Blog Perempuan Menulis

Cerpen: Nikmat Manakah Yang Kau Dustakan?

Posting Komentar

 NIKMAT MANAKAH YANG KAU DUSTAKAN

Oleh: Eva Lanovia

www.perempuanmenulis.com

          Pagi ini matahari melihatkan senyum malu-malunya, tak panas dan tak dingin. Udara terasa sangat sejuk pagi ini. Ya di penghujung bulan puasa ini, Seakan-akan aku tak akan mau berpisah dengan bulan yang sangat agung.

            “Bi.. Bi.. ," panggilku.

       Bi Suti menghampiriku,  “ ya ada apa Bu?, " jawabnya.  Seperti biasa. Bi Suti yang orang Solo asli ini menjawab panggilanku dengan bahasa yang sangat halus. 

        "Nanti kalo Den Arya bangun kasih surat ini ya!." Aku memberi secarik surat untuknya. 

        “Ibu mau ke RS dulu. Masih ada tugas, “ lanjutku.

        “Ngih Bu. Hati-hati di jalan. Seperti biasa Bi Suti mengantarkanku sampai gerbang.

         "Assalammualaikum, Bi.  Jaga rumah baik baik ya, dan masak yang Bibi sempat saja. Untuk iftar saya yang akan beli sambil pulang dari RS, “ kataku.

         Di perjalanan, aku sempat berpikir akan mampir ke mall memberikan hadiah buat Bi Suti. Pengabdiannya pada keluarga kami tak bisa dibayar, dan aku sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. 

          “Den Arya. Tadi Ibu pesan ada surat buat aden.” Arya yang baru bangun menghampiri Bi Suti.

       Sambil mengeritkan dahi ia bergumam, “Tumben nich, Mami ngasih surat apakah ga bisa lewat Wa ya?.”  Namun, akhirnya dia buka juga surat tersebut. Pendek dan padat isinya. 

      "Anaku yang ganteng,  nanti temuin Mami ya di RS jam 2.00 siang. Temui Mami di ruang pasien. Kamu bisa tanya sama petugas Pak Anto ya, Nak. Oh iya, kamu naik taxi online aja ke RS-nya, biar pulang bareng Mami ya, Nak"

        "Hem ada apa ya ? Mami meminta dia datang. Tumben- tumbennya. Namun, walaupun penasaran, Arya tak bisa menghubungi maminya, karena jika bekerja pasti Mami akan matikan HP-nya. "

       Walaupun Arya agak manja, tetapi dia adalah pemuda yang sangat sayang sama maminya. Walaupun terlihat cuek karena sudah besar, terkadang ia malu, kalau maminya masih memperlakukanya seperti anak kecil, suka mencium pipinya tiba-tiba. Hemm Arya teringat, mami adalah orang tua tunggal yang membesarkan dia dan kedua kakaknya.. 

        Kedua kakaknya sudah menikah, dan tinggal jauh dari mereka. Mbak Ayu ikut suaminya di Malaysia, sebagai perwakilan Duta Besar Indonesia.  Mas Sigit, tinggal di Balikpapan melanjutkan, dan menjalankan perusahan papa, setelah papa wafat. 

      Sekarang tinggal Arya saja, seolah menjadi semata wayang. Rumah terasa sepi, sehingga Arya terkadang suka keluar bersama teman-temannya. Padahal sidang skripsinya tinggal sedikit lagi untuk meraih gelar Sarjana Geologinya. Dan maminya berharap ia mau melanjutkan ke Jerman. 

         ‘Tetapi kenapa aku terasa malas ya?,” gumam Arya.

         “Oh iya.  Aku harus cepat-cepat ketemu mami nich!.  Lumayan kan perjalanan dari rumah sekitar 45 menit. Belum lagi pasti macet nich. Banyak orang yang belanja baju lebaran. Ehh bukan antri minyak goreng ya?” 

          “Hem, ya Allah untung maminya tak pernah seperti orang-orang itu, harus mengantri untuk mendapatkan sesuatu. Malah mami membelikan sebagian tetangganya yang tak mampu bahan sembako."

          Abang berhelm  hijau dan jaket hijau sudah sampai. 

            “Rumah Pak Arya ya ?,” katanya.

       “Aduhh jangan panggil pak. Aku kan masih muda.., “canda Arya.

          “He he.... “ Abang online tersenyum.

         Maaf Mas Arya.. Mau ke RS CINTA, kah?

         “Ya Bang hayoo jalan..!.” Arya memakai helm, dan tak lupa juga maskernya. 

       Sampai di RS, Arya menuju ruang pasien dan mencari Pak Anto. Ternyata Pak Anto sudah menunggunya.

       “Oh iya Mas Arya ya...? Oh iya ditunggu ibu dokter di ruang pasien. Mas Arya jalan saja terus ke lorong itu. Nah di sana ada pintu nomor dua, nanti masuk saja. Katanya ibu menunggu di sana.” 

       Sepanjang koridor ruang pasien, Arya melihat pemandangan yang semua sangat menyesakan dadanya. Di depan dia terlintas seorang anak muda yang memakai kursi roda, terlihat paha sampai kakinya terpasang besi seperti antena. Sepertinya itu untuk menyanggah kakinya. Dia melihat ruang itu, ternyata maminya tak ada di sana.

