Sarjana
Oleh: Leli Herawati
Sekitar pukul sebelasan siang itu kami tiba di kantor UPBJJ setelah hampir setengah hari waktu habis diperjalanan. 'Ya.,begitulah dinamika kehidupan ‘anak pulau’. Suatu urusan yang terkadang sebenarnya bisa diselesaikan dengan waktu yang tidak lamapun bisa molor jika urusan itu berkaitan antar pulau.
Mengalami ‘mati jam’ hal biasa dirasakan, uughh…kalau sudah begitu, sakitnya itu lho
“Bapak dan Ibu silahkan isi list ini lalu untuk mengambil ijazahnya di lantai dua ya…,” jelas Staf UPBJJ dengan ramah padaku dan suamiku.
“Hari ini lumayan ramai yang mengambil ijazah.” Aku menebar pandangan keseantero ruangan ini, namun hanya ada beberapa orang yang nampak sedang menunggu antrean.
”Hanya saja mereka sudah pada pulang,” lanjutnya seolah membaca pikiranku.Kami naik ke lantai dua tempat pengambilan ijazah.
”Mas…lihat., itu disediakan toga dan background wisuda ya, mungkin kita bisa menggunakannya” kataku pada suamiku karena kebetulan nampak seorang Ibu sedang mengambil dokumentasi.
”O..iya ya, nantilah kita coba tanya ke staf disini” jawab suamiku singkat.
"Alhamdulillah ya dik… setelah berjuang selama empat setengah tahun, akhirnya hari ini kita dapat ijazah,kita sudah sarjana dik,” ujar suamiku dengan mata berbinar.
Suamiku lalu menemui staf UPBJJ untuk informasi seputar wisuda dan ternyata benar saja perkiraanku tadi, bahwa toga dan background itu sengaja disiapkan UPBJJ untuk para mahasiswa yang ingin mengabadikan moment pengambilan ijazah. Karena memang sejak wabah Covid-19 merebak dan bahkan nyaris melumpuhkan aktivitas manusia sedunia. Wisuda ditiadakan untuk menghindari kerumunan dan kontak antara manusia, konsekuensinya bagi mahasiswa yang telah lulus maka harus mengambil ijazah secara langsung dan mandiri ke kantor UPBJJ masing-masing.
Kami segera memanfaatkan kesempatan berpose dengan toga. Lumayanlah walaupun tanpa wisuda. Aku dan suamiku punya juga dokumentasi pakai toga, mengesahkan kalau sudah menjadi sarjana. Banyak juga kami berfoto, ada sendiri, berdua, selfi.
“Ceklik… Ceklik…” lalu ada juga ku kirim ke adikku yang sedang bersama anak-anakku di rumah.
Kami segera meninggalkan kantor UPBJJ setelah sayup terdengar suara adzan Dzuhur. Suamiku mengajakku singgah di musholla terdekat untuk menunaikan sholat Dzuhur, dengan dijamak tentunya, mengambil rukshah sebagai musafir. Di musholla tampak beberapa orang laki- laki yang sedang tiduran sehabis shalat. Orang kantoran sepertinya. Di bagian ruang lainnya ada juga beberapa ibu- ibu juga .Aku segera shalat dan dilanjutkan dengan berdo’a sebagaimana biasa kulakukan sehabis shalat, namun kali ini ada rasa lain yang bermain di ruang jiwaku.
”Rabbighfirlii wali wali dayya….” Aku tak bisa membendung air mataku.
“Belajarlah yang giat ya nak…Bapak akan berusaha semaksimal kemampuan Bapak agar kamu bisa mencapai gelar sarjana, meskipun Bapak hanya seorang petani, namun tak salahkan kalau Bapak ingin dan berharap anak- anak Bapak bisa berpelajaran tinggi dan menjadi sarjana ya.. Agar kehidupan kalian nanti lebih baik dari Bapak. Bapak juga sedang mencari tempat untuk menitipkanmu jika nanti kuliah, dan juga saudara jauh Bapak yang tinggal di kota” Ucap Bapak saat mengantarku saat masuk SMA untuk pertama kalinya.
