menjemput kita nanti di surga “. Mas Imam memelukku dan berupaya menghiburku . 

          Ternyata aku sedang tidak bersama Aisyah dan pipi yang membasah memang nyata adanya. Mendengar ucapan mas Imam tangisku bukannya mereda malah semakin menderas turun dari mataku. Aku sesenggukan dalam pelukan suamiku. Dadaku naik turun menahan sesak yang ada di dada. Susah sekali menghilangkan rasa yang teriris di hati ini. Rasanya seperti di sayat-sayat, pedih perih rasanya tak bisa kugambarkan. Kuburan anakku Aisyah belum mengering, aku belum bisa melupakan kepergian anak semata wayang belahan jiwa kami yang sudah kembali kepada Pemilik yang sebenarnya. Aku tahu betul bahwa kematian itu pasti akan datang kepada setiap makhlukNya. Tapi aku tidak mengira bahwa malaikat maut akan secepat itu menjemput Aisyahku. Dia masih kecil, aku juga belum puas memeluknya.  

          Masih terekam jelas dalam ingatanku saat menyakitkan itu datang. Saat itu kami sedang bermalam di rumah orangtuaku di Bekasi. Aisyah memang sedang demam tapi panasnya tidak tinggi. Dia juga masih jalan ke sana kemari bercanda dengan kakek dan neneknya. Mulutnya sibuk mengunyah pisang goreng buatan nenek Dija, ibuku. Tangan kanannya memegang pisang goreng dan memotong dengan tangan kirinya lalu membagikan potongan kecil itu kepada kakek dan neneknya. Dia hampiri kakek Iyo-nya dan menyuapkan pisang goreng itu ke dalam mulut kakeknya.

          “A…a…a… “,. Aisyah membuka mulutnya sambil berupaya memasukan pisang goreng itu ke mulut kakek Iyo.

          Saat pisang goreng itu sudah masuk ke mulut kakek Iyo, maka Aisyah tertawa gembira sambil melompat lompat. Setelah itu dia menghampiri nenek Dija untuk hal yang sama seperti yang ia lakukan kepada kakek Iyo. Begitu terus sampai pisang gorengnya habis. Suasana siang menjelang sore saat itu penuh dengan suka cita. Aisyah menjadi cucu pertama bagi kedua orangtuaku. Sehingga kehadirannya di rumah mereka selalu dinanti-nanti.

         Aisyah masih punya kebiasaan tidur siang dua kali. Pagi jam sembilan dia tidur, kemudian sebelum azan Zuhur berkumandang Aisyah sudah bangun lagi. Siang menjelang sore biasa Aisyah sudah terlihat mengantuk. Maka Aisyah akan tidur walaupun hanya sebentar saja. Tapi sore itu Aisyah tidak bangun cepat. Kuhampiri gadis kecilku yang sedang tidur.  Tidur yang tidak nyaman, terlihat gelisah. Kusentuh dahinya, panas. Kupegang tangan dan kakinya juga panas. Mungkin karena merasa ada yang menyentuhnya, Aisyah terbangun. Melihatku, dia minta digendong.

          “Ndong miii…”, pintanya sambil menjulurkan tangannya kepadaku agar menggendongnya. Mukanya memerah dan bibirnya mengering

          Kupeluk erat Aisyah dan kuambil jarik kesayangannya untuk menggendongnya. Kusandarkan kepalanya di dadaku, kubelai bagian punggungnya untuk sekedar memberi kenyamanan baginya, kusenandungkan  lagu-lagu kesayangannya sambil tersenyum padanya padahal hatiku pilu sekali. Sedih rasanya kalau melihat dia begini. Ingin rasanya aku bertukar posisi dengannya. Biar aku saja yang merasakan sakitnya. 

          Sambil menggendong Aisyah tangan kananku sibuk mencari obat penurun panas. Setelah kutemukan segera obat penurun panas itu kuminumkan padanya. Aisyah meminumnya dengan mudah. Kuayunkan tubuhnya dalam gendonganku lebih erat dengan perasaan penuh kasih sayang. Mulut dan hatiku tak berhenti berdoa memohon agar Allah menurunkan suhu badan Aisyah. Entah mengapa kali ini hatiku kacau sekali, aku cemas dengan panasnya. Alhamdulillah setengah jam kemudian panasnya turun.  Aisyah juga sudah tertidur dalam gendonganku. Perlahan kubawa dia ke kamar dan kubaringkan di tempat tidurnya. Badannya berkeringat , bajunya sedikit basah. Tapi mau kuganti tidak tega khawatir dia terbangun kembali. Kutinggalkan dia di kamar untuk mengerjakan pekerjaan dapur yang tertunda, sesekali kutengok khawatir dia terbangun mencariku.  Aisyah tetap tidur nyenyak, senyumnya tersungging di wajahnya yang agak sedikit pucat. Kucium pelipisnya pelan, agak hangat.  Tapi Aisyah tidak terganggu dengan sentuhan tipis dariku. Kuminta nenek Dija menemaninya di kamar karena aku ingin mencuci piring-piring kotor dulu di dapur. 

