Blog Perempuan Menulis

Cerpen: Aku Ingin Ke Surga Bersama Suamiku

Posting Komentar

 AKU INGIN KE SURGA BERSAMA SUAMIKU

Oleh: Vhee_Kawaru

www.perempuanmenulis.com

Burung-burung pun bernyanyi

Bunga pun tersenyum

Melihat kau hibur hatiku

Hatiku mekar kembali

Terhibur simphoni

Pasti hidupku kan bahagia

       Penggalan lirik lagu dari Once selalu menemaniku tiap pagi akhir-akhir ini. Tiba-tiba menjadi lagu andalan yang menyentuh hati membersamaiku menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Sampai anak-anak hafal dengan lagu ini. Lagu yang dikirimkan oleh seseorang yang masih tersimpan rapi di hati meski aku sudah bersuami. 

          Aku adalah seorang istri dari lelaki yang sangat bertanggung jawab atas janji ikrarnya untuk menemaniku. Namaku Rani. Perempuan hitam manis, memiliki badan apik dan kepribadian yang menarik. Banyak orang yang menyayangiku. Suami, anak-anak, juga keluarga dan sahabatku.

          Orang-orang memanggil suamiku dengan sebutan Cak Rauf. Tiap hari berangkat jam 02.00 pagi untuk kulakan sayur dan dijual berkeliling di daerah langganannya. Alhamdulillah kami cukup bahagia, meskipun aku sebagai guru tidak memandang rendah profesi suamiku seperti itu. Malah suamiku yang membantu banyak perekonomian. Ia selalu ready ketika ada tugas kantor mendadak untukku. Hanya saja, karena berangkat malam, anak-anak lebih dekat denganku. 

          Hingga ketenangan hati mulai goyah ketika ada pesan WhatsApp masuk ke nomorku. Apalagi dia menyebutkan identitas Ruri. Ya…Ruri lelaki yang pernah singgah di hati namun sulit untuk aku lepaskan. Dia pernah berjanji untuk menikahiku. Janji yang tidak kunjung ditepati. 

          “Assalamualaikum…”

          “Apa kabar Rani? Bahagia selalu yaa … ini Ruri.”

          Deg..deg..deg..Senang perasaan ini. Tak bisa aku pungkiri. Jawab..gak..jawab..gak..ahhh biarlah dulu. Aku tetap melanjutkan mengajarku siang itu. Rasa sayang yang dulu kusimpan mulai bermekaran. Hidupku lebih semangat hanya dengan satu pesan darinya yang belum kujawab.

*

          Keesokan harinya, aku mencoba  membalas pesan WA darinya. Alasannya sepele, aku harus menata hati terlebih dahulu. Jangan sampai mengetik dengan membawa perasaan. Logika harus didahulukan. Kita sudah punya kehidupan masing-masing.

          “Wa alaikumsalam. Alhamdulillah..kabar baik..sudah lama tidak ngabari, ada angin apa?,” pesan kukirim dan langsung centang biru.

          “Angin rindu Rani,” pesan darinya sudah nampang di androidku.

          "Deg..ko begini ya balasannya? ."

Bikin aku bingung mau menjawabnya. Akhirnya seharian ini aku berbalas pesan dan mengalir begitu saja. Bercerita ke sana ke mari sambil mengingat masa lalu yang seharusnya tak perlu kita bahas di saat sekarang. 

          “Sejak kapan kamu gila dengan kopi?, ” tanyaku setengah gak percaya karena dia cerita kemarin sempat pusing gara-gara kecanduan kopi. 

          “Yachhhhh…tiga tahun terakhir kayanya. Bikinin aku kopi gihhh..,” guyonan dia kala itu.

          “Lahhh ngapain aku buatin kopi kamu, dulu aja aku dibuang, sekarang nyuruh bikinin kopi!, ” chatku dengan entengnya.

          “Berani yaaa sekarang..berani nolak..dulu gak gini lhoooo…,” balasnya.

          “Eh sudah chatnya. Entar ketahuan suamimu. Aku yang gak enak. Aku gak mau kalian bertengkar gara-gara aku, ” tambahnya.

          Padahal aku masih ingin chat waktu itu. Tapi diingatkan begitu. Ya sudahlah. Begitu setiap hari. Hari-hari menjadi lebih semangat beraktivitas. Pagi sudah kusiapkan sarapan anak-anak, memandikan si kecil, mengantar si kecil ke penitipan dan kakaknya ke sekolah. Kujalani dengan penuh semangat. Aku sadar aku tidak boleh seperti ini. Aku milik suami dan anak-anakku

          Lalu bagaimana dengan suamiku?. 

