SENYUM IBUKU
Oleh : Dewi Nia
Aku terlahir sebagai anak tertua dan memiliki seorang adik laki-laki. Kondisi keluargaku tidak terlalu bergelimang fasilitas, tapi cukupan pada umumnya. Ayah bekerja di satu perusahaaan di Jakarta dan ibuku seorang ibu rumah tangga yang sederhana. Kenangan memori bersama ibu saat aku bersekolah Taman Kanak-Kanak kembali tergambar di benakku. Ibu selalu menggendong adikku yang saat itu baru berusia satu tahun, bahkan ketika mengantar dan menjemputku di sekolah. Walau hampir semua urusan rumah tangga diurus ibu sendiri. tapi ia masih juga mengantar dan menjemputku ke sekolah tanpa lelah. Memang TK tempatku bersekolah letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya perlu sebentar berjalan kaki untuk sampai ke sekolah.
Bayangan ibu kembali menari-nari. Teringat setiap kali pulang sekolah, Ibuku dengan senyuman khasnya sudah menunggu di depan sekolah sambil menggendong adikku.
"Hari ini kakak senang gak di sekolah. Terus, tadi bu guru ngajarin apa, kak..?,".
Lontaran pertanyaan ibu, kerap mengiringi perjalan kami menuju rumah. Maka meluncurlah celotehku tanpa bosan tentang kejadian menarik di sekolah hari itu. Setiba di rumah, ibu meletakkan adik yang tertidur di gendongan. Mengganti seragamku dan membersihkanku di kamar mandi.
"Biar bersih dan segar ya kak, "jelas ibu padaku.
Ibuku suka rapi dan kebersihan. Setelah menyiapkan makan siang, kini giliran mengurus adik yang sudah bangun dari tidurnya. Rutinitas kegiatan ibu mengurusi kami seharian dilakoni tanpa bosan sampai ayah pulang dari kantor.
Awal aku masuk Sekolah Dasar, ibu masih mengantarku, akhirnya ibu kewalahan mengurusku dan adikku, namun ayah tak pedulikan kerepotan ibu, hingga akhirnya, ibu memohon kepada ayah agar aku didaftarkan ikut transportasi antar jemput sekolah, dengan meminta pengertiannya akhirnya ayah menyetujui. Ibu menjadi lega karena dengan begitu ibu bisa lebih fokus mengurus adik selama aku di sekolah.
Setiap mobil jemputan tiba di depan rumah, ibu menyambutku di depan pagar. Aku turun berlari memeluknya erat seakan lama tak jumpa. Kembali bercerita kejadian di sekolah tadi.
"Kakak gak capek..?
Ceritanya dilanjutkan nanti lagi, sayang. Sekarang kakak ganti baju, bersih-bersih, dan makan..." Ajak ibuku ke meja makan.
Ibu akan menyimak ceritaku sampai akhirnya aku cape, dan tertidur pulas. Sampai adikku mulai masuk TK, kami berdua berebut perhatian ibu saat bercerita.
Suatu hari ibu bertanya, "Kak, kakak dan adik, kan sudah mulai besar. Kalau Ibu bekerja boleh tidak?". Aku dan adikku terkejut mendengar pertanyaan ibu yang tiba-tiba. Spontan kujawab dengan muka sedih,
"Kalau Ibu kerja, nanti yang nyambut kakak pulang sekolah siapa? Kakak cerita sama siapa?" kataku merajuk memeluk dan menciumi ibuku. Adikku belum pandai mengungkapkan perasaaannya, erat memeluk ibu seolah tak mau pisah dari ibu.
Sejak kejadian itu, ibu tak menanyakan lagi. Sepertinya ia telah mengubur dalam-dalam cita-citanya untuk bekerja kantoran layaknya teman-temannya. Ibuku lebih mengutamakan anaknya dibanding keinginannya. Padahal, ibu lulusan Perguruan Tinggi Negeri terbaik di Jakarta, dan siswa berprestasi sejak SD hingga SMA. Bahkan mendapat beasiswa sejak tingkat tiga hingga tamat kuliah, karena IPK yang cemerlang. Namun, ibu segera menikah, dan mengurus anak-anak yang lahir berturut-turut. Ibu perempuan penurut, dan apa adanya.
Tak pernah kulihat ibu meminta kekurangan uang belanja pada ayahku, atau menginginkan sesuatu yang disukainya. Sesekali aku membantu mengantar pesanan tuperware ke tetangga, atau ikut berjualan di bazar. Apa saja ibu jual. Terkadang karena terbatasnya modal, ibu menjual juga barang titipan temannya, dan mendapat komisi darinya. Menjelang sore, ibu merapikan seluruh rumah, sehingga saat ayah pulang, rumah sudah bersih dan rapi. Menyiapkan makanan untuk ayah. Ibuku menikmati, dan tak pernah iri melihat kesuksesan temannya di
karir. Ibu, perempuan yang menerima takdirnya. Aku merasa bahagia, bangga punya ibu yang penuh perhatian. Bila malam, ibu sendiri yang mengajarkan kami anaknya calistung, dan menemani belajar sampai kami sekolah menengah.