Sekolah yang cukup jauh di kota menyebabkan aku harus menjadi anak kost agar jangkauan ke sekolah lebih dekat dan tentunya hemat biaya juga. SMA sesungguhnya bukanlah sekolah yang kuinginkan. Aku ingin sekali sekolah di SPK (Sekolah Perawat Kesehatan), tetapi karena saat mau mendaftar, ternyata tinggiku tidak memenuhi syarat sehingga Bapak mendaftarkanku ke SMA. Ada sesungguhnya anjuran pada Bapak agar membeli kursi saja tapi dengan tegas Bapak menolaknya.
”Bapak tidak akan mau menyogok, kalau memang tidak memenuhi syarat ya sudah…, berarti itu bukan yang terbaik,” tegas Bapak. Bapak memang seorang yang tegas terhadap hal yang menurutnya tidak benar. Meski begitu beliau seorang yang demokratis dan penyayang.
Semangat bapak yang selalu ditransfer melalui petuahpetuahnya padaku membuatku juga makin bersemangat untuk belajar. Aku ingin membuat bapak bangga dan tidak merasa siasia pengorbanannya. Aku berjanji pada diriku bahwa aku harus mencapai gelar sarjana sebagaimana juga cita-cita bapak.
Sore itu aku pulang kampung setelah penerimaan raport akhir tahun dan libur sekolah selama dua pekan. Aku naik kelas tiga SMA.
”Li… sini Bapak mau bicara” Bapak memanggilku malam itu.
Aku menjumpai bapak dan ternyata di sana sudah ada ibuku juga. Aku duduk di kursi tepat di depan Bapak.
”Ada apa Pak, nampaknya ada hal serius?,” tanyaku. Bapak memperbaiki duduknya dan berkata,
”Li… adikmu Wijaya sudah hampir tujuh tahun umurnya, mumpung kamu libur sekolah, dan Bapak masih ada, Bapak berencana untuk mengkhitan adikmu dalam minggu ini dan sekalian membayar nazar Bapak, khawatir tak sempat lagi.” terang bapak padaku.
”Apa tidak sebaiknya ditunda dulu sampai Bapak sehat betul?” Aku mencoba membujuk bapak, karena memang beliau sudah beberapa bulan ini sakit- sakitan.
”Justru karena Bapak sakit, makanya ingin Bapak segerakan. Bapak khawatir tidak sempat nanti.” berat suara Bapak.
"Bapak tak boleh bilang begitu, Bapak akan sembuh. Bukankah Bapak inginkan aku sekolah hingga sarjana? Bapak mesti sembuh.” Aku tak kuasa menahan tangis, aku peluk Bapak dan kulepaskan tangisanku dalam dekapannya.
Serak suara Bapak menegaskan
”Kamu memang harus teruskan sekolah dan menjadi sarjana, meski tanpa Bapak.” Kian erat kupeluk bapak, sungguh aku belum siap kehilangan bapak.
Prosesi khitanan adikku tetap dilaksanakan walau kondisi kesehatan bapak kian menurun. Sepekan setelah acara khitanan adikku, bapak meninggal dunia. Tenda untuk acara khitanan pun berikutnya dijadikan untuk tenda yasinan. Aku tetap lanjutkan sekolah, meski semangat tak seperti dulu lagi berputar balik 180 derajat, yang dulu obsesi untuk melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi dan menjadi sarjana, beralih ke obsesi agar aku bisa mendapat pekerjaan guna membantu ibuku untuk menafkahi keluarga. Kepergian Bapak adalah pukulan berat buat ibu yang hanya seorang ibu rumah tangga sejati, sekarang aku harus ambil alih juga tugas Bapak, sebagai anak sulung. Berat terasa, apalagi aku seorang perempuan, “Ya Allah… Kuatkan aku”.
“Kalau Kak Li mau masuk UT, biar saya bantu daftarkan,” kata temanku suatu hari.