          Mas Rauf memang tipe lelaki yang cuek terhadap perempuan. Tidak romantis seperti lelaki pada umumnya. Jangankan lagu dan puisi, hal yang kuinginkan pun jika tidak kuutarakan, Mas Rauf tidak mungkin tahu. Tapi itulah Mas Rauf dengan segala kekurangannya. Apalagi dengan kondisiku saat ini, aku ingin melupakan Mas Ruri, tapi Mas Rauf seolah tidak pernah tahu isi hatiku. Berangkat malam pukul 02.00 pulang hampir sore pukul 14.00 dilanjut dengan tidur sampai pukul 16.00. Bangun tidur jemput si kecil di penitipan. Sedangkan aku pulang mengajar pukul 15.00 harus berberes rumah dan masak sore. Kami berbagi tugas seperti itu. Ketika waktu Kakak belajar pun demikian, ayah yang bertugas menemani si kecil bermain. Kakak selesai belajar, adik selesai bermain. Kami pun segera tidur,karena ayah juga harus tidur, harus segera bangun untuk ke pasar. Memang komunikasi jarang kami lakukan. Tidur pun kami terpisah. Ranjang kami tidak muat jika tidur berempat. Aku tidur bersama kedua anakku, sedangkan suamiku tidur sendirian. Aku sangat menghormatinya. 

          Pernah Mas Ruri telepon lewat Whatsapp, dan aku sempat bingung dan panik. Aku takut kalau telelepon kuangkat akan runyam. HP hanya kupegang saja. "Ahh…biarlah.. "

          Si Adik mengingatkanku, “Bundaaaa HPnya bunyi terussss..!.”

          Pintu terbuka. Mas Rauf langsung berkata, “Tuh HP bunyi lhoo..ko dipegang saja!.” 

          "Ya Allah, bagaimana ini??" Akhirnya kujawab, dengan suara yang ragu dan pelan. “Halo..Assalamualaikum..,” jawabku kala itu. 

          Alhamdulillah Mas Ruri tidak memperpanjang telepon. Hanya menanyakan kabar saja. Mas Rauf juga tidak menanyakan itu tadi dari siapa? Ada apa? Ya begitulah suamiku. Tapi, aku yang merasa bersalah. Merasa berdosa. 

          "Ya Allah..aku harus bagaimana?? "

Mas Ruri tidak ingin kami ada masalah. Namun, hatiku yang bergejolak, aku masih ingin menunggu WA darinya. 

          Hati kecil mulai bertanya, 

          “Apa iya, yang begini dikatakan selingkuh?. Aku kan tidak bertemu?. Hanya menanyakan kabar hari ini. Mungkinkah aku   berdosa?.” 

          Pertanyaan itu selalu membayangiku. Ya Allah kuatkan imanku.

          Selepas salat Magrib, kebiasaan kami memang salim tangan, lalu mencium kening. Hari itu, kulakukan dengan sungguh-sungguh. Kusalim tangan suamiku. Aku minta maaf sambil menitikkan air mata atas kejadian akhir-akhir ini. Mas Rauf malah becanda, “Kenapa??  Iyaaa..aku maafin.” Aku memang tidak cerita permasalahannya. Aku tidak berani. Aku takut Mas Rauf marah. 

          Ketika malam, kupanjangkan sujudku. Kukuatkan doaku, 

          “Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini. Aku mohon luruskan niatku, tegakkan imanku. Engkau Maha Membolak-balikkan hati manusia. Jangan bolak-balikkan hatiku. Tunjukkan kepadaku bahwa Mas Rauf adalah lelaki yang terbaik. Tunjukkan kepadaku bahwa Mas Ruri bukan jodoh yang terbaik buat hamba.” 

Dengan berdo’a ada sedikit ketenangan dalam jiwa ini.

          Pagi ini kutata hatiku. Aku harus bisa move on. Langkah pertama yang kulakukan adalah membuang chatku dengan Mas Ruri. Aku berusaha untuk tidak menghubunginya. Aku tunjukkan kebahagiaan keluarga kami di status. Tidak berniat untuk pamer, hanya saja ingin menunjukkan bahwa aku cukup bahagia dengan keluargaku. Lalu, apa yang kulakukan jika ingin WA? Cukup mendengarkan lagu yang pernah dikirimkannya atau memandang DP-nya saja. Bahkan kalau masih tetap ingin menghubunginya lagi, aku paksakan diri ini untuk bercanda dengan anak-anak dan suami. Tak perlulah aku mengulang masa lalu di saat sekarang. Cukup mengamati dari jauh, kegiatan apa saja yang dia lakukan. 