          Baru sekitar limabelas menitan aku di dapur, kudengar tangisan Aisyah. Aku berlari ke kamar, kulihat ibuku sedang menggendongnya. 

          “Rissa….Aisyah panas lagi nih. Kita bawa ke dokter aja yuk “, kata ibuku pelan.

          Kupegang dahinya , badannya, tangan dan kakinya Aisyah, ternyata naik lagi suhunya dari yang sebelumnya.

          “Iya bu, sepertinya memang kita harus bawa ke dokter. Walaupun tadi kita baru memberikan obat penurun panasnya dua jam yang lalu. Aku siap-siap dulu ya bu, “ ujarku pelan

          Belum juga aku beranjak dari kamar, Aisyah tiba tiba minta nenen.

          “Miii…nyenyen…mii…” , pinta Aisyah. Mulutnya berbicara tapi matanya tetap tertutup. Mungkin dia merasa pusing saat itu. 

          Aku segera meraih Aisyah dari gendongan ibuku dan meminta tolong pada ibu agar mengambilkan air hangat buat mengompres Aisyah. Kubaringkan Aisyah perlahan di kasur untuk menyusuinya. Aisyah paling senang menyusu dengan posisi begitu, tangannya akan sibuk meraba-raba pipiku, kaki kanannya akan di tumpangkan ke atas perutku. Tapi kali ini tangannya tidak sibuk mengusap-usap pipiku. Tangannya melingkar erat di pinggangku seperti tak ingin kutingal. Biasa memang kalau menyusui dengan posisi begini lalu Aisyah sudah tertidur, pasti aku akan pelan-pelan meninggalkannya untuk mengerjakan yang lainnya.  Mungkin kali ini dia merasa akan ditinggalkan olehku, padahal aku tidak akan meninggalkannya. Kuusap-usap rambut tipisnya perlahan supaya dia bisa tidur nyenyak. Benar saja, dia tertidur kembali dengan mulut masih mengecap-ngecap rasa ASI-ku. Sebentar-sebentar aku betulkan kain hangat yang kupakai untuk mengompresnya. Perlahan kujauhkan mulutnya dari dadaku. Tiba-tiba Aisyah menangis kembali. Buru-buru kuberi kembali ASI-ku kepadanya. Aisyah diam sambil mengisap ASI-ku. Tak lama kemudian Aisyah melepaskan ASI dari dadaku lalu membalikkan badannya sendiri hingga ia terlentang. Kuusap-usap rambutnya dan kubacakan doa di ubun-ubunnya.  Kuraih jari jemarinya dan kucium lembut. Hangat sekali kurasa.  

         “Ya Allah…sembuhkanlah belahan jiwaku ini. Angkat penyakitnya Ya Allah….” Ratapku merengek padaNya. 

          Tiba-tiba badan Aisyah menggeletar hebat, tangannya mengepal dan matanya membalik ke atas. Demi melihat keadaan Asyah seperti itu, aku menjerit kencang. Jantungku terjun bebas, jumpalitan tak terkendali lagi. 

          “Aisyah…Aisyah….astagfirullah….Aisyahhh...,“ jeritku sambil mengguncang-guncangkan badannya.

          Bapak, ibu dan suamiku berlarian datang ke kamar karena mendengar jeritanku. Mas Imam meraih Aisyah dan menggendongnya ke luar. Ibuku mengambil air ke belakang untuk mengganti kompresannya. Bapakku keluar rumah entah kemana. Kami panik semua saat itu dengan kondisi Aisyah yang menakutkan buat kami semua. Bapak datang dengan seorang ibu tetangga sebelah  rumah yang ternyata perawat di sebuah rumah sakit. Dia berusaha membantu Aisyah tapi sepertinya kesulitan dan menyarankan agar Aisyah di bawa ke dokter. Suamiku lari sambil menggendong Aisyah ke klinik terdekat rumah. Aku pun ikut berlari di belakangnya. Tidak kami pedulikan kaki telanjang kami yang menapak di aspal jalanan. Tetangga depan rumah yang berprofesi sebagai tukan becak, segera mengambil becaknya dan meminta suamiku untuk naik becaknya.