Nyaris tujuh puluhn lima persen temanku yang dulu sama-sama bekerja sebagai karyawan di perusahaan di tanah perantauan ini, resign dan berganti profesi menjadi guru di sekolah yang didirikan yayasan yang pengurusnya teman-temanku juga, termasuk suamiku yang menjadi salah seorang staf tata usaha dan kadang kala juga mengajar, karena masih terbatasnya SDM untuk sebuah Sekolah Islam yang geliatnya sangat tinggi. Dengan adanya peraturan pemerintah tentang syarat tenaga kependidikan minimal harus S1 maka teman-teman guru yang rata-rata lulusan SMA diharuskan melanjutkan sekolah, dan difasilitasi ke Universitas Terbuka (UT), termasuk juga suamiku.
”Agar nanti bisa membantu menjadi tenaga kependidikan di sekolah kita… tapi sekarang katanya belum pede mengajar karena hanya lulusan SMA,” lanjutnya sambil tersenyum.
Memang sejak suami dan teman-teman mendirikan yayasan dan sekolah ini, aku pernah ditawarkan untuk membantu mengajar. Namun aku belum siap, karena menyadari untuk menjadi seorang guru ternyata tidak cukup hanya bermodalkan pede (Percaya Diri), dan kemauan saja, Namun bagiku, seorang guru adalah seorang yang harus punyai wawasan yang luas terutama dalam bidang pendidikan.
Bahwa pendidikan bukanlah hanya proses transfer ilmu tetapi lebih kepada penanaman karakter anak sejak dini, mendidik agar anak mempunyai akhlak dan pekerti luhur. Bukankanh para ulama juga menitik beratkan adab dahulu di banding ilmu? Selain itu pula bahwa bagiku kepercayaan dari para wali siswa juga salah satunya adalah dari pendidikan seorang guru, mereka akan lebih yakin menitipkan anak–anak mereka pada guru yang punya kapasitas menjadi seorang guru.
Setelah beberapa kali tawaran yang kutolak, akhirnya aku memutuskan ikut masuk Universitas Terbuka (UT), walaupun sesungguhnya masih separuh hati. Membayangkan sekolah sambil bekerja, dan saat itu aku sudah punya tiga orang putri yang masih kecil, dan ditambah lagi dalam usia yang tidak lagi tergolong muda, sudah kepala tiga.
“Dik… ayo kita pulang, ntar kesorean lho, khawatir
ketinggalan kapal.” Suamiku menepuk punggungku sehingga membuyarkan lamunanku yang sedari tadi terbang mengembara.
“Hey…kenapa menangis..?,” tanya suamiku, keheranan melihat mataku memerah.
”Ingat bapak mas…,” jawabku singkat.
“Andai bapak masih ada dan melihatku saat ini, dia pasti akan sangat bahagia,” tiba- tiba aku sangat merindukan bapak.
“Sudahlah… jangan bersedih, meski bapak telah tiada, beliau akan tetap bangga padamu,Dik…,” ucap suamiku berusaha menghiburku.
“Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berusaha agar ilmu yang kita dapatkan dapat bermanfaat, mendo’akan bapak agar Allah senantiasa merahmatinya. Yuk kita segera pulang agar tidak kesorean nanti sampai Pelabuhan,” imbau suamiku seraya menggandeng tanganku.
“Bapak…. anakmu sudah sarjana sekarang.” jeritku dalam hati.
***
Bionarasi Penulis
Syahida elBintany nama penanya, ia seorang sulung dari 4 bersaudara. Lahir 41 tahun lalu di Central Baru, sebuah desa kecil di daerah Bengkulu, Sumatra. Alumni S1 FKIP Universitas Terbuka ,Pokjar Bintan. Cerpen berjudul Sarjana ini merupakan karya pertamanya di dunia penulisan.
Ketertarikan ini muncul dari hobi membacanya, terutama karya sastra, cerpen ,novel dan suka berpuisi. Saat ini Penulis berdomisili di Bintan, Kepulauan Riau.
Dari buku Antologi Cerpen Pelangi Kehidupan (Haura Publishing, Januari 2022
Posting Komentar
Posting Komentar