          Pernah Mas Ruri menuliskan status, “Kopi dan rokok adalah pasangan yang serasi, jangan biarkan pisang goreng ada diantaranya.” 

          Aku tahu dia hanya ingin agar aku berkomentar, tapi tidak. Aku tidak melakukannya. Padahal aku tahu, kopi dan rokok itu perumpamaan bagi aku dan suamiku, sedangkan pisang goreng adalah Mas Ruri. Kupaksa hati ini untuk mengikhlaskan dia menemukan kekasih yang baru.

          Seminggu tanpa kabar darinya teramat pedih. Tapi, hubungan ini tidak perlu kita lanjutkan. Jangankan atas dasar silaturahmi, hanya berkirim kabarpun, pasti ujung-ujungnya tidak baik untuk hatiku sendiri. Aku yang notebenenya memang diputus secara sepihak, terkadang masih bermimpi dengannya. Kukuatkan diriku, cukup hanya mengamati dari jauh dan mendoakan kebahagiaan untuknya. Seperti waktu itu, saat kulihat di statusnya, ternyata dia melatih anak-anak karate. Alhamdulillah, kesibukan dia ke arah yang positif. 

          Aku harus menghargai perjuangan suamiku yang selalu ingin menjadi lelaki yang terbaik di mataku. Seperti sore itu, tiba-tiba ada mobil Livina di garasi rumah. Setengah takjub, ternyata Mas Rauf membeli mobil tanpa sepengetahuanku.

          “Aku tahu kamu ingin mobil beginian, kan? Ya…meski second semoga kamu senang...Nanti kalo mudik bisa naik ini. Sudah gak bocor lagi mobilnya, ” jawabnya. Bagaimana tidak trenyuh. Aku yang kemarin berbuat ulah, aku yang salah. Tapi, aku yang dapat kejutan. Livina is my dream. 

          Kucium pipinya, kusalim tangannya sambil berucap, “Terima kasih ya Yah, aku ingin ikut ke surga bersamamu.” Kuikhlaskan Mas Ruri menemukan kebahagiannya suatu saat nanti, meski bukan aku pendampingnya. Kuyakini jodohku bukan dengan Mas Ruri. Jodoh terbaikku dengan Mas Rauf. Ya Mas Rauf yang cuek tapi sayang banget denganku dan anak-anak.   

          Begitulah cinta. Tak ada cinta yang abadi kecuali cinta Allah kepada hambaNya. Cintanya manusia hanya sementara belaka. Cintanya Allah nyata. Cintanya manusia hanya semu. Perlu dipupuk agar berbunga dan berbuah. Ada sebuah catatan yang membuat saya termotivasi, bahwa

           “Cinta itu baik, jika selalu terpeluk oleh doa dan saling percaya. Pun cela yang ada di dalam kisah cinta, akan selesai dengan baik jika dihadapi bersama-sama, lengkap dengan rasa tanggung jawab sebagaimana mestinya. 

          Ketika aku menemukan pendamping hidup, kepadanya aku selalu mengingatkan jika cinta yang hebat lahir dari kesabaran yang kuat. Jika cinta yang bahagia, terlahir dari susah-senang yang dihadapi keduanya benar-benar saling mencintai.” (Sarah Aulia dalam buku,  Aku Mencintaimu Seluas Ikhlasku Melepaskanmu)

          Dan satu kalimat yang harus diyakini, bahwa mencintai tidak harus memiliki, mencintai itu dengan membiarkan orang tersebut menemukan kebahagiannya. Mencintai itu seluas langit yang tak pernah tergapai dengan tangan manusia, karena cintaNya yang paling hakiki di dunia fana.

***

Bionarasi

Nevi Sutarti dengan nama bekennya Vhee_Kawaru merupakan seorang guru SD di kota Malang. Tinggal di kelurahan Buring kecamatan Kedungkandang Kota Malang. Kegemarannya yang berbau sastra sudah sejak lama. Namun saat ini sedang mencoba untuk menuangkan ide melalui tulisan. Karena dengan menulis, dunia seolah tahu isi hatinya.

Dari buku Antologi Cerpen Cinta Seluas Langit(Haura Publishing, Juni 2022

Related Posts

Posting Komentar