          “Ayo Pak , naik becak saya aja. Arah ke klinik di sana “ tunjuk mamang Seto si abang becak.

Karena panik kami baru menyadari bahwa kami tidak tahu di mana klinik terdekat. Akhirnya suamiku menyuruhku naik ke becak mamang Seto.

          “Ummi…ayo kamu saja yang naik becak…bawa Aisyah dalam pangkuanmu. Aku akan ikuti kamu dari belakang “ pinta suamiku.

          Mamang Seto mengayuh becah sepenuh tenaganya. Ngebut supaya segera sampai di klinik. Mas Imam, ibu dan bapakku lari-lari di belakang becak. Seluruh tubuhku gemetar, hatiku menciut pilu.  Kutatap wajah Aisyah. Wajahnya pucat, matanya sudah menutup tapi mulutnya memanggil namaku pelan. Badannya juga sudah tidak kaku. Tapi terlihat lemas sekali. Airmataku terus jatuh bercucuran tak bisa berhenti. Kupeluk sayang tubuh ringkih itu.  Kuciumi terus wajahnya yang putih bersih. Wajah yang selalu membuatku gembira dan melupakan segala lelah yang ada. Jalanan malam di komplek rumah orangtuaku saat itu sudah sepi karena sudah jam delapan malam. Akhirnya tidak sampai lima menit kemudian kami tiba di klinik dan sampai di sana ternyata Aisyah kembali  kejang. Dokter yang sedang menangani pasien seorang bapak-bapak langsung melompat dan mengambil Aisyah dari gendongan aku. Dibaringkannya Aisyah di tempat tidur pasien dan memasukan obat lewat duburnya. Baju bagian depan Aisyah ia gunting cepat.  Sejenak kemudian kepalanya menggeleng sedih. 

          “Ibu…lekas bawa anak ini ke rumah sakit besar !’, begitu perintahnya kepada kami

          “Ya Robbiii…..batinku menjerit hebat. Ada apa ini. Allah… berikan kesembuhan buat Aisyahku,” hatiku menangis sedih. Hancur rasanya mendengar kalimat dokter tersebut. 

          Mas Imam dan bapakku nampak bingung mau membawa Aisyah dengan kendaraan apa ke rumah sakit. Tetiba saja pasien klinik yang tadi sedang diperiksa dokter saat Aisyah datang, menawarkan diri untuk membantu kami membawa Aisyah dengan mobilnya. Ibu kami tinggal di klinik karena mobilnya tidak muat. Mas Imam duduk di samping pak sopir. Aku dan bapak duduk di belakang. Kepala Aisyah ada di pangkuanku. Kakinya ada di paha kakeknya . Kuusap terus wajahnya, kupeluk erat Aisyahku. Aisyah terdiam, tidak lagi memanggilku. Badannya masih hangat. 

          “Aisyah…ini umi nak. Buka matamu sayang. Ayo nak, sabar ya sayang. Dikit lagi kita sampai. Kuat ya nak…”, rintihku pelan. 

          Aisyahku hanya diam. Aku menangis lagi, dadaku terasa sakit melihat ini. Suamiku terus menyuruhku untuk beristigfar. Tapi aku tidak bisa berhenti untuk tidak menangis.  Bapak mengusap usap kaki Aisyah, tangannya, wajah cucunya yang pucat. Wajah bapak tegang. Beliau bersuara pelan, tapi aku jelas sekali mendengar apa yang diucapkannya.

          “Kakimu kok dingin, tanganmu juga dingin…”, begitu bapak bicara pada Aisyah. Parau suaranya.

          Aku memandang bapak tidak mengerti. Perasaanku berkecamuk tak karuan. Tidak bisa mencerna baik dengan apa yang disampaikan bapak. Kupandang wajah manis anakku. Tetiba kulihat mata Aisyah membalik ke atas  diikuti oleh tarikan napas yang lembut lalu mata itu menutup sendiri.

          “Ya Allah…astagfirullah….innalillahi wa inna ilaihi rojiun…” spontan bapakku berteriak

          Jantungku serasa berhenti mendengar ucapan bapak. Mas Imam yang duduk di samping pak sopir pun berucap sama dengan bapak setelah melihat kondisi Aisyah. Kulihat mas Imam menangis, bapak juga menangis. Aku linglung, tidak bisa menangis lagi. Dadaku seperti dipalu, ditusuk-tusuk, sakit sekali. Aku peluk Aisyahku, cahayaku, belahan hatiku. 