          Arya berjalan di ruang satu lagi. Belum sampai masuk ruang tersebut. Dia mendengarkan tangisan ibu yang suaminya akan dioperasi jantung karena sudah tak ada jalan lagi, kecuali harus segera dipasang ring. Arya tiba tiba memegang jantungnya. 

       “Ya Allah, jantungku semoga tak apa apa.  Aduhh mami mana ya ?, bisik Arya.

          Arya kembali berjalan.

         ”Hemm pasti mami ada di sini.”

         Sekali lagi dia melihat ada seorang anak kecil yang kepalanya lebih besar daripada badannya. Dia ingat, sepertinya ini penyakit hidrosefalus. Apa itu, kalau tak salah. Ayah dan ibu bayi itu ada di sampingnya sambil bercanda dengan anaknya dan terlihat tetap semangat. 

      Arya baru tersadar.  Maminya setiap hari menghadapi orang-orang seperti ini. Orang yang kesehatan baginya adalah sangat berharga buat mereka. Tak terasa air matanya menetes satu persatu. Tak kuat, akhirnya dia duduk di taman yang menghadap ke kolam. 

         "Aku baru paham ini maksud mami. Aku sering tak punya waktu untuk mendengarkan nasihatnya. Namun, akhirnya aku melihat sendiri nasihat kehidupan.”  Arya menghela napas panjang.

         Maminya selama ini selalu mengatakan jangan buang-buang waktu dengan menongkrong yang tak berguna. Jangan bangun siang-siang agar kamu bisa olahraga dan menikmati ciptaan Allah.

Kehidupan kita yang sekarang mungkin adalah cita-cita mereka. Kaki yang kita punya adalah mungkin impian orang yang tak pernah bisa memakai sepatu. Akal pikiran yang Allah berikan adalah agar kita bermanfaat buat orang lain.

     Di ujung jalan tampak mata indah mami menyaksikan anaknya terduduk terpaku dalam diam. 

      "Anakku, nikmat Tuhan mana lagikah yang kau dustakan setelah melihat  semua ini di depan matamu. Masihkah kau ingkari ?," dalam hati maminya berbisik. Dia teringat dalam surat Ar Rahman kalimat tersebut diulang sebanyak  tiga puluh satu kali, seolah-olah Allah ingin menegur atau mengingatkan kita yang kufur nikmat. 

          Dan Arya menengok ke belakang, lalu mengejar maminya sambil memeluk. 

         ”Hayooo Mami aku gendong ya. Aku tak malu lagi. Aku kuat dan masih punya kaki.”

        Arya menggendong maminya sampe ke parkiran mobil. Semua orang melihatnya sambil terheran dan tersenyum, tetapi dia tak menghiraukan dan berjalan terus sambil menggendong maminya.

        "Ini adalah Mamiku, dan nikmat Allah terbesar yang diberikan buatku."

         “Selamat hari raya Idul fitri. Kau adalah hadiah terindah di malam Lailatul Qadar buatku "  

       Maminya tersenyum sambil meneteskan air mata membaca WhatsApp putranya. 

      “Ayo Mami kita pulang..!. Hari ini ada itikaf di mesjid Al Bina, dan kita harus hadir. “

***

Bionarasi

   Orang Minang yang Lahir di hutan Kalimantan, Tinggal lama di Jakarta. Darah seni mengalir kuat dari mamahnya. Bergulat dengan kehidupan, dan tak pernah mengenal lelah dalam belajar dan belajar. Sekarang sedang mendalami ilmu Tasauf. Senang dengan Filsafat dan sedang belajar menulis puisi.

  Kekayaan tak membuatnya berkilau, dan kemiskinan tak membuatnya rendah.  Tak perduli akan nasibnya asal yang penting Allah sayang padanya. Itulah motto hidupnya, yang akhirnya ia berpikir, bahwa walaupun dia bukan seorang ustazah, tapi dari kegiatan Komunitas Nasi Kotak Ridho Illahi (NKRI) istiqomah dijalani tiap Jumat, bersama teman-temannya di komunitas. Alhamdulillah, sampai saat ini tetap memberi makan orang setiap Jumat kurang lebih 130 kotak, dan sudah berjalan enam tahun ke panti-panti atau anak-anak jalanan.

      Dari sana banyak hal yang dia pikir yang dia harus tulis. Ya tentang kehidupan yang sesungguhnya dan tentang Allah yang begitu luar biasa. Dan dia terus mencari ilmu tersebut.

     Ya, dialah Eva Lanovia, dengan nama panggilan Eva berusia 48 tahun. Lulusan Sarjana Ekonomi, walaupun dia merasa salah mengambil jurusan itu, karena mungkin seharusnya dia mengambil jurusan Psikologi atau Sejarah. Dan di sisa umur, ia  bertekad akan memberikan satu peran, dua peran bahkan tiga atau empat, agar lebih bermanfaat buat sesama, sampai Tuhan memanggilnya untuk pulang. Dengan Izin Allah. Salam santun. 

Dari buku Antologi Cerpen Cinta Seluas Langit(Haura Publishing, Juni 2022) 


Related Posts

Posting Komentar