HADIAH DARI LANGIT
Oleh: Vera Novita Sari
Orang tidak akan meraih fajar tanpa melalui perjalanan malam. (Kahlil Gibran)
Langit malam begitu indah dengan binar rembulan dan berhiaskan kilau bintang. Sebuah meja tertutup kain merah marun diletakkan di teras halaman samping rumah. Di atasnya berdiri dengan anggun vas bunga cantik dengan mawar merah dan putih di dalamnya.
Malam itu adalah hari ulang tahun pernikahan kesepuluh Zhivara dan Bagas. Zhivara mengikat sebagian rambut ikalnya ke atas dan membiarkan sisanya tergerai indah di pundaknya. Ia memakai gaun biru muda yang cantik. Tersemat bros bunga berwarna keemasan menambah keanggunan Zhivara yang bertubuh mungil.
Sedang Bagas mengenakan kemeja batik berwarna senada dengan gaun istrinya. Tubuh tinggi atletisnya menambah gagah penampilan Bagas. Ia menyisir rambutnya dengan rapi hingga jelas terlihat wajah tampannya. Itulah yang membuat Zhivara makin jatuh cinta pada suaminya setiap hari.
Keduanya duduk berhadap-hadapan dan saling bertatapan mesra. Senyum Zhivara merekah. Tercipta sebuah lubang mungil di kedua pipinya yang merona.
“Happy anniversary Zee-ku sayang,” ucap Bagas sembari menggenggam erat tangan Zhivara.
Zee, begitu panggilan sayang dari Bagas untuk istrinya. Mereka adalah pasangan suami istri yang sangat menantikan kehadiran buah hati. Namun Allah belum juga memberikan amanah itu kepada mereka.
“Setelah pulang dari umrah, kita mulai program lagi?,” ajak Bagas dengan hati-hati.
“Tidak Mas, aku tidak mau ikut program bayi tabung lagi. Aku hanya ingin beristirahat dulu sekarang. Aku hanya ingin pasrah saja saat ini,” jawab Zhivara tegas. Mendengar jawaban istrinya, Bagas hanya diam. Digenggamnya dengan erat tangan Zhivara sembari mengecup kening istrinya itu.
Bagas tahu, tidak mudah menjalani program bayi tabung, butuh kesabaran ekstra, perlu kesiapan fisik dan psikis. Sebenarnya mereka sudah pernah mencoba program bayi tabung lima tahun lalu. Namun Sang pemilik kehidupan belum memberikan amanah bayi mungil pada mereka.
“Maafkan aku, Mas. Maaf karena aku tidak bisa memberimu keturunan,” isak Zhivara kala itu, saat mengetahui program bayi tabungnya tidak berhasil.
“Tidak Sayang, tidak perlu meminta maaf. Ini bukan salahmu atau salahku. Ini bukan salah siapa-siapa. Allah sayang sama kita, makanya kesabaran kita masih diuji,”jawab Bagas cepat sembari memeluk Zhivara.
*
Bagas dan Zhivara dipertemukan melalui sebuah layanan chatting MIRC. Saat mereka kuliah dulu MIRC adalah layanan chatting paling dikenal dan banyak digunakan. Dunia maya dapat mempertemukan siapa saja dari berbagai penjuru dunia. Begitupun dengan Bagas dan Zhivara yang berada di kota berbeda. Jodoh memang tak bisa diduga datangnya. Dengan siapa dan bagaimana cara bertemunya.
Berawal dari pertemuan di dunia maya, berlanjut menjadi hubungan jarak jauh. Entah sejak kapan, Zhivara tak tahu, ia mulai merasa kesepian bila tidak chatting dengan seseorang di seberang sana. Ternyata Bagas pun merasakan hal yang sama. Hingga akhirnya mereka menyelesaikan kuliah, Bagas memutuskan untuk mencari pekerjaan di kota yang sama dengan Zhivara.
Setelah mendapatkan pekerjaan tetap, Bagas berniat mempersunting Zhivara. Tetapi niatnya sempat terhalang oleh ayah Zhivara yang meragukan kesungguhannya. Apa benar mereka saling menyukai, sementara bertemunya saja hanya di dunia maya, begitu pikir ayah Zhivara saat itu. Namun kesungguhan Bagas telah mengubah keraguan menjadi keyakinan dan mereka pun akhirnya menikah.
Lima tahun pernikahan mereka lalui namun Zhivara belum juga diberikan kehamilan. Satu persatu pertanyaan diluncurkan pada mereka, mulai dari yang biasa saja dan bisa mereka abaikan, sampai pertanyaan yang mulai mengganggu pikiran. Zhivara mulai menarik diri dari pertemanannya. Ia mulai enggan menghadiri undangan karena tidak mau mendengar pertanyaan-pertanyaan seputar kehamilan.