          “Jangan tinggalkan umi,Nak. Ayo Nak, kamu bertahan. Kamu pasti bisa kok. Besok kita main-main lagi ya, kita beli ayam warna biru, kamu kan belum punya warna biru…”. Kubisikin kata kata itu di telinga Aisyahku. Tapi Aisyah tetap saja tidak menjawab, diam tak bersuara.

          Pak sopir terus mengarahkan mobil ke rumah sakit hingga akhirnya tiba di UGD sebuah Rumah Sakit. Aisyah segera diturunkan dari pangkuanku digendong sama bapak. Mas Imam lari menemui dokter yang berjaga. Kulihat dokter segera datang memeriksa Aisyah, membuka matanya, memeriksa nadinya. Aku menghampiri dokter cantik itu. Dia menatapku sedih dan bertanya apakah aku ibunya. Aku mengiyakannya.

          “Mohon maaf Ibu, kami tidak bisa menyelamatkan anak Ibu. Anak Ibu baru saja meninggal beberapa menit yang lalu”, ujarnya pelan sambil menepuk-nepuk pundakku.

          Deg !.  Ucapan dokter itu bagaikan petir di siang bolong. Menggelegar, mengagetkanku, meluluhlantakan semua persendianku. Aku mau berteriak kencang tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku. Leherku seperti tersekat, sakit sekali.  Kakiku seperti terbang tidak menapak di lantai. Mas Imam mendekatiku dan memelukku erat.

          “Aisyah sudah diambil sama yang lebih  berhak De. Ikhlaskan ya…” katanya. Ada airmata tumpah di sana.

          Aku mematung terdiam. Kupandang wajah Aisyahku. Putih bersih wajahnya. Kupeluk jasad kaku permata hatiku. Kuciumi wajahnya terus.  Berat rasanya dadaku. Aku menangis tanpa suara. 

          “Dik..Dik…istigfar Dik...istigfar …” sayup kudengar suara mas Imam, dekat sekali di telingaku.

          Ternyata aku terbaring di kamarku. Kutengok sisi kananku, tak ada Aisyah di sana. Benar-benar Aisyah sudah tidak ada di sisiku lagi. Tidak ada lagi celotehannya. Tidak ada lagi senyum manisnya yang menggemaskan. Kembali hatiku hancur, pedih tak terhingga.

          “Kamu tadi pingsan sebentar Dik. Minumlah dulu teh manis ini “ , ujar suamiku

          “Iya Nduk, minum dulu teh manismu ini. Jangan bikin Ibu khawatir ya, “ kata ibuku. Beliau masih bolak-balik ke rumahku untuk melihat keadaanku. Tatapannya tulus kepadaku.

          Kupandangi dua wajah terkasih itu. Ada harapan banyak di sana kepadaku. Aku raih gelas dari tangan ibuku dan kuminum perlahan isinya.

         “Kasihan Aisyah Nduk, kalau kamu tangisi terus . Wis, lapangkan dadamu. Aisyah sudah tenang di sisi Allah. Kamu yang sabar, yang ikhlas “ bujuk ibuku.

          Aku mengangguk pelan walaupun susah sekali tapi aku harus mencobanya. Aisyah sudah hampir sebulan meninggalkanku tapi aku masih saja menangisi kepergiannya. Aku mengerti tentang teori sabar tapi ternyata sabar itu harus terus dipelajari dan diamalkan.  Sesekali aku kuat tapi sesekali juga aku rapuh seperti tadi.  Tapi memang benar kata ibu, sabar itu terus menerus, tiada batasnya.

*

         Keesokan harinya mas Imam mengajakku berjalan-jalan. Katanya sudah hampir tiga minggu lebih aku selalu sedih dan murung lalu menangis. Biar aku kena udara segar kata mas Imam. Masih berat memang kurasa ke luar rumah. Demi menghormati mas Imam akhirnya aku pun mau di ajak jalan-jalan olehnya. Setiap melewati jalan yang pernah kulalui bersama Aisyah, aku menangis. Melihat ayam-ayam bude depan yang berwarna warni, akupun menangis. Melihat anak seusia Aisyah yang sedang digendong ibunya pun aku menangis . Dimana-mana serasa ada Aisyah di dekatku.

         “Sudah Dik, suara tangismu nanti kedengaran orang lain. Gak enak nanti dikira mereka, kamu sedang dimarahi Mas, ” bujuk suamiku.

         “Kenapa Allah setega itu sama kita ya, Mas. Aku belum puas menggendong Aisyah. Aku menunggu dia hampir lima tahun lebih. Tapi ketika dia sudah kudapatkan, Allah tiba tiba mengambilnya kembali”. Lagi-lagi aku merasa tersayat sendiri oleh kata-kataku. 

         “Jangan berkata begitu Dik. Jusru karena Allah itu sayang sama kita, sayang sama Aisyah maka Allah segera mengambil Aisyah dari tangan kita “.

          “Kok bisa begitu, memang kita jahat apa sama Aisyah ?”, tanyaku agak tinggi

          “Ya enggaklah sayang. Kamu ibu yang telaten sama anak.  Sangat menyayangi Aisyah. Kamu sisir rambut Aisyah setiap hari, kamu suapi dia, kamu gendong gendong dia. Pahalamu banyak sekali itu.  Maksud Mas, Allah mengambil Aisyah dari kita mungkin karena Allah akan memberikan takdir yang baik buat kita. Aisyah akan menjemput kita nanti di surga karena dia belum punya dosa. Tugas kita sekarang adalah memantaskan diri untuk ke surga bersama Aisyah, “  jelas mas Imam kepadaku.

          Satu sisi aku membenarkan kata-kata mas Imam, tapi kadang sisi satunya lagi aku belum bisa menerima kenyataan mengapa Allah begitu tiba-tiba mengambil kembali Aisyah dari pelukanku. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya biar aku bisa bersiap-siap. Aku menarik napas panjang mencoba melapangkan dadaku.  Angin pantai di pagi hari mengibarkan kerudung pastelku. Kerudungku menari-nari tertiup angin sepoi-sepoi. Semoga saja udara pantai yang segar ini akan turut menerbangkan semua kesedihanku. 

          “Dik, coba lihat ibu yang sedang mendorong stroller itu. Dia tertawa bergembira bersama anaknya. Kamu lihat, sekiranya kamu ada di posisi ibu itu bagaimana tanggapanmu ?,” tanya mas Imam kepadaku

          Aku coba pandangi lebih jelas ibu dan anak yang ada di depanku berjarak sekitar limapuluh meter dari kami. Ibunya biasa-biasa saja. Tapi anak dalam stroller itu luar biasa. Gadis kecil dalam stroller itu berkebutuhan khusus, anak seribu wajah.  Ibu itu melewati kami dan tidak sengaja aku mendengar ucapan seorang ibu kepada anaknya dengan lembut.

         “Nanti Mama akan bawa kamu lihat penjual ikan di sana ya. Pasti kamu senang liat ikan-ikan segar di situ.” Yang diajak bicara hanya bertepuk tepuk tangan sendiri sambil tertawa, matanya tambah sipit.

          “Mama…berarti itu anaknya…, ” batinku sambil terus memandangi mereka.

         “Bagaimana Dik ?”,  mas Imam mengalihkan pandanganku.

Aku menggeleng.  Ada perasaan lain dalam diriku. Seperti ada rasa syukur yang datang menghampiri.

          “Kamu lihat Dik, ibu tadi. Tidak ada wajah kesedihan darinya. Dia ikhlas menerima takdirnya, diberikan seorang anak yang lahir dalam keadaan seperti itu. Dia juga hanya berduaan saja sama anaknya. Kita tidak tahu apakah ayah anak itu ada atau tidak ?. Kalau kita yang diberi ujian seperti itu oleh Allah belum tentu kita bisa seringan ibu itu menerimanya.  Itu artinya kita disayang sama Allah. Tidak diberi ujian seberat itu, ” ujar mas Imam.

          “Atau mungkin coba kamu ingat Dik, si mbak Dian tetangga depan rumah kita. Karirnya melejit, tapi Allah beri ujian dia hingga usia sudah memasuki 40 tahun lebih tapi belum pernah menikah. Padahal secara fisik beliau kurang apa coba. Punya semuanya. Kamu sering kan denger curhatannya betapa dia ingin sekali menikah tapi jodohnya belum juga datang menghampiri dia, “ lanjut mas Imam lagi.