Waktu terus berjalan, aku beranjak remaja dan dewasa. Ayah kulihat semakin mengabaikan ibu, dan kami hampir tidak pernah melihat ayah dan ibu berdua, bercengkerama. Mereka seperti hidup sendiri-sendiri dalam satu rumah. Dan akupun mulai mengerti, kenapa ibu selama ini begitu gigih berjualan apa saja, karena ternyata yang mengatur keuangan keluarga adalah ayah. Ibu hanya diberi jatah uang belanja untuk masak selama sebuan. Ibu berjualan agar aku dan adikku sesekali bisa makan di mall, dan membelikan baju baru. Kami mulai mengerti kesulitan Ibu. Ibu tak mau mengeluh pada ayah, karena ayah tak pernah menghargai usaha Ibu. Jangankan berdiskusi, mendengar keluhan ibu saja tidak pernah. Kasihan ibu, kasih sayang ayah ke ibu tidak tampak di depan kami berdua anaknya. Namun, dalam kondisi ibu yang tertekan, tak membuatnya emosi, atau menumpahkannya kepada anak-anaknya. Sebaliknya, bahkan ibu begitu melindungi kami anaknya agar tidak ikut terluka dengan sikap ayah. Aku sebagai anak tertua merasa bertanggung jawab dengan kondisi ini. Namun apalah daya, ayah tak pernah mau mendengar masukan kedua anaknya. Dan tiap kali aku berusaha bicara keadaan ibu, ayah justru semakin kesal dan marah pada ibu.
Kini, aku dan adikku beranjak dewasa. Bisa kuliah di PTN, dan itulah prestasi yang bisa kami berikan ke orang tua. Namun ayah tak juga berubah. Apapun keberhasilan yang telah kami capai, tak pernah membuatnya bangga. Ayah terus saja membandingkan kami dengan keponakan lainnya, atau anak temannya. Jika sudah seperti itu, ibu kembali membesarkan hati kami untuk bersabar menanggapi sikap ayah. Menasehati kami untuk menjadi diri sendiri, mencintai diri sendiri apapun pencapaian kami. Ya cuma ibulah yang selalu bangga pada kami. Hanya ibulah yang menghargai tiap proses yang kami jalani. Hanya ibu yang tahu kesulitan, dan masalah kami sejak masa sekolah dulu, sampai kuliah. Setelah aku lulus dan bekerja, ibu begitu bahagia. Terlebih aku bekerja di perusahaan akuntan terbaik di Jakarta. Dengan bekerja, aku berniat membahagiakan ibu.
Ibuku mulai jarang tersenyum, sejak ayah kerap mengusik ibu dengan kalimat sinisnya. Kedekatan kami dengan ibu, malah membuat ayah mengabaikan ibu. Ayah selalu saja mencari-cari kesalahan ibu. Tak jarang ayah berkata kasar kepada ibu di depan kami. Seharusnya di usia yang semakin menua, ayah melembut pada ibu, dan menghargainya karena berhasil mendidik anak-anaknya hingga mandiri.
Aku mulai sering melakukan perjalanan dinas ke beberapa kota di Indonesia dan semakin jarang bertemu ibu. Hanya melalui Video Call atau bertanya kabar ibu melalui WhatsApp. Sedang adiku masih menyelesaikan kuliahnya di luar kota, hanya pulang saat liburan semesteran saja.
"Ah kasihanan ibuku, pasti ibu kesepian di rumah." Wajahnya kini sayu dan jarang tersenyum. Ibu semakin pendiam dari biasanya, dan lebih banyak mendengarkan cerita kami berdua lewat video call. Seolah ibu menyembunyikan kesedihannya. Selama pernikahannya ibu tak mendapat dukungan ayah. Jangankan dukungan, untuk curhat ke ayah ujung-ujungnya malah disalahkan ayah. Ibu pun menikmati hidupnya dengan fokus pada kami anak-anaknya. itulah kenapa, kami selalu merindukanmu, ibu.
Jika aku selesai melakukan perjalanan dinas, dan berada rumah, kuajak ibu makan di restoran yang ibu suka. Atau membelikan baju, dan apa saja yang ibu butuhkan. Walau ibu selalu menolak bila aku tanya,
"Ibu lagi pingin beli apa?" Ibu selalu menggeleng lalu bilang, "uangnya kamu tabung aja Nak, untuk membeli apa yang dulu kamu inginkan tapi Ayah dan Ibu tak mampu memberikannya untukmu".
Begitu selalu yang ibu ucapkan. Akhirnya aku membelikan ibu tanpa sepengetahuannya, dan memaksanya memakai apa yang aku belikan. Hanya itu yang bisa kulakukan atas semua pengorbanan ibu selama ini. Kami anaknya, tak pernah akan cukup membalas semua pengorbananmu, Kami hanya ingin Ibu tahu, bahwa ibu sangat berharga bagi kam berdua. Ibu berikan kesempatan untuk kami membahagiakanmu, dan menghadirkan senyum di wajahmu.
***
Bionarasi Penulis
Dewi Rachmaniawati adalah nama lengkapnya atau panggil saja Dewi Nia. Yang sedari kecil memiliki cita-cita sederhana yakni menjadi guru. Cita-citanya tercapai setelah menyelesaikan Sarjana Pendidikannya di Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP JAKARTA) sempat menjadi guru di suatu SMP Negeri di Jakarta Timur untuk beberapa tahun. Kemudian, akhirnya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga sambil menjalankan beberapa kegiatan manfaat. Berawal dari hobi menulis di buku harian hingga sekarang. Pernah membuat buku Modul Membaca, menulis, dan berhitung untuk sebuah Bimbingan belajar dan PAUD di Bekasi yang juga tempatnya mengajar. Dan, jelang akhir tahun di 2021 menulis untuk sebuah buku karya bersama berupa Antologi Puisi: Di antara Cinta dan di awal 2022 menulis cerpen bersama penulis lainnya yang diterbitkan dalam bentuk Antologi Cerpen: Pelangi Kehidupan.
Semoga berkenan karena masih belajar, silakan baca dan berkomentar agar kelak tulisanku makin berpijar. IG: @de_rachma18
Dari buku Antologi Cerpen Mengeja Namamu, Ibu (Haura Publishing, Februari 2022
Posting Komentar
Posting Komentar