Bagas pun mengajak Zhivara untuk ikut program bayi tabung. Segala proses mereka jalani dengan sabar dan penuh harap. Zhivara juga tidak pernah berhenti bersujud dan melangitkan doanya di sepertiga malam. Ia berharap program yang mereka jalani ini akan membuahkan hasil. Namun sayangnya, program yang sangat mereka harapkan tidak juga berhasil. Zhivara pun mulai kehilangan harapan.
Beberapa bulan kemudian, sebuah acara keluarga memaksa keduanya untuk hadir. Walau sebenarnya Zhivara enggan untuk datang, tetapi pada akhirnya ia memutuskan untuk tetap ikut menemani Bagas. Zhivara hadir juga untuk menghormati para tetua di dalam keluarganya.
Seperti yang sudah diduga Zhivara, mulai muncul pertanyaan-pertanyaan seputar kehamilan yang membuatnya jengah. Ia mulai merasa tidak nyaman. Seorang kerabat menyarankan pada Zhivara dan Bagas untuk mengangkat anak. Untuk pancingan, begitu kata mereka.
Zhivara terdiam menahan segala rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Ia berharap dapat berpindah tempat hanya dengan sekali berkedip. Andai itu bisa ia lakukan, ingin sekali ia berpindah kembali ke kamar di rumahnya. Tempat teraman dan ternyaman baginya. Kamar di rumahnya bagaikan sebuah gua yang bisa menjadi tempat persembunyian terbaik bagi Zhivara.
Malam harinya, Zhivara duduk sendiri menatap langit malam yang kelam. Ia duduk di teras samping rumahnya. Langit gelap tanpa bulan dan bintang menemani. Sesekali petir menyambar diikuti suara gemuruh guntur bersahut-sahutan.
“Zee, ngapain di sana sendiri? Dingin loh. Yuk masuk,” ajak Bagas. Zhivara hanya diam, tidak bergeming sejengkal pun dari tempat duduknya.
Bagas mendekati Zhivara. Ia tahu istrinya sedang gundah.
“Masih kepikiran kata-kata Bibi tadi siang?” tanya Bagas. Tiba-tiba saja buliran bening mengalir membentuk sebuah sungai kecil di pipi Zhivara. Zhivara membenamkan wajahnya ke dalam pelukan Bagas. Ia merasa suaminya bagaikan cenayang yang selalu dapat membaca pikirannya.
“Maaf Mas, Aku bukan tak suka anak-anak. Aku bukan tak ingin mengangkat anak. Aku hanya manusia biasa yang bisa khilaf. Kalau suatu hari nanti Aku diberi amanah anak yang terlahir dari rahimku, Aku takut kalau tak bisa adil. Bagaimana kalau aku tak bisa memberikan kasih sayang yang adil pada anak kandung dan anak angkatku?,” Zhivara mencerocos sambil terisak.
Bagas memeluk Zhivara sambil mengusap lembut punggung istrinya. Ia tahu tidak ada kata-kata yang bisa membuat istrinya tenang saat itu. Hanya dengan mendekapnyalah yang bisa dilakukan Bagas untuk menenangkannya. Seiring derasnya hujan turun, Bagas membimbing Zhivara masuk.
*
Setahun berselang. Bagas dan Zhivara memutuskan untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka yang keenam di sebuah panti asuhan. Mereka berharap doa anak-anak akan melangit dan mengetuk pintu arsy.
Zhivara menyiapkan makanan dan perlengkapan sekolah untuk anak-anak di panti. Sesuai dugaan, anak-anak begitu bahagia mendapatkan bingkisan yang tidak biasa mereka dapatkan. Melihat kebahagiaan anak-anak di sana membuat Zhivara pun merasa hidup kembali. Ia pun merasakan hatinya lebih tenteram.
Sepulangnya dari panti, sepanjang perjalanan Zhivara tersenyum sambil memandangi langit yang tampak cerah. Mobil yang mereka kendarai terus melaju, menjauh dari lokasi panti asuhan. Bagas melirik ke arah istrinya. Senyum tulus terukir di wajah Zhivara. Senyuman yang selalu membuat Bagas jatuh hati.
“Mas, boleh Aku minta sesuatu untuk hadiah pernikahan keenam kita?” tanya Zhivara pada suaminya.
“Tentu boleh. Mau apa Sayang?” tanya Bagas dengan lembut.
“Mas, bagaimana kalau kita jadi orang tua asuh saja?” pinta Zhivara. “Kita bisa membantu lebih banyak anak-anak di luar sana. Membantu anak-anak tidak mampu, agar mereka tetap bisa bersekolah,” jelas Zhivara dengan penuh semangat.