          Aku mengangguk pelan. Mencoba mencerna kata-kata mas Imam dengan baik. Alhamdulillah Allah pernah memberi kesempatan kepadaku untuk merawat Aisyah, memeluknya dan bermain bersamanya. Yah…walaupun hanya sebentar saja. Daripada mbak Dian, belum pernah menikah apalagi menimang seorang anak. Hatiku berdesir, ada yang salah karena selama ini selalu merasa aku lah yang paling malang sedunia. Merasa dunia menjadi gelap karena berpulangnya Aisyah ke pangkuan Allah.

          Aku peluk mas Imam erat. Menangis di dadanya tapi  dengan tangisan yang lain. Baru kusadari, betapa cinta Allah sama hambaNya luas sekali, tak terhitung. Kita malah yang sering menghitung-hitung nikmatNya sehingga ketika hitungannya tidak dapat kita disebut, kita merasa bahwa Allah tidak mencintai kita, Allah sedang menghakimi kita, Allah tidak adil dan sebagainya. 

          Alhamdulillah  jalan-jalan pagi ini membuka kembali hati dan pikiranku.  Pagi ini aku merasa betapa Allah begitu mencintaiku.  Sekalipun Aisyah buah hatiku sudah pergi meninggalkanku, tapi aku masih mempunyai surga dunia, kedua orangtuaku dan suamiku. Aku harus memanfaatkannya dengan baik.  Kepergian AIsyah memberiku pelajaran bahwa mungkin saja aku terlalu berlebihan mencintai dan menyayangi Aisyah, merasa sombong bahwa aku sudah menjadi seorang perempuan yang sempurna. Atau bisa jadi juga memang Allah hanya hendak benar-benar mengujiku sampai di mana kadar keimananku kepadaNya. Kehilangan ini memang berat tapi aku harus meyakini bahwa Allah memberi ujian kepada hambaNya pasti sesuai dengan kemampuan hamba tersebut. 

          Mas Imam mengangkat wajahku dan bertanya lagi

          “Mengapa kamu menangis lagi Dik ?”

          Aku hanya tersenyum memandangnya. Pipiku masih terasa basah. Tapi kujawab juga pertanyaannya.

          “Allah baik sama aku. Dia telah memberikan aku seorang suami sepertimu yang selalu sabar dalam membimbingku, “ ujarku pelan.

          Aku memeluk mas Imam kembali  lebih dalam. Semoga aku masih bisa terus mensyukuri cinta yang sudah Allah berikan kepadaku begitu banyak.  Aamiin…

          Cinta Allah yang luas  kadang tertutupi oleh mata dunia kita. Cinta tak terhingga yang harus terus menerus kita syukuri. Selalu berprasangka baik padaNya.

          Aku jadi teringat sebuah terjemahan ayat di dalam Al quran.

         “Sesungguhnya jika kamu bersyukur atas nikmat yang sudah Allah berikan kepadamu, maka Allah akan menambah nikmat kepadamu. Tapi jika kamu mengingkari nikmatKu, maka azabku pasti pedih….

***

Bionarasi

          Ayah dan ibuku memberiku nama Chandra Kusrini. Tapi di rumah aku biasa dipangil dengan nama Umi Rini. Sehari hari aku adalah seorang ibu rumah tangga pada umumnya. Sebagai seorang ibu dari ketiga anakku yang ada sekarang ini {Faris, Fathur, Fadlan}, aku masih harus banyak belajar menjadi seorang ibu yang baik. Belajar yang tidak ada sekolahnya, tidak ada juga gurunya. Semoga anak anakku kelak tumbuh menjadi anak-anak yang sholeh dan saling menyayangi di antara mereka. Jakarta adalah rumahku dimana aku dilahirkan lima puluh dua tahun yang lalu. Usia yang tidak lagi muda dan alhamdulillah sudah Allah beri kesempatan untuk menimang seorang cucu.  Azkadina Naira namanya, cucu sholeha yang Insya Allah akan bermanfaat hidupnya buat banyak orang. 

          Alhamdulillah ini adalah buku antologi cerpenku yang ke-3, setelah Pelangi Kehidupan dan Mengeja Namamu, Ibu. Dunia coret-mencoret yang sebenarnya tidak asing buatku tapi lalu menjadi asing lagi karena lama tidak dilatih. Alhamdulillah bertemu dengan emak-emak hebat yang suka berbagi ilmu dan akhirnya jadilah buku ini.  Semoga selalu ada kebaikan pada setiap kata yang kita tulis. Aamiin. 

Dari buku Antologi Cerpen Cinta Seluas Langit(Haura Publishing, Juni 2022) 


Related Posts

Posting Komentar