“Ya, itu ide yang mulia, Sayang. Mas setuju.” Bagas tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Melihat semangat hidup Zhivara kembali bangkit, membuat Bagas pun bersemangat.
“Besok kita kembali ke panti, ya. Kita bicarakan dengan pimpinan panti,” ajak Bagas. Zhivara mengangguk sambil tersenyum.
Sejak saat itu, anak asuh Zhivara dan Bagas terus bertambah. Puluhan anak takmampu menjadi anak asuh mereka. Cinta keduanya pada anak-anak bagaikan langit yang begitu luas. Memayungi anak-anak yang dulunya hanya bisa memendam semangat bersekolah karena tidak memiliki biaya. Kini mereka bisa menikmati masa-masa bahagia mereka bersekolah dan bertemu dengan teman-teman sebayanya.
*
Sepuluh tahun sudah Bagas dan Zhivara mengarungi lautan pernikahan. Riak-riak kadang hadir menjadi bumbu dalam kehidupan mereka. Kerikil-kerikil tajam pun tidak jarang menjadi pemanis yang membuat hidup mereka menjadi lebih berwarna.
Usai makan malam, Zhivara memandangi sosok tampan di hadapannya sembari tersenyum. Ia merasa bahagia seperti saat pertama kali jatuh hati pada lelaki itu. Ia bersyukur karena dipertemukan dengan Bagas, laki-laki lembut dan bertanggung jawab, yang kini telah menjadi suaminya selama sepuluh tahun.
“Mas, terimakasih sudah selalu sabar menghadapiku dengan segala sikapku selama ini. Terimakasih sudah menjaga dan menyayangiku dengan tulus,” ucap Zhivara dengan mata berkaca-kaca.
“Sama-sama Zee Sayang. Terimakasih selalu setia menjadi pendampingku,” jawab Bagas. “Mas bahagia banget melihatmu ceria seperti ini,” lanjutnya.
“Mas, sekarang tutup mata ya,” pinta Zhivara. “Jangan ngintip ya,” ucap Zhivara dengan nada manja.
Bagas memejamkan kedua matanya sambil memendam rasa penasaran. Kejutan apa yang akan Zee berikan? pikir Bagas. Disaat itu, Zhivara mengeluarkan sebuah kotak berbentuk persegi panjang. Ia meletakkannya di meja di hadapan Bagas.
“Sekarang, buka mata Mas,” Zhivara tersenyum memandangi wajah suaminya yang penasaran. “Bukalah kotak itu, Mas,” lanjutnya.
Bagas melihat kotak kecil berhiaskan pita berwarna biru muda dengan aksen keemasan di tepinya. Diambilnya kotak itu, dipandanginya sesaat, kemudian perlahan dibukanya. Usai mengintip sesuatu yang ada di dalam kotak itu, Bagas menatap istrinya. Zhivara mengangguk sambil menyunggingkan senyumnya. Tanpa sadar, buliran bening perlahan jatuh dari sudut mata Bagas.
Bagas perlahan mendekati Zhivara, berlutut, kemudian memeluk istrinya. Diusapnya perut Zhivara dan berbisik.
“Zee Sayang, Mas bukan lelaki sempurna, tapi Mas akan berusaha memberikan cinta dan sayang Mas pada kalian dengan cara yang sempurna,” bisik Bagas sembari menahan rasa bahagia.
“Selamat datang yuwana kecil Ayah-Bunda. Berpegangan yang erat ke Bunda ya. Ayah akan menjaga kalian,” bisik Bagas ke perut Zhivara.
Bagas memeluk Zhivara, mengecup keningnya, dan mengusap kepalanya. Ada bahagia menyeruak dari dalam hatinya. Alhamdulillah, gumam Bagas berulang kali. Air mata haru mengalir membasahi wajahnya. Zhivara mengusapnya dengan lembut sambil masih tersenyum bahagia.
***
Bionarasi
Vera Novita Sari, akrab disapa Vera, adalah ibu rumah tangga dengan satu orang putri cantik, Aisyah, berusia enam tahun.
Penulis pertama kali berkontribusi sebagai penulis antologi cerpen pada September 2021. Kontribusi pertamanya di buku antologi berjudul Serunya Bermain Bersama. Sebuah buku kumpulan cerita anak yang sarat dengan pesan moral. Berlanjut dengan empat buku antologi cerpen lainnya.
Selain memulai belajar menulis, penulis juga menikmati belajar membuat desain. Karya-karya desain yang dibuatnya, biasa dipublikasikan melalui Facebook @venosa.66 atau Instagram @xiao_pei66.
Dari buku Antologi Cerpen Cinta Seluas Langit(Haura Publishing, Juni 2022
Posting Komentar
Posting